Inevitable Fate [Indonesia]

Kejutan untuk Stanley dan Marlyn



Kejutan untuk Stanley dan Marlyn

0"Kalau Om di sini hanya ingin mengatakan hal buruk mengenai orang tuaku, maka aku akan pergi saja. Kita bisa kapan-kapan membicarakan ini setelah Om bisa lebih menaruh hormat terhadap ibu dan ayahku yang sudah meninggal." Reiko sudah hendak berdiri.     
0

Namun, Marlyn segera berjalan ke sisi Reiko dan menempelkan pisau pada perut buncit Reiko. "Tolong jangan persulit kami, Reiko. Tandatangani saja dan semua akan baik-baik, aku jamin!"     

Reiko melihat ke Marlyn dengan mata membeku namun wajahnya diperjuangkan setenang mungkin. Akhirnya dia melihat wajah asli dari bibi yang selama ini dia kira baik serta menjaga kerukunan di keluarga. "Tante Lyn, apakah Tante Lyn sedang mengancamku?" Matanya mulai berkaca-kaca saat menatap Marlyn.     

"Aku tidak ingin mengancammu, Reiko. Asalkan kau jadi anak manis yang patuh, maka aku akan menyayangimu dan tidak akan melukaimu, apalagi anakmu." Marlyn memberikan wajah mencemooh meski terlihat mengasihani.     

"Tante Lyn, aku minta agar kalian tidak melakukan ini atau kalian bisa menyesal." Reiko tidak ingin tunduk begitu saja. Meski dia berhati lembut, namun dia pernah mendapatkan tempaan dari agensinya dulu untuk lebih berani menghadapi seseorang. Apalagi, Nathan Ryuu juga kerap mengajarkan ketegasan padanya.     

"Ha ha ha! Memangnya kami akan mengalami apa kalau menindakmu?" Stanley tertawa keras.     

Bukannya gentar, Reiko justru membalas ucapan Stanley, "Om, apakah menurut Om, tindakan kalian menusuk aku begini akan berakhir baik? Kalian bisa dipenjara dan lupakan mengenai warisan jika kalian masuk penjara."     

Apa yang dikatakan Reiko benar, bukan? Kalau dia ditusuk saat ini juga, maka apalah artinya perjuangan Stanley dan Marlyn selama ini dalam mengangkangi warisan Pak Zein? Nihil! Semuanya akan menjadi nihil bagi mereka.     

Karena memikirkan kebenaran akan ucapan Reiko, Stanley melambaikan tangan ke istrinya, memberi isyarat sambil berkata, "Lyn, turunkan pisaumu itu, kau ini sungguh tidak sabaran."     

Marlyn memutar matanya. Memangnya selama ini yang lebih tidak sabaran dalam menghadapi apapun itu siapa? Tapi, dia masih patuh dan menjauhkan pisau dari perut Reiko.     

"Kami ini bukan kriminal. Kami orang baik yang senang berbicara untuk menuntaskan masalah, bukankah begitu, sayank?" Stanley melirik ke istrinya.     

"Tentu saja!" Marlyn membalas senyuman suaminya.     

"Karena itu, kenapa tidak mempersilahkan Reiko meneguk minumannya?" Stanley mengedipkan mata penuh isyarat.     

"Tentu saja!" Marlyn mengambil gelas yang sudah memiliki air putih di dalamnya dan dia paksakan ke Reiko agar diminum oleh istri Nathan Ryuu. "Stanley, bantu aku!"     

Stanley berdiri dari kursinya untuk pergi ke sebelah Reiko, membantu Marlyn memasukkan air minum ke mulut Reiko yang terkatup rapat.     

Reiko berjuang menolak minuman itu. Bibirnya menggigit satu sama lain agar minuman itu tidak masuk ke mulutnya sembari kedua tangan berusaha mendorong Marlyn.     

Tadi, Nathan Ryuu memberikan peringatan tegas padanya agar dia tidak memakan atau meminum apapun selama pertemuan. Entah itu makanan sudah dihidangkan atau belum ketika Reiko datang nantinya. Pokoknya, jangan terima semua makanan dan minuman itu!     

Awalnya, Reiko heran dengan permintaan berlebihan dari suaminya. Dia pikir, kenapa sampai sejauh itu kekhawatiran sang suami hanya untuk sebuah pertemuan.     

Ternyata ini.     

Rupanya ini alasan kenapa Marlyn menawarkan Reiko untuk makan dan minum sebelumnya. Pasti ada sesuatu yang dimasukkan ke makanan dan minuman untuknya. Inilah yang dicemaskan Nathan Ryuu.     

Kini … Reiko paham.     

Dia kecewa. Sangat kecewa akan tindakan berlebihan dari paman dan bibinya yang dia kira bisa diajak berhubungan dengan harmonis sebagai sebuah keluarga besar.     

