Be my kid's mommy! (Bahasa Indonesia)

BAB 106: Kamera CCTV



BAB 106: Kamera CCTV

0"Kamu kemana saja sih Dian? Dari semalam tidak bisa dihubungi?" Calista merasakan kecemasan tidak bisa mengetahui kabar sahabatnya yang sekarang entah dimana. Nada sambung sibuk terdengar terus menerus dari ujung telpon.     
0

"Nyonya, kita berangkat sekarang?" Ketukan pintu dari luar, disertai panggilan dari Hera, menyadarkan lamunan Calista yang masih sibuk mencoba menghubungi nomer ponsel Dian meskipun tidak mendapat respon sama sekali.     

"Sebentar bu." Calista mendesah kecewa karena tidak tersambung ke Dian sama sekali. Dia pun memutuskan untuk mengambil tas dan bersiap-siap berangkat ke butik.     

Perjalanan dari rumah ke butik dilalui Calista dengan lebih banyak merenung. Memikirkan kemana gerangan Dian berada. Calista masih teringat dengan pembicaraan terakhir dirinya dengan Dian. Pria yang memperkosanya hadir didalam acara kemarin. Calista teringat kamera CCTV yang berada didalam butik. Perempuan hamil itu bertekad untuk mencari tahu dan membuat pembalasan bagi pria yang sudah menyakiti hati temannya.     

"Nyonya … nyonya Calista …" Hera memanggil majikannya beberapa kali karena sudah sampai didepan pelataran butik.     

"Oh, maaf. Aku melamun." Calista turun dari mobil dan berjalan menuju kedalam. Jam menunjukkan pukul 9 pagi. Itu artinya dia masih punya waktu 1 jam lagi sebelum kontrol ke dokter kandungan.     

"Bu Hera, didalam butik ini aku lihat ada banyak kamera CCTV terpasang. Ruang kontrolnya ada dimana ya?" Calista menatap beberapa CCTV yang terpasang di sudut ruangan.     

"Semuanya ada didalam ruangan ibu Sara, nyonya. ada laptop khusus untuk melihat memantau CCTV." Jawab Hera.     

"Bantu aku tunjukkan caranya, bu." Calista berjalan menuju ruangan mami mertuanya. Hera berjalan mengekor dibelakang. Nyonya Calista hari ini tampak berbeda dari biasanya. Lebih …. Menakutkan.     

"Ini laptop khusus untuk memantau semua kamera CCTV yang ada di dalam butik ini, nyonya." Hera menunjukkan laptop dengan ukuran lebih besar yang ada di sudut ruangan dan tersembunyi dari luar.     

"Aku ingin melihatnya. Tolong tinggalkan aku sebentar ya bu." Calista mengambil posisi untuk duduk nyaman. Hera membungkukkan badannya dan beranjak pergi meninggalkan Calista sendirian.     

Calista mulai mengetik tanggal kemarin dan mencocokkan jam kemungkinan Dian menghilang. Dengan seksama dan teliti Calista melihat sekitar 16 kotak berisi pantauan masing-masing kamera. Setelah setengah jam, Calista menemukan sesuatu yang mencuri perhatiannya. Ada Dian disana naik ke lantai dua menuju suatu ruangan yang setelah diteliti lebih jelas adalah gudang penyimpanan makanan. Lima menit, sepuluh menit, setengah jam, Calista mempercepat tombol pemutar waktu di layar mouse padnya.     

Setelah dua jam, pintu itu terbuka. Dan, nampak seorang pria keluar dari ruangan tersebut. Calista menyipitkan matanya. Siapa pria itu? Calista memperbesar wajah pria yang baru keluar dari ruangan tersebut. Perempuan hamil itu memiringkan dagunya. Dia tidak pernah melihat pria itu. Siapa dia? Dua jam didalam ruangan bersama Dian, sudah pasti dial ah pria yang dimaksud Dian. Calista mengambil foto pria tersebut dan mencetaknya di mesin pencetak yang ada di sebelahnya.     

"Siapa kamu? Coba aku cek di bagian pintu masuk." Calista bergumam.     

Calista melanjutkan penyelidikannya dengan memfokuskan pengamatannya pada kamera CCTV yang menyorot pintu masuk. 1 jam lebih dia melakukannya dan dia tidak menyadari kehadiran seseorang dibelakangnya.     

"Kamu tampak menyeramkan kalau sedang serius."     

"Huaaaa, sejak kapan kamu datang? Kenapa tidak bersuara sama sekali?" Calista berteriak histeris melihat kehadiran Darren yang tiba-tiba dibelakangnya.     

