Be my kid's mommy! (Bahasa Indonesia)

BAB 104: Bukan Hanya Aku, Tapi Juga Kamu



BAB 104: Bukan Hanya Aku, Tapi Juga Kamu

0Mereka berdua sedang menghabiskan waktu dengan masing-masing laptop diatas pangkuan. Donni dengan proyek barunya sedangkan Agnes dengan rancangan untuk desain orderan terbarunya.     
0

"Kamu sedang ada proyek baru?" Donni melirik dari ekor matanya ke arah layar laptop Agnes yang sedang merancang ruang dengan menggunakan program komputer khusus.     

"Hmm …" Agnes hanya berdehem karena tangan dan pikirannya sedang fokus dengan apa yang dilihatnya saat ini.     

Donni hanya mengangguk-angguk saja mendapatkan respon singkat dari Agnes. Suami yang menemukan kembali istrinya setelah dua puluh tiga tahun itu, menutup laptopnya setelah menekan huruf 'shut down' di layar berukuran empat belas inci tersebut. Tangan kanannya yang besar dan berotot mendekap tubuh Agnes dari samping.     

"Aku senang, istriku yang sekarang lebih mempunyai misi dan visi dalam menjalani hidup. Dibandingkan dulu saat masih awal menikah. Ada manfaatnya juga hidup terpisah setelah sekian lama yaa." Donni melihat layar laptop Agnes dengan seksama. Sedikit kecupan di telinga kiri Agnes membuat kulit tubuhnya meremang.     

"Menjauhlah. Aku tidak bisa konsentrasi." Agnes bergerak meronta agar tangan Donni terlepas dari bahunya.     

"Kenapa? Aku tidak mengganggu. Aku hanya ingin melihat apa saja yang dikerjakan seorang desainer interior. Santai saja, anggap aku tidak ada." Jawab Donni dengan mudahnya.     

"Huh, tidak ada? Aku bukan batu. Kenapa kamu tidak pulang saja? Ini sudah malam." Agnes mengusir Donni terang-terangan. Sungguh kalau ada Donni dirumah, Agnes benar-benar tidak bisa produktif dengan pekerjaannya. Seperti punya anak kecil yang selalu bergelayut manja tidak ingin menjauh. Dan apesnya lagi, kalau sudah malam pun, Agnes masih belum terbebas karena justru Agnes duluan yang tertidur, bukan Donni.     

"Rumah dimana istriku tinggal, disitulah rumahku berada." Jawab Donni singkat dengan seringai jahilnya.     

"Ckck, sejak kapan kamu berubah menjadi pintar berbicara dan tidak tahu malu seperti itu?" Bukan hanya Agnes yang berubah, Donni pun saat ini dimata Agnes sangat jauh berubah dibanding dulu kala. Donni yang sekarang lebih hangat, romantis, dan senang memberikan kejutan. Namun sifat mendominasi dan keras kepalanya tetap tidak berubah.     

"Sepertinya dua puluh tiga tahun merubah kita menjadi orang yang berbeda dari sebelumnya. Bukan hanya aku, tapi juga kamu," Donni menyingkirkan laptop dari pangkuan Agnes dan merebahkan tubuh pemilik laptop itu ke atas sofa panjang.     

"Kamu mau apa? Jangan macam-macam. Ini ruang tamu, ada yang melihat nanti." Agnes panik manakala kedua tangannya disatukan diatas kepalanya oleh Donni.     

"Yang melihat, akan aku congkel matanya." Donni menghirup aroma tubuh Agnes dari lehernya. Wangi parfum yang lembut dengan aroma vanilla sungguh membuat Donni merasa rileks.     

"Lepaskan! Uhmmm …" Bibir Agnes yang meronta minta dilepaskan, di tutup dengan bibir Donni yang menyesapnya. Donni melesakkan lidahnya kedalam mulut Agnes dan menyusuri setiap rongga mulut Agnes yang terasa segar aroma mint karena habis sikat gigi setelah makan malam.     

"Sepertinya kamu tidak nyaman disini." Donni melepaskan tautan tangan diatas kepala Agnes dan mengangkat tubuh Agnes di kedua tangannya menuju kamar mereka di lantai dua. Sepanjang jalan menuju kamar, Donni tidak melepaskan ciumannya ke bibir Agnes sedetikpun.     

-----     

"Apa yang kamu bicarakan dengan mami barusan?" Setelah selesai menjenguk James, Darren dan Calista kembali ke rumahnya 1 jam kemudian.     

