Be my kid's mommy! (Bahasa Indonesia)

BAB 107: Pisau Berdarah



BAB 107: Pisau Berdarah

0"Tawaranku semalam masih berlaku. Kamu bisa tinggal didalam rumah mewah ini beserta banyak pelayan yang dua puluh empat jam selalu siap sedia. Dan hidupmu pun tak akan kekurangan uang sama sekali. Asalkan kamu bersedia menjadi istriku." Dave mendekati Dian sementara Dian semakin memundurkan langkahnya setiap Dave maju mendekatinya.     
0

"Lebih baik aku mati daripada harus menjadi istrimu. Bahkan sedetikpun aku tidak sudi. Pergiii!!!" Dian mengambil barang yang ada didekatnya dan melemparkannya sembarang ke arah Dave. Pria yang sudah bersiap itu menghindari semua lemparan perempuan yang sedang emosi berat. Hingga akhirnya satu lemparan dari sebuah buku tebal yang ada di meja kopi, mengenai dada Dave dan membuat luka segaris yang mengeluarkan darah.     

Dave menatap Dian dengan tajam setelah sekilas dia melihat luka berdarah di dadanya. Dada Dian bergemuruh hebat menahan sesak dan napasnya tersengal-sengal. Matanya masih mengeluarkan hawa amarah bergejolah dan berkilat-kilat menyala.     

"Hanya segitu kemampuanmu? Jangan sampai aku membuat perhitungan denganmu." Dave menyeringai sinis.     

Dian mencari-cari benda lain yang akan dijadikannya senjata. Dia melihat ada pisau buah tergeletak di tempat buah yang tertata rapi diatas meja.     

"Mendekat sekali lagi, aku akan bunuh diri dihadapanmu!" Dian meletakkan ujung pisau di lehernya. Tampak setitik darah mengucur dari lehernya yang putih. Dave bukannya mundur, malah justru semakin mendekat, tanpa melepaskan tatapan tajamnya ke Dian yang semakin memundurkan langkahnya.     

Tepat ketika mereka sudah berhadapan, Dave mengambil pisau yang ada ditangan Dian dan menggenggam sisi yang tajam dengan tangannya. Darah mengucur deras dari telapak tangan tergenggam. Dian panik dan bingung menjadi satu, dilepaskannya pisau dari tangannya. Tangannya gemetaran melihat darah yang semakin deras di tangan Dave.     

"Anggap saja darah ini sebagai tebusan untuk mengganti darah keperawanan yang aku dapatkan darimu. Sekarang kita impas bukan?" Dave melempar pisau berdarah ke lantai. Tangan kirinya yang tidak berdarah, dia gunakan untuk menarik tangan Dian dan menggiringnya menuju ke kamarnya di lantai dua.     

"Toloooong, tolong lepaskan aku! Apa salahku padamu?" Dian meronta-ronta memohon belas kasih namun iblis sudah merasuki hati Dave.     

-----     

"Usia kandungan ibu masih sangat muda. Belum terdengar detak jantung saat ini. Jangan diet dan tetap jasa asupan makanan ya bu." Dokter wanita yang dipilih Darren sebagai dokter kandungan Calista, adalah satu-satunya dokter perempuan di rumah sakit ini. Pria posesif itu tidak menginginkan pria manapun melihat bagian dalam tubuh istrinya.     

"Terima kasih dok, saya akan patuhi segala saran dokter." Calista dan Darren saling bertukar pandang. Kontrol hari ini belum membutuhkan waktu yang lama. Namun, Calista langsung mendaftarkan diri untuk mengikuti senam hamil yang diadakan di rumah sakit ini.     

"Kita sekalian ke ruangan papi. Hari ini kata dokter sudah boleh pulang." Darren berjalan keluar lebih dahulu dan berdiri bersandar di dinding yang ada diluar poli kandungan.     

"Ohya? Ayo kita ke mami. Aku juga ingin memberitahu sesuatu." Calista kini yang berjalan lebih dahulu menuju ruang perawatan James di lantai atas. Yang berarti mereka harus naik lift untuk ke dua tingkat diatasnya.     

"Sesuatu apa? Ada yang kamu sembunyikan dariku?" Darren meraih lengan Calista sehingga perempuan itu menghentikan langkahnya.     

"Tentang desainer interior yang mami akan panggil untuk merenovasi butik. Kenapa sih kamu curigaan terus bawaanya?" Calista berdecih sebal karena selalu dicurigai Darren apapun yang dia lakukan.     

"Oh, itu. Ya sudah kalau begitu." Darren berjalan didepan Calista dengan wajah tanpa merasa bersalah.     

"Ckckck … pria yang aneh." Calista bergumam.     

"Mami, papi, apa kabarnya? Kata Darren hari ini sudah boleh pulang." Calista masuk ke dalam kamar rawat inap sang papi mertua. Dilihatnya kondisi James sudah bugar dan lebih baik dari pertama kali masuk perawatan.     

"Ya, papi tidak bisa lama-lama di rumah sakit." James baru selesai menerima panggilan masuk, ketika anak dan menantu perempuannya datang.     

"Mami mu juga kasihan kalau harus lama-lama menemani papi." James berkata lagi.     

"Yang penting kamu sudah sehat. Jangan langsung kerja ya. Istirahat dulu dirumah." Sara berkata dengan lembut sambil memakaikan jaket ke tubuh sang suami.     

"Hmm …" James sekedar berdeham untuk menyenangkan hati sang istri, yang sudah menjaganya dua puluh empat jam beberapa hari ini.     

"Calista, mami besok mau ke butik sebentar. Desainer interior yang mami panggil, besok akan datang ke butik. Kamu bisa istirahat dulu untuk sehari. Lusa mami minta tolong kamu datang lagi yaa." Sara berkata dengan lembut ke menantu perempuan satu-satunya.     

"Siap mami." Kebetulan, aku juga akan mencari tahu dimana keberadaan Dian berada. Besok aku harus memanfaatkan waktu sebaik-baiknya.     

"Sudah bertemu dokter Wati?" Mami bertanya perihal cek ke dokter kandungan yang dia tunjuk.     

"Sudah mam, sebelum kesini, kami ke polinya terlebih dahulu." Jawab Darren.     

"Baguslah. Mami tidak sabar untuk melihat calon cucu mami." Jawab Sara tersenyum sumringah.     

"Masih lama mi. masih 8 bulan lagi." Calista terkekeh.     

"Iya iya, kalian mau langsung pulang atau kembali ke kantor?" Sara berkata. James tampak sibuk dengan panggilan telpon yang masuk berkali-kali ke ponselnya.     

"Aku kembali ke kantor. Kamu?" Darren bertanya ke Calista.     

"Aku kembali ke butik mami." Jawab Calista mantap.     

"Baiklah, kalau begitu kalian hati-hati di jalan. Jangan ngebut bawa kendaraan, Darren." Titah Sara pada anak satu-satunya yang kalau bawa mobil sendiri serasa di sirkuit balapan mobil F1.     

"Iya ma. Aku antarkan dulu Calista ke butik." Jawab Darren singkat.     

"Bye mami, sampai jumpa lagi nanti." Jawab Calista. Dua perempuan beda generasi itu pun berpisah setelah cium pipi kiri dan pipi kanan bergantian.     

"Darren, bagaimana pria yang aku minta tolong carikan?" Calista menarik ujung jas Darren, berharap suaminya mau membantu mencarikan dimana keberadaan Dian.     

"Aku sudah menyuruh orangku untuk mencari tahu. Dalam 2 jam lagi kamu akan mendapatkan hasilnya." Jawab Darren dengan percaya diri.     

"Baguslah kalau begitu." Calista berharap Dian akan baik-baik saja. Dia tidak berani membayangkan apa yang terjadi pada temannya yang malang itu.     

"Darren? Kamu sedang apa disini? Dia …" Britney yang baru saja selesai konsultasi sebelum menjalani operasi bedah plastik, bertemu dengan Darren dan Calista di depan lift yang akan membawa mereka turun.     

"Dia istriku." Jawab Darren mantap namun tanpa senyuman sama sekali. Malah justru cenderung sinis dan menyebalkan, di mata Calista.     

"Istri? Ka-kamu sudah menikah? Kapan?" Britney yang merasa kecolongan, tidak percaya begitu saja pengakuan Darren. Mungkin saja dia sengaja berkata seperti itu agar dirinya menjauh.     

"Maaf, kami buru-buru." Darren mendekap mesra lengan Calista untuk masuk ke dalam lift yang telah terbuka. Dengan segera Darren menekan tombol tutup, tidak menginginkan siapapun menghirup oksigen yang sama dengan dirinya dan Calista di dalam lift.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.