Sayang sekali, harapan Reiko dihempas begitu saja.     

Brakk!     

Tepat sebelum Stanley berdiri di sebelah Reiko, jendela kaca di ruang pribadi itu mendadak saja sudah didobrak oleh beberapa orang berpakaian serba hitam.     

Marlyn dan Stanley tentu saja terkejut bukan kepalang.     

Tapi, Stanley tidak ingin terlambat dan dia raih pisau steak di depan Reiko, akan dia gunakan itu untuk menusuk Reiko.     

Craasss!     

"Aarghhh!"     

Bukan Reiko yang menjerit, melainkan Stanley ketika pergelangan tangannya sudah ditembus pisau belati yang dilempar dengan tepat oleh orang berbaju hitam tadi.     

Sementara, orang berbaju hitam lainnya sudah meringkus Marlyn. Ada 4 orang secara total di sana.     

Kemudian, ketika Stanley dan Marlyn telah berhasil dilumpuhkan dari tindakannya, pintu ruang pribadi itu terbuka dan muncullah Nathan Ryuu melangkah masuk ke sana.     

"Ryuu!" Reiko segera memeluk suaminya begitu Nathan Ryuu sudah di dekat untuk meraihnya. Ia tumpahkan tangisnya pada sang suami. "Aku sudah gemetar sejak tadi. Aku juga sudah berkata seperti yang kau ajarkan. Ryuu, aku ketakutan sekali tadi." Dia menghamburkan kalimat dalam bahasa Jepang.     

"Sudah, sudah, ini sudah tidak apa-apa." Nathan Ryuu menenangkan istrinya. Lalu, tatapan dia beralih ke Stanley dan Marlyn yang dipegangi anak buahnya. "Apa kalian tidak malu berbuat demikian ke wanita hamil? Ck ck ck … kalian sungguh menjijikkan!"     

Stanley yang paham ucapan Nathan Ryuu, membalas, "Diam kau, Jepang brengsek!"     

"Apakah kau xenophobia?" Mata Nathan Ryuu memicing ke Stanley. Lalu dia melihat kertas di atas meja. "Ohh, apa ini? Sesuatu yang menarik!" Dia ambil kertas itu. "Ahh, sepertinya ini membutuhkan tanda tanganmu, benar sayank?" Dia menoleh ke Reiko. "Ada nama kamu di sini dan masih kosong, belum ada tanda tanganmu."     

Reiko menyeka air matanya. "Mereka meminta aku menandatangani itu sebagai kesediaan aku melepaskan hak warisku."     

"Ohh! Kenapa menunggu lama, sayank? Ayo lakukan saja!" Nathan Ryuu mengeluarkan cap milik Reiko.     

Di Jepang, tidak mengenal yang namanya tanda tangan manual. Bagi mereka, tanda tangan itu menggunakan cap stempel khusus yang disebut 'hanko'.     

"Itu bukan tanda tangan!" pekik Marlyn.     

"Ini adalah tanda tangan sah di tempat kami. Aku tidak tahu cara tanda tangan—"     

"Coretkan saja namamu di sana!" Marlyn sepertinya belum menyerah berjuang mendapatkan tanda tangan Reiko.     

"Baiklah jika itu membuat Tante Lyn bahagia." Reiko melakukan seperti yang diminta Marlyn, mencoretkan nama dia sebisa mungkin sekaligus membubuhkan stempel pribadinya agar lebih sah.     

"Nah, karena istriku sudah memberikan tanda tangannya, bagaimana jika kau juga melakukan hal sama?" Nathan Ryuu tersenyum.     

"Apa?!" Mata Stanley terbelalak karena tidak menyangka pada ucapan Nathan Ryuu.     

Nathan Ryuu bersiul pendek melengking dan datang pelayan restoran ke ruangan itu sambil memberikan kertas dan pena dari baki yang dia bawa.     

Melihatnya, Stanley dan Marlyn sangat heran. Kenapa yang datang orang berseragam pelayan restoran ini?     

"Kenapa?" Nathan Ryuu sambil menyodorkan kertas perjanjian darinya ke depan Stanley. "Aku butuh tanda tanganmu di sini. Ahh, ini adalah surat perjanjian bahwa kalian dan siapapun yang berkaitan dengan kalian dilarang mengganggu dan melakukan tindakan buruk jenis apapun pada istriku. Pastinya ini mudah, bukan? Tidak membutuhkan uang apapun, cukup tanda tangan kalian, apapun caranya."     

Stanley dan Marlyn masih termangu sambil menatap ke pelayan restoran yang terlihat sangat patuh pada Nathan Ryuu.     

Menyadari itu, Nathan Ryuu terkekeh dan berkata ke Stanley, "Kenapa? Apa aku belum bilang kalau aku sudah membeli restoran ini sejak tadi pagi?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.