Inevitable Fate [Indonesia]

Kebanggaan di Balik Rasa Sakit



Kebanggaan di Balik Rasa Sakit

0Di ruangan pribadinya, Nathan Ryuu duduk sambil menatap Itachi di depannya. Tampak tidak ada vibrasi gusar di tingkahnya saat bertanya, "Apakah ada lagi yang melepas kerja sama dengan kita, Itachi?"     
0

"Ada 3 lagi, Tuan. Mingyu Group, Sentaru Group, dan Level Kingdom milik Lee Gongmin." Itachi menjawabnya sembari memberikan data yang sudah disimpan dalam tabletnya.     

Onodera muda menerima tablet itu dan menatap data yang sudah dirinci oleh Itachi di sana. Kepalanya mengangguk-angguk kecil dan kemudian menyerahkan kembali tablet tersebut ke empunya. "Setelah ini, jangan lagi menerima mereka jika mereka ingin kembali ke kita."     

Meski masih berusaha mencerna kalimat sang bos, Itachi cepat menyahut, "Baik, Tuan."     

"Yah, tak apa jika memang harus kehilangan beberapa rekan bisnis. Tapi yang baik dari kejadian ini adalah kita jadi tahu siapa saja yang ingin memiliki koneksi serius dengan kita. Semakin cepat terbuka tabirnya justru makin baik." Nathan Ryuu tidak ingin berlarut dalam emosinya dan memandang insiden ini menggunakan pemikiran positif.     

"Tuan, saham juga-"     

"Aku sudah melihatnya tadi pagi. Cukup baik untuk membuat aku kecewa tapi justru aku makin tertantang bertempur." Senyum Nathan Ryuu muncul, namun Itachi justru bergidik melihat senyum tersebut.     

Dalam hati Itachi, ia hanya merasa iba pada orang-orang yang memutuskan hubungan kerja sama dengan SortBank. Sebentar lagi mereka akan menggigit batu.     

"Itachi, lakukan ini. Aku sudah mencatat semuanya dan jangan ada pasal yang terlupakan." Tangan Nathan Ryuu meraih kenop laci di dekatnya dan menariknya untuk bisa mengambil sebuah folder warna hitam. Kemudian, dia serahkan benda itu ke Itachi.     

Mata Itachi melirik benda tersebut usai berada di tangannya dan benaknya memuji sang bos yang lekas memberikan tindakan untuk mencegah kehancuran lebih jauh dan mendalam.     

Karena sudah tidak ada lagi yang perlu dilaporkan, maka Itachi mohon diri dari hadapan Nathan Ryuu. Dia pun pergi dari vila sambil membawa folder hitam dari sang bos.     

Seperginya Itachi, tangan Nathan Ryuu menekan tombol pada mejanya dan tak lama, keluar layar cukup besar dari atas meja secara mekanis.     

Tak lama, Nathan Ryuu sudah berhadapan dengan layar di depan yang terhubung dengan seseorang. Senyumnya terkembang ketika dia menyapa orang itu. "Halo, Zayed."     

.     

.     

"Bos, lapor, Onodera sepertinya sudah menjual penthouse itu."     

"Hm? Sialan!" Zaidan Al Faiz menendang meja pendek di depannya hingga bergeser beberapa belas sentimeter. "Rupanya dia main aman. Huh! Lalu, bagaimana dengan orang-orang yang kusuruh menghubungi beberapa perusahaan itu?" Ia menyisir rambut depan menggunakan tangannya dengan sikap gelisah.     

"Lapor, Bos, sepertinya mereka gagal."     

"Apa?! Gagal?!" Kali ini, tendangan Zaidan Al Faiz makin kencang ke meja yang telah dikembalikan ke tempat semula oleh asistennya. Meja itu sampai nyaris terguling.     

"B-Bos, tenangkan dirimu." Asistennya ketakutan ketika amarah Zaidan Al Faiz makin memuncak.     

"Tenang, katamu? Kau ingin aku tenang?" Tangan Zaidan Al Faiz meraih asbak di meja kecil sebelahnya dan melempar asbak berat itu ke si asisten hingga mengenai dadanya dan jatuh ke lantai menimbulkan bunyi berderai bahan kaca tebal yang pecah.     

Si asisten hanya bisa mengusap dadanya beberapa kali menahan sakit sembari kepalanya tertunduk ketakutan. Bosnya ini bila marah memang mengerikan.     

"Pecat mereka semua! Pecat orang-orang payah yang tak bisa kerja itu!" seru Zaidan Al Faiz seperti orang kalap.     

"Ya, Bos. Saya akan laksanakan. Saya permisi dulu, Bos." Asisten tak mau berlama-lama ketika emosi bosnya sedang di puncak begitu. Dia masih sayang tubuh dan nyawanya.     

Zaidan Al Faiz mengibaskan tangannya dengan gusar tanpa melirik lagi ke asistennya. Kepala terasa membara dan ia makin gusar. Bisa-bisanya orang yang sudah dia bayar mahal malah tidak bisa menunaikan tugas darinya. Apakah mereka suka makan gaji buta?     

Zaidan Al Faiz tak habis pikir. Padahal dia hanya memberikan tugas sepele, seperti menghubungi para pengusaha yang bekerjasama dengan Nathan Ryuu dan membujuk mereka untuk beralih kerjasama dengannya. Ketika para pengusaha itu berhasil, dia hanya perlu tampil saat bertemu dengan pengusaha tersebut untuk sekedar ramah-tamah.     

Apakah itu sulit? Apakah permintaan dia terlalu tinggi?     

"Za-Zaidan, ada apa?" Runa melangkah keluar dari kamarnya dengan tatapan takut-takut seraya mendekati lelaki Timur Tengah tersebut. "Aku mendengar suara benda pecah saat keluar dari kamar mandi dan—"     

Tangan Zaidan segera meraih rambut basah Runa, menariknya dengan ganas tanpa menggubris teriak kesakitan Runa. "Berani sekali kau memanggil namaku secara tak hormat, heh jalang! Kau ingin mati, heh?"     

"Arghh! Tu-Tuan! Tuan, maafkan aku! Maafkan aku!" Runa benar-benar ketakutan sekaligus menangis akibat rasa sakit di kepalanya. Serasa kulit kepalanya nyaris lepas karena tarikan kejam Zaidan Al Faiz.     

Namun, sepertinya Runa salah waktu. Dia datang ketika Zaidan Al Faiz sedang dalam kondisi mood buruk. Oleh karena itu, yang diterima Runa hanyalah pukulan bertubi-tubi di wajah dan tubuhnya.     

Sementara itu di tempat lain, asisten Zaidan Al Faiz sudah menemui orang-orang yang disewa bosnya untuk merebut pengusaha besar yang bekerjasama dengan Nathan Ryuu.     

"Apa-apaan!" seru salah satu dari orang itu. "Kita sudah berjuang dan bahkan sampai menebalkan wajah untuk membujuk para pengusaha, dan masih dianggap payah lalu dipecat?"     

"Benar! Kita yang bekerja keras dan dia hanya memetik hasil akhir saja. Sudah dienakkan begitu masih bisa menganggap kita payah?"     

"Apalagi kita beberapa kali harus mengeluarkan uang lebih dulu untuk memuaskan para pengusaha itu. Dan sebagian belum diganti dia!"     

"Bayaran minggu ini belum keluar. Pak Asisten, apakah dia tidak akan membayar kami hanya karena kami gagal melobi beberapa pengusaha yang dia mau?"     

Si asisten menghela napas sebelum dia menjawab, "Aku sendiri tak berani menanyakan mengenai itu. Aku terlalu takut. Bisa keluar dari kamar hotelnya dengan tubuh utuh saja aku sudah bersyukur."     

-0—00—0-     

Esok harinya, Zaidan Al Faiz sudah lebih tenang. Dia menghampiri Runa yang meringkuk rebah menghadap dinding di sudut tempat tidur. "Apakah kau sudah bangun?" Ia mengusap punggung gadis itu.     

Runa menoleh, agak waspada. "I-Iya, Tuan." Kemarin dia dipukuli dan masih merasa sakit. Namun, sakit tubuhnya masih kalah dengan sakit hatinya. Untung saja dia masih hidup meski wajah dan tubuhnya memiliki beberapa lebam.     

"Lihat wajahmu itu. Sungguh menyedihkan. Apa tidak kau kompres es batu?" Pandangan Zaidan Al Faiz seolah dia bersimpati.     

Runa menelan ludah, menahan getir di hatinya. Padahal lelaki itu penyebab semua luka di dirinya saat ini tapi seakan heran akan kemunculan luka itu, bahkan berlagak perduli. "Sudah, semalam sudah aku kompres."     

"Ahh, baguslah kalau begitu. Nah, sekarang, pijat tubuhku, yah! Aku butuh relaksasi. Kau pastinya masih punya tenaga, kan?" Tanpa merasa bersalah, Zaidan Al Faiz segera rebah telungkup di samping Runa sesudah melepas kaosnya.     

Mana mungkin Runa memiliki kesempatan menolak? Semua kalimat dari mulut Zaidan Al Faiz adalah absolut untuk Runa. Dia harus patuh atau siap-siap menghadapi pukulan.     

Meski hal ini sungguh menyakitkan secara jiwa dan raga, Runa tak berani menyesalinya. Ini sudah menjadi keputusan dia. Menyesal pun sudah percuma, justru memalukan dirinya sendiri. Toh, meski dia tersiksa batin, Zaidan Al Faiz mampu membayarnya menggunakan barang-barang mewah yang bisa dia pamerkan di akun media sosial dan membuat teman-teman masa sekolahnya begitu terpukau. Runa puas mendapati itu.     

Masih terngiang komentar dari teman-teman masa sekolahnya di postingan foto dia saat memeluk tas Chanel.     

"Wah! Itu sungguhan Chanel? Cantiknya!"     

"Astaga! Itu tas yang aku buru ketika berlibur di Eropa! Kenapa kau bisa memilikinya, Runa? Aku iri sekali!"     

"Runa ini hebat, yah! Kau bukannya tak meneruskan kuliahmu, kan? Tapi sekarang hidupmu lebih sukses ketimbang aku yang berjuang mati-matian di universitas."     

Jawaban Runa kala itu, "Aku kebetulan bertemu lelaki baik dan menikah dengannya. Dia sangat menyayangi aku dan begitu memanjakan aku."     

"Ahh, Runa-chan ... aku begitu iri padamu. Kau sungguh beruntung."     

"Aku jadi ingin mencari lelaki kaya dan menikahinya."     

"Aku jadi mempertanyakan hidupku ini. Astaga, aku sudah sangat tertinggal jauh dari Runa!"     

"Rasanya senang melihat akun Runa-chan. Ada banyak barang cantik terpajang di postingannya. Itu sungguh seperti terapi indah untuk mataku ini."     

Runa merasa bagaikan melayang di langit kesembilan membaca komentar-komentar yang menyanjungnya. Rasanya tidak sia-sia dia berkorban menahan sakit dan nelangsa.     

"Ohh ya, Runa-chan, bukankah kau sangat dekat dengan siapa itu... Reiko? Benar, kan? Di mana dia sekarang?"     

Runa tersengat ketika membaca nama Reiko disebut.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.