"Mami memintaku untuk mengawasi perubahan interior di butik. Mami mau memakai jasa desainer interior freelance." Calista menyandarkan punggungnya ke kursi setelah memasang seat belt. Perempuan hamil yang tampak lelah itu memejamkan matanya sejenak sambil menikmati alunan lagu dari tape yang diputar Darren didalam mobil.     

"Ya sudah, kamu tidur saja. Nanti aku bangunkan kalau sudah sampai." Darren membuat sandaran kursi Calista lebih merata ke bawah sehingga posisinya tertidur rebahan. Calista sempat kaget karena tiba-tiba namun kemudian dia tahu kalau Darren hanya ingin dirinya tidur dengan posisi lebih nyaman.     

"Terima kasih." Sahut Calista.     

"Hmm …" Jawab Darren singkat.     

Perjalanan dari rumah sakit menuju rumah, dikemudikan Darren dengan santai tanpa buru-buru. Darren seolah menikmati perjalanan malam sambil sesekali memandang Calista yang tertidur lelap karena kelelahan.     

Darren teringat awal mula dulu berkenalan dengan Calista di tengah malam saat Calista selesai wawancara melamar menjadi istrinya. Lalu berderet peristiwa suka duka mereka lalui bersama. Calista bukan tipe perempuan yang lemah dan penurut. Namun, Calista juga bukan tipe penuntut dan manja. Apa yang bisa dia lakukan sendiri, dia tidak akan pernah meminta bantuan Darren.     

Kontrak itu? Apakah pernikahanya akan tetap sah jika aku menginginkan kontrak pernikahan menjadi selamanya, bukan hanya setelah tiga anak dilahirkan? Darren berpikir keras hanya saat lampu merah. Ketika mobil sudah berjalan kembali, Darren tetap fokus ke jalanan.     

-----     

"Terima kasih ya Dian sudah mau lembur sampai semalam ini. Hati-hati dijalan." Butik ditutup dengan orang terakhir adalah empat orang dan semuanya sudah dijemput dengan jemputannya masing-masing, kecuali Dian.     

"Sama-sama kak. Saya senang sekali hari ini. Hati-hati dijalan kak." Dian melambaikan tangan kepada tiga temannya yang dijemput dengan mobil dan motor masing-masing.     

Kini tinggallah Dian yang memeluk jaket hoodynya erat-erat karena udara dingin lumayan kencang. Sebenarnya jalanan tidaklah sepi dan gelap. Masih banyak kendaraan berseliweran lalu lalang disekitarnya. Namun, ketika seseorang berjalan kaki sendirian di malam hari, maka hal itu akan menjadi rawan dengan kejahatan.     

Dian merasakan tengkuknya merinding, merasakan ada orang yang mengikutinya. Perempuan berambut sebahu dengan menutup kepalanya menggunakan hoody, berjalan lebih cepat dan dengan langkah lebih panjang. Angkutan umum yang akan dinaikinya hanya tinggal beberapa langkah lagi. Namun, tiba-tiba tubuhnya tertarik dengan kencang ke belakang dan terangkat melayang keudara.     

"Lepaskan! Tolooooong …. Toloooong …" Sialnya, tidak ada satupun manusia di tempat kejadian. Tubuh Dian dihempaskan ke kursi penumpang bagian belakang, matanya ditutup dengan selembar kain, dan mulutnya ditutup dengan lakban, kedua tangan dan kakinya diikat dengan kencang.     

Sungguh malang nasib Dian. Dia tidak bisa berteriak bahkan menangis pun dalam diam. Tuhan, coban apalagi yang Kamu berikan padaku. Batin Dian dalam hati, meratapi nasibnya. Mobil itupun berjalan dengan kencang dan Dian tidak tahu kemana dia akan dibawa pergi. Hanya pasrah dan berharap semoga dirinya bukan menjadi korban pembunuhan kelak.     

Setelah beberapa lamanya, mobil itu akhirnya berhenti. Dian bisa merasakan mesin mobil melambat. Andaikan kakinya tidak diikat, dia bisa melarikan diri secepat mungkin. Tapi sayangnya hal itu tidak bisa dia lakukan. Tubuh Dian diangkat oleh seseorang berbadan tinggi besar dan Dian bisa merasakan kalau dia sedang dibawa menaiki tangga.     

Perasaan Dian semakin tidak karuan. Apa yang akan terjadi padaku? Apakah aku akan mati malam ini? Tuhan, tolong ampuni dosa-dosaku dan berikan aku kesempatan untuk hidup. Aku tidak mau mati malam ini. Dian menangis tersedu-sedu dibalik lakban yang menutupi mulutnya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.