Inevitable Fate [Indonesia]

Tak Pernah Bosan Padamu



Tak Pernah Bosan Padamu

0Saat mata Zhao Qingyi tidak bisa lagi bertahan dan mulai melelehkan air mata, gadis itu pun terisak sembari menutupi wajahnya menggunakan kedua tangannya, berharap pasien di sebelahnya tidak mendengar suara tangisannya.     
0

Plukk!     

Zhao Qingyi terkesiap merasakan puncak kepalanya ditepuk seseorang, maka dia pun lekas mendongak untuk melihat siapa pelakunya.     

"Lihat seperti apa mukamu sekarang, begitu kacau dan penuh ingus." Itu adalah suara Shingo.     

