Inevitable Fate [Indonesia]

Hati dan Otak yang Menggelap



Hati dan Otak yang Menggelap

0Pak Zein mengakui kesalahan sekaligus kekalahannya pada Nathan Ryuu. Terlebih, ketika lelaki Onodera itu mengetahui bahwa Beliau sudah berbicara keras pada Reiko hingga Reiko menangis meski tidak ditunjukkan pada suaminya.     
0

Reiko sudah memaafkan kakeknya, apapun kesalahan sang kakek padanya.     

Namun, tidak demikian dengan Nathan Ryuu. Dia berkata tidak pada kakek istrinya dengan tegas, menyebabkan Reiko mendelik kaget sekaligus memberikan pandangan memohon pada suaminya agar tidak bersikap keras pada Pak Zein.     

Lagipula, Pak Zein sudah sangat tua dan tentu saja Reiko jatuh iba hanya dari aspek itu saja.     

Hanya saja, Nathan Ryuu tetaplah Nathan Ryuu. Dia tidak akan segan-segan dengan siapapun yang berani menumpangkan tangannya untuk mengganggu orang yang dia sayangi.     

Itu sudah dibuktikan Nathan Ryuu saat dia melawan ayahnya sendiri ketika dia mengetahui bahwa sang ayah mendukung musuh yang ingin membahayakan Ruby dan River.     

(Cerita mengenai Ruby dan River bisa dibaca di novel saya berjudul: Lady in Red (21+) di Webnovel)     

Maka, kalau sekedar menindak orang seperti Pak Zein, dia tak perlu menutup mata karena tak tega. Jangan tertipu dengan senyum malaikatnya, karena itu lekas berbalik menjadi senyum iblis dalam sekejap.     

"Baiklah, aku meminta maaf karena telah membuat cucuku ini menangis kala itu. Aku akui aku terlalu keras saat berbicara dengannya." Pak Zein makin yakin dia akan mendapatkan hukuman dari Nathan Ryuu.     

Pertanyaannya, seberat apa kira-kira nanti hukuman Nathan Ryuu pada Pak Zein?     

"Baiklah, saya harap Anda bersungguh-sungguh meminta maaf atas semua sikap tak pantas Anda pada cucu Anda sendiri. Buktikan dengan … membiarkan saya membeli semua saham perusahaan Anda." Nathan Ryuu menyandarkan punggungnya ke kursi duduknya dengan tatapan santai pada kakek mertuanya.     

Tak hanya Reiko yang melongo lebar, Pak Zein pun demikian.     

"Sa-Saham perusahaanku. Itu … itu …." Pak Zein merasakan tenggorokan Beliau seketika kering sampai suaranya mendadak serak susah untuk mengeluarkan suara.     

"Kenapa? Apakah Anda ingin berkata bahwa sebagian besar saham perusahaan Anda sudah berpindah tangan ke putra tak berguna Anda, Stanley?" Nathan Ryuu tidak menahan lagi ucapannya.     

"Ryuu!" Reiko menggelengkan kepala agar suaminya menjaga ucapannya.     

"Tenang saja, sayank. Kakekmu ini orang yang kuat, jantungnya juga baik-baik saja, dia hanya berpura-pura lemah. Dia masih kuat berlari, aku jamin." Nathan Ryuu mengatakannya ke Reiko menggunakan bahasa Jepang.     

Reiko mendelik terpana. Suaminya ini … kenapa bisa bicara semacam itu? Apakah selama ini dia salah mengira suaminya orang paling lembut di dunia?     

Pak Zein menghela napas dan berkata, "Hghh … kau benar. Sebagian besar saham perusahaanku memang sudah dikuasai Stanley."     

"Baiklah, ambil itu darinya." Nathan Ryuu benar-benar menarik kuat-kuat benang kesabaran Pak Zein. Apakah benang itu akan bertahan kuat atau terputus ketika Pak Zein sudah tidak kuat lagi dan murka?     

"Itu tidak mudah, kau pastinya paham." Pak Zein memperluas lautan kesabarannya. Semut tak boleh sembrono mengamuk melawan paus.     

"Tentu saja mudah jika Anda memang memiliki niat mengenai itu. Apakah aku perlu mengajari Anda caranya? Tapi sepertinya tidak perlu karena Anda jauh lebih senior dariku di dunia bisnis, benar?" Ada sedikit olokan Nathan Ryuu di kalimatnya.     

Reiko sudah meremas kuat-kuat pegangan kursinya, seakan dia sedang menaiki rollercoaster menegangkan hanya dari ucapan-ucapan yang meluncur dari mulut suaminya.     

Pak Zein paham dirinya sedang ditantang oleh Nathan Ryuu. Oleh karenanya, Beliau mengangguk dan berkata, "Baiklah, akan aku usahakan mengenai itu."     