"Siapa dia?" Darren mengambil hasil foto yang ada di tangan Calista.     

"Entahlah, justru aku ingin mencari tahu siapa dia. Kamu yakin tidak mengenalnya?" Setelah berhasil mengumpulkan kesadarannya, Calista kembali teringat dengan misinya.     

Darren memiringkan dagu dan menggeleng ringan.     

"Dia tamu undangan kah?" Tanya Darren.     

"Ya, dia kemarin hadir di acara. Aku sedang mencari tahu, dia datang dengan siapa." Calista kembali memusatkan matanya ke satu kotak layar kamera. Darren yang datang dengan maksud untuk menjemput sang istri sama-sama ke dokter kandungan, sejenak melupakan tujuannya.     

"Itu dia! Dia datang bersama …"     

"Britney." Darren menimpali.     

"Britney? Berarti Britney mengenalnya? Darren, aku mohon tolong aku. Pria ini telah memperkosa temanku, dia karyawan yang baru bekerja dua hari disini dan sejak pagi hp nya tidak bisa aku hubungi. Tolong tanyakan pada Britney, dimana dia tinggal." Calista menyatukan dua telapak tangannya meminta belas kasih sang suami.     

"Memperkosa? Temanmu? Huh! Aku akan suruh orangku untuk menyelidikinya. Sekarang kita bersiap-siap saja dulu ke dokter. Sudah setengah sebelas dan perjalanan kesana juga lumayan macet." Darren mengambil foto di tangan Calista dan menyimpannya didalam tas Calista.     

"Oh iya lupa." Calista buru-buru mematikan laptop tersebut dan merapihkannya kembali. Hari ini dia belum sempat mengurus butik. Sepulangnya dari rumah sakit, Calista berjanji akan kembali ke butik untuk mengerjakan urusan yang tertunda.     

-----     

Beberapa jam sebelumnya di suatu tempat …     

"Eugghhh … Eugghhh …" Sekujur tubuh perempuan malang itu serasa luluh lantak. Tubuhnya mendapatkan serangan bertubi-tubi semalaman hingga pagi dari pria yang masih tertidur pulas disampingnya. Dian menggigit bibirnya menahan sakit dan perih dibagian bawah sana terutama.     

Sekuat mungkin Dian berusaha bangkit dan duduk. Dia ingin pergi sejauh mungkin dari monster berwajah bengis dengan rahang tegas tersebut. Sebenarnya wajah Dave tampan, bahkan paling tampan dibandingkan semua pria yang pernah dilihatnya. Namun, sifat dan kelakuan pria itu yang sangat kejam dan tidak manusiawi, membuat Dian membencinya setengah mati. Dian memungut pakaiannya yang berserakan di lantai dan memakainya pelan-pelan.     

Dia mengambil tas dan ponselnya yang ternyata baterainya sudah habis. Perempuan malang itu berjalan mengendap-endap keluar dari kamar, yang kebetulan tidak dikunci. Sial! Siapa saja bisa masuk ke dalam kalau pintu tidak dikunci begini. Tapi jadi keuntungan buat Dian yang bisa keluar dengan mudah.     

Perempuan itu mengamati keadaan sekeliling. Tidak ada orang sama sekali dilantai bawah. Dian merasakan keanehan dengan situasi ini. Kenapa mudah sekali keluar dari kamar? Apakah ini sebuah jebakan? Pada akhirnya Dian memutuskan untuk duduk di kursi makan yang ada di ruang tengah. Tidak ada satupun di rumah sebesar ini. Bahkan satu orang pelayan pun tidak ada.     

"Kenapa berhenti? Kamu tidak jadi melarikan diri?"     

Calista terperanjat kaget dan berdiri menjauhi arah suara datang.     

"Aku ingin pergi dari sini! Lepaskan aku!" Dian menggeram menahan kekesalan dan kebencian melihat pria didepannya. Masih bertelanjang dada dan hanya memakai celana panjang putih piyama, berjalan dengan elegan menuruni satu demi satu anak tangga.     

"Tawaranku semalam masih berlaku. Kamu bisa tinggal didalam rumah mewah ini beserta banyak pelayan yang dua puluh empat jam selalu siap sedia. Dan hidupmu pun tak akan kekurangan uang sama sekali. Asalkan kamu bersedia menjadi istriku." Dave mendekati Dian sementara Dian semakin memundurkan langkahnya setiap Dave maju mendekatinya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.