Inevitable Fate [Indonesia]

Jawaban Tak Terduga Reiko



Jawaban Tak Terduga Reiko

0Jari Reiko lincah mengetuk layar ponselnya dan kemudian mengirim pesan ke Veni.     
0

Apa kira-kira yang diketik Reiko? Kalimat sedih? Atau justru marah? Atau himbauan ke Veni agar berhenti?     

Di tempat lain, Veni membelalakkan matanya. Saat ini dia sudah berada di rumahnya sendiri dan berada di kamar tanpa siapapun yang menemani.     

"Hah? Dia mengirim pesan! Dia mengirim pesan!" Veni berdebar-debar melihat bahwa sebenarnya ada pesan untuknya dari Reiko.     

Tangannya gemetar. Sebenarnya, dia sendiri merasa kecut apabila benar-benar dihubungi Reiko. Dia melakukan itu hanya untuk menunjukkan dukungan saja pada Sharla meski kini dia khawatir jika Reiko menuntut dia atas apa yang dia katakan.     

Ya ampun! Bagaimana jika isi pesan Reiko adalah sesuatu seperti kemarahan dan tuntutan? Veni seketika merasa bodoh sendiri dan mempertanyakan apakah tindakannya sudah berlebihan meski itu untuk membela teman baik?     

Dengan tangan gemetar, Veni menekan tombol pesan di akun instagramm dia untuk melihat apa isinya. Apakah dia harus mempersiapkan uang banyak jika nantinya Reiko tidak terima dengan ucapannya? Kira-kira Reiko akan meminta seberapa banyak uang darinya? 1 miliar?     

Namun, yang dia dapatkan dari isi pesan Reiko adalah ….     

[Halo, aku Reiko. Salam kenal. Kakak Veni, bolehkah aku bertanya?]     

Lalu, di baris berikutnya, Reiko menuliskan ….     

[Kakak Veni, itu baju batik yang Kakak pakai, itu jenis batik apa? Solo? Pekalongan? Atau lainnya? Cantik sekali!]     

"Hah?!" Veni sampai memekik sendiri di kamarnya. Apakah dia salah baca?     

Tunggu, dia akan mengucek mata dan kalau perlu cuci muka sekarang! Siapa tahu pandangannya bermasalah saat ini.     

Setelah selesai mencuci muka dan membersihkan mata dengan cairan khusus, Veni kembali ke ponselnya dan menatap pesan dari Reiko.     

Tapi, huruf-huruf yang terangkai menjadi banyak kalimat di pesan Reiko masih tidak berubah seperti apa yang dia sudah baca sebelumnya. Masih sama!     

Meskipun dia sudah melakukan banyak hal, pesannya masih berbunyi sama seperti sebelumnya. Benar-benar sama! Tidak berubah!     

"Apa dia sudah gila? Kenapa … kenapa malah bertanya begini ke aku?!" Veni meremas rambutnya dengan sikap frustrasi. Tapi, di balik rasa frustrasinya karena pertanyaan tidak disangka-sangka dari Reiko, dia sangat bersyukur karena tidak menemukan secuilpun kata bernada marah dari pesan Reiko.     

Veni diam dan berusaha menentramkan dirinya sendiri. Lalu … dia membalas pesan Reiko setelah jantungnya sudah lebih terkondisi dengan lebih baik.     

[Itu batik toko aku]     

Send!     

Veni kemudian menggigit kukunya menunggu bagaimana sekiranya jawaban Reiko selanjutnya.     

Satu menit … lima menit … sepuluh menit ….     

Ahh, sepertinya Veni terlalu berpikir tinggi jika dia mengharap Reiko akan lekas menjawab pesannya.     

Dua belas me—     

[Kakak Veni! Bolehkah aku menghubungi Kakak melalui instagramm ini? Aku suka batik yang Kakak pakai di postingan Kakak. Aku sepertinya belum punya yang seperti itu. Boleh?]     

Veni nyaris terjungkal ke belakang saat membaca pesan balasan dari Reiko.     

Dengan tangan gemetar, Veni mengetikkan jawaban, lalu mengirimkannya.     

Sekali lagi, dia menggigiti kukunya, hal refleks yang dia lakukan ketika dia gugup.     

Druuuttt!     

"Aahhh!" Veni memekik sendiri ketika ponselnya menyerukan dering, padahal benda itu ada di telapak tangannya. Buru-buru dia angkat telepon. "Ya?" Dia memberikan suara setenang mungkin meski jantungnya berdebar tak karuan.     

"Kakak Veni, kan?" Reiko menyahut di seberang sana. Suaranya lembut dan ramah.     

"Ya, Reiko." Kini dia secara benar menyebut nama Reiko, bukan roiko apalagi bumbu masak.     

"Moshi moshi, Kakak Veni, maaf kalau agak lambat responnya, karena Rui harus aku taruh ke boks dulu." Reiko terdengar sangat sopan ketika mengatakan ini.     

"O-Ohh, tidak apa-apa, kok! Namanya juga punya bayi." Veni memahami karena dia pernah memiliki bayi meski sekarang bayinya sudah menjadi anak usia belasan.     

"Kakak Veni, apakah aku boleh membeli batik di toko Kakak? Kalau bisa, seperti yang Kakak Veni pakai yang tadi aku maksud, yah!" Reiko seperti sedang membujuk, bahkan merayu!     

"Um … persis sama seperti yang aku pakai di postingan?" Veni hanya sekedar memastikan saja.     

"Iya, Kakak Veni." Reiko menjawab.     

"Um … postingan yang mana, yah?" Ini yang membuat Veni mulai berdebar-debar lagi. Dia yang bertanya dan dia yang deg-degan menunggu jawabannya.     

"Postingan kemarin, Kakak. Itu, postingan Kakak Veni tag aku itu." Reiko menyahut.     

Lutut Veni lemas, demikian juga tangannya seakan sudah tidak kuat memegangi ponsel. "Reiko, aku … aku minta maaf …."     

"Ehh? Ahh, jangan bicara itu dulu, Kakak Veni! Aku benar-benar terpikat dengan baju Kakak. Boleh tahu koleksi lainnya?"     

"Itu … itu kamu bisa lihat sendiri di instagramm toko aku, Reiko."     

"Ohh! Benar? Baiklah, boleh tahu nama instagramm-nya?"     

Veni mengetikkan nama instagramm toko batiknya di kolom chat dan mengirim ke Reiko. "Itu, sudah aku kirim di pesan."     

"Iya, Kakak. Terima kasih sudah diberi tahu. Oh ya, Kakak, boleh minta lihat koleksi baju batik kakak lainnya di sana? Boleh video call?"     

Veni meneguk ludah. "Bo-Boleh."     

Kemudian, telepon berganti ke mode video call sehingga mereka bisa saling melihat wajah satu sama lain.     

Reiko bahkan bisa membuat Veni membuka lemari pakaiannya agar menunjukkan koleksi baju-baju batik dan berbagai kain tradisional lainnya yang dia punya.     

-0—00—0-     

Keesokan siang, Reiko sudah menerima kehadiran Veni di rumahnya. Mereka bertemu muka di teras.     

"Kakak Veni, terima kasih sudah datang." Reiko membungkuk ojigi pada Veni yang baru turun dari mobil sebelum menjabat tangan tamunya. "Maaf sampai harus meminta Kakak yang datang kemari, karena aku tidak bisa meninggalkan Rui di rumah. Apalagi dia masih bayi merah."     

"O-Ohh! Tidak masalah, tidak apa-apa, kok! Aku paham, aku bisa mengerti!" Lalu, Veni mulai menebarkan senyumannya. "Aku sudah bawa beberapa batik yang mungkin akan kamu suka."     

Setelah itu, pegawai toko Veni mulai turun dari mobil dan membawakan plastik besar berisi bertumpuk-tumpuk baju batik dalam kemasan plastik.     

Tidak hanya itu saja, bahkan ada bocah remaja yang ikut turun juga dari mobil itu. Remaja belia itu seorang gadis berumur 15 tahun.     

"Kenalkan, Reiko, ini anakku, Prue. Dia … penggemar kamu!" Veni menarik anaknya yang tersenyum malu-malu.     

"Ehh? Penggemarku?" Mata Reiko membola lebar disertai wajah ramah tersenyum lebar.     

"H-Halo, Rhea-san …." Anak Veni bernama Prue tadi menyapa Reiko, malu-malu mengulurkan tangan ke Reiko.     

"Aku sungguh tidak menyangka memiliki penggemar semuda ini, terima kasih!" Reiko malah memeluk Prue alih-alih menerima jabat tangannya.     

Tentu saja ini tidak disangka-sangka oleh Prue sama sekali. Dia malah menangis.     

"E-Ehh? Kenapa?" Reiko kaget dan melepaskan pelukannya untuk melihat keadaan Prue. "Apa aku menyakitimu?"     

Prue menggeleng dan malah memeluk Reiko lebih erat dari pelukan Reiko tadi. "Aku senang … aku bertemu Rhea …."     

Melihat adegan itu, Veni menelan ludahnya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.