Be my kid's mommy! (Bahasa Indonesia)

BAB 93: Kesalah Pahaman yang Sudah Mengakar



BAB 93: Kesalah Pahaman yang Sudah Mengakar

0"Jangan pernah membayangkan hidup seseorang dari bagian luarnya saja. Aku belum berubah, masih sama seperti dulu yang suka makan dipinggir jalan. Namun, kondisinya kini tidak memungkinkan." Jawab Calista lirih.     
0

"Oya, bagaimana kabarmu? Apa sekarang masih bekerja di Anderson Group?" Calista menggenggam telapak tangan Dian yang dingin.     

"Tangan kamu dingin sekali. Kamu sakit?" Calista merubah pertanyaannya setelah merasakan tangan temannya yang sedingin es.     

"Aku tidak apa-apa. Aku ke sini mau beli makan malam. Kamu lagi hamil jangan keluar malam lama-lama. Aku merasa suamimu itu agak menakutkan. Tampan sih tapi sayang menyeramkan, hiiyy …" Dian bergidik ngeri dan dibalas Calista dengan tertawa lebar.     

"Hahaha, kamu ada-ada saja. Ya sudah aku pulang dulu. Oya, ini nomer ponselku yang baru. Kamu harus menghubungi aku. Kalau kamu butuh apa-apa, langsung telpon aku saja ya. Aku tidak bisa lama-lama. Suamiku agak ya begitulah, tadi kamu dengar sendiri kan kami berdebat hal sepele? Hehe .. aku beneran loh tunggu telpon dari kamu." Calista mencium pipi kanan kiri Dian dan memeluknya sebelum pergi meninggalkan temannya.     

"Sudah? Lama sekali." Darren menyandarkan kepalanya dan memejamkan matanya sambil menunggu istrinya kembali ke mobil."     

"Sudah. Terima kasih yaa sudah mau menunggu. Dia itu teman aku satu-satunya saat aku dan dia bekerja sebagai office girl di perusahaanmu." Jawab Calista.     

"Hmm, oya. Aku sudah belikan makanan untukmu. Cepat jalan pak, kita sudah kemalaman." Mobil pun berjalan meninggalkan areal taman. Calista kegirangan mendapati isi bungkusan makanan adalah sate padang yang dia inginkan tadi.     

"Terima kasih. Kamu baiiiik sekali. Mmuuahhh …" Calista mendaratkan ciuman di pipi kiri Darren yang sedang terpejam matanya. Sontak Darren membuka matanya lebar-lebar dan meraba pipi yang baru terkena ciuman tersebut, sambil tersenyum tipis.     

Dian memandang kertas kecil berisi nomer telpon teman lamanya tersebut. Dian pun segera menyimpannya menjadi kontak di ponselnya, agar tidak hilang. Dian tersenyum senang dan memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar taman daripada berdiam diri dirumah kontrakannya sendirian.     

"Pak, bungkus satu ya." Akhirnya setelah lelah berjalan-jalan, Dian memutuskan membeli nasi goreng untuk dimakan dirumah. Sambil dudu menunggu, Dian mengamati taman di sekelilingnya. Beberapa pasangan muda saling bercengkerama dengan mesranya. Mereka tertawa dan saling memeluk tangan bahkan pinggang pasangannya.     

Dulu saat dia masih berpacaran dengan Wawan, dia suka sekali berjalan-jalan di taman. Wawan senang mengajaknya keluar malam di taman atau sekedar duduk menikmati bintang. Kini, tidak ada lagi Wawan atau wawan-wawan lainnya. Dian menghela napasnya membayangkan kehidupan apa yang akan dialaminya, karena sudah tidak perawan lagi.     

-----     

"Tuan, besok agenda kita jam 10 pagi adalah bertemu presdir The Anderson untuk membahas kerjasama di Kalimantan." Jay, asisten setia Donni membacakan jadwal yang harus dilakukan besok. Namun, sepertinya yang diajak bicara, pikirannya sedang berpetualang entah kemana. Karena semua yang Donni katakan tidak ditanggapi, meskipun dengan deheman seperti biasa.     

"Jay, menurutmu apa yang harus aku lakukan pada Agnes? Aku tidak ingin kehilangan dia lagi. Kalau aku paksa untuk membawanya ke Jakarta, itu sama saja dengan mengulangi kesalahan yang sama dua puluh tiga tahun yang lalu. Tapi, kalau aku membiarkannya disana seorang diri, aku tidak tahu apa yang akan terjadi padanya. Apakah dia akan kabur lagi atau malah akan ada pria lain yang mengambilnya dariku?" Donni menatap keluar dari jendela di ruang bacanya. Auranya yang gelap selaras dengan posturnya yang masih tinggi besar untuk ukuran pria yang hampir mendekati kepala lima tersebut.     

"Ehem, saya tidak berani mengemukakan pendapat. Sejujurnya, tuan dan nyonya sudah melewati begitu banyak hal dalam rentang puluhan tahun sendirian. Akan lebih baik kalau sekarang menyatukan perbedaan pendapat dan memperbaiki kesalah pahaman yang sudah mengakar." Jawab Jay dengan lembut namun penuh penekanan.     

"Maksudmu, aku harus membawa dia kembali kesini? Aku yakin dia tidak akan mau." Jawab Donni lagi.     

"Atau, bagaimana kalau nyonya Agnes diajak ke rumah tuan yang satunya? Di pinggir kota yang masih sejuk udaranya dan penuh dengan tanaman alami. Saya lihat nyonya suka bercocok tanam." Jawab Jay.     

"Ohh, betul juga. Aku bisa mengawasinya lebih dekat kalau disana. Bagaimana keadaanya sekarang? Apa orang-orangmu masih mengawasi rumahnya dua puluh empat jam?" Tanya Donni lagi.     

"Nyonya masih dalam keadaan baik dan tidak kemana-mana." Jay berkata.     

"Besok setelah meeting dengan the Anderson, siapkan penerbangan buatku ke Jogja." Donni meninggalkan ruang baca dan Jay yang masih berdiri dengan sopan.     

"Siap tuan." Jay, asisten pribadi yang mengurusi urusan pekerjaan juga pribadi Donni. Dan, gajinya setara direktur di perusaahan besar manapun.     

Donni menatap kamar tidur yang dulu pernah menjadi kamarnya bersama Agnes sejak resmi menikah. Agnes akan selalu menunggunya didalam kamar sampai Donni pulang kerja. Dia tidak akan tidur lebih dahulu meski Donni pulang larut malam.     

Agnes memang tidak pernah mencintainya karena Donni merebut masa remajanya dengan menikahinya setamat sekolah. Agnes muda seketika kehilangan masa muda dan semua harapan dan keinginannya berterbangan ditiup angin.     

Namun, Agnes adalah putri yang patuh pada orangtua, meski kadang keluar keras kepalanya. Membayangkan hidup keluarganya yang diujung tanduk, Agnes tidak bisa tinggal diam. Dia belum bisa menghasilkan uang karena belum bekerja jadi belum bisa membantu ornagtuanya membayar hutang-hutang yang menggunung.     

Agnes pasrah dan tidak bisa menolak setiap kali Donni menginginkannya. Donni bukannya tidak peduli tapi hasrat kelelakiannya lebih berkuasa diatas segalanya. Dia tidak pernah mendekati wanita manapun. Setiap dia menghadiri sebuah pesta dan melihat para wanita yang senang emmamerkan tubuhnya dengan berpakaian setengah telanjang, darah muda Donni bergejolak. Dia menahannya hingga sampai kerumah dan melampiaskannya ke Agnes.     

Agnes dipaksa melayani nafsu Donni yang sudah terpancing di luar, meskipun perempuan cantik itu sudah tertidur. Dan, kalau sudah begitu, tidak cukup sekali pelepasan, tapi berkali-kali hingga kadang hingga hampir menjelang subuh. Agnes hanya bisa menitikkan air mata, karena merasakan dirinya hanyalah budak seks yang dibutuhkan suaminya kapanpun dia mau.     

Kemanapun Donni pergi tugas dinas di luar kota, Agnes selalu dibawa. Agnes hanya diam didalam kamar hotel seharian, menunggu Donni pulang dari pertemuan bisnisnya. Malam menjadi sangat panjang bagi Agnes karena saat itu adalah saat dirinya mengerang dan berkeringat menerima perlakuan bar-bar dan suaminya yang sangat berhasrat sekali ketika bercinta.     

Donni memijit pelipisnya yang tidak pusing. Kamar ini tidak pernah dia ijinkan wanita manapun untuk menidurinya, kecuali Agnes. Hari dimana Agnes melarikan diri, adalah hari dimana dunianya berasa runtuh untuk pertama kalinya. Selama satu bulan pertama, Donni bagaikan iblis pencabut nyawa yang setiap malam dihabiskan dengan membuat bangkrut satu perusahaan minimal.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.