"Saya rasa pebisnis kawakan seperti Anda hanya butuh waktu 2 hari untuk mengurus hal kecil semacam itu. Saya pikir 2 hari adalah lebih dari cukup, benar?" Nathan Ryuu menentukan tenggat waktunya secara tak langsung.     

Lagi-lagi, Pak Zein menggigit gerahamnya atas perintah tak langsung dari cucu menantunya. Harusnya dia meneliti dulu siapa orang yang hendak dia lawan. Kalau begini, dia benar-benar telur yang menabrak beton.     

-0—0—0-     

Di kamar Stanley, sudah pecah perang rumah tangga antara Stanley dan Marlyn. Mereka berdua saling menyalahkan satu sama lain, tak ada yang mau dikatakan selingkuh.     

"Kau! Kau ternyata sudah sejak puluhan tahun lalu berselingkuh!" Stanley menuding istrinya.     

"Apa menurutmu kau sudah suci, heh? Dasar lelaki tak berguna, sudah aku berikan banyak cara untuk menguasai harta papimu, tapi kau begitu tolol menjalankan perusahaan. Lihat, sahamnya saja belum berhasil semuanya kau kuasai, kan? Itu karena kau terlalu tolol jadi CEO!" raung Marlyn tak mau kalah.     

"Tapi kau sudah menikmati semua uangku dan uang papiku! Kau bahkan menggunakan uang itu untuk pesta arisan bujang bangsat itu!"     

"Hei! Kau juga menghabiskan uang papimu untuk gundik jalangmu! Kau juga banyak menghabiskan uang papi di meja judi dan tak pernah menang satu kalipun!"     

Brakk!     

Terdengar suara gebrakan di pintu kamar pasutri itu, sehingga keduanya segera menoleh ke pintu.     

"Diam!" Gebrakan itu diikuti dengan bentakan keras. Itu adalah suara Lindsay. Dia gerah karena semenjak malam sepulang dari restoran 9 Phoenix, kedua orang tuanya terus saja bertengkar.     

Sudah 2 hari ini, rumah bagaikan neraka bagi Lindsay, hanya berisi teriakan ibu dan ayahnya saling memaki dan menghujat.     

"Lindsay, diam kau!"     

"Tak usah ikut campur!"     

Akhirnya, Stanley membuka pintu kamar dan memarahi putrinya.     

Tapi, Lindsay malah mendelik dan tak gentar mengatakan, "Kalian ini pasangan bodoh atau apa? Kalau memang kalian hebat, sana lawan dan kalahkan Nathan Ryuu! Jangan hanya bisanya saling memaki seperti orang gila!"     

Plakk!     

Tamparan mendarat di pipi Lindsay oleh Marlyn. Wanita muda itu mendelik ke ibunya.     

"Apa? Kenapa mendelik? Memangnya kau bisa sampai begini, kerja di tempat elit di majalah beken, itu berkat jasa koneksi siapa, hah?" Marlyn dengan kejamnya mengungkit mengenai itu pada putri bungsunya hanya karena dia tak terima ditegur keras sang anak.     

"Oke, kalau memang Mama sangat bangga dengan koneksi itu, aku akan putuskan juga koneksi itu sekarang juga! Besok jangan harap aku bekerja di sana lagi!" Lindsay sakit hati akan kalimat ibunya. Dia memilih pergi saja dari depan kamar orang tuanya sebelum dia hilang akal.     

"Huh! Apa kau pikir kau bisa bekerja di tempat bonafid lainnya setelah keluar dari sana?" Marlyn malah mengolok Lindsay. "Kau tidak punya talenta apapun dan prestasimu juga minim! Bisa kerja apa kau tanpa bantuan mama dan papamu ini?"     

Namun, Lindsay tetap saja berjalan sambil membawa luka di batinnya. Dia memutuskan akan pergi mencari tempat menginap saja malam ini daripada hati dan kepalanya panas menggelora begini.     

"Tsk! Kau kasar, dasar jalang tua!" Stanley menghardik istrinya. "Bisa-bisanya kau berkata seperti itu ke anakmu sendiri!" Dia bergegas mengambil semua uang yang ada di brankas kamarnya dan melangkah keluar dari kamarnya.     

"Heh! Mau ke mana kau? Mau kau kemanakan uang itu!" jerit Marlyn di belakang Stanley.     

"Tentu saja, ke tempat menyenangkan daripada melihat rubah tua sepertimu!" Stanley menyeringai penuh ejekan ke Marlyn.     

Mata Marlyn melotot, hatinya menggelap berikut juga otaknya. Dia berlari ke dapur dan mengambil pisau. Suaminya hendak terang-terangan pergi ke gundiknya?! Jangan harap!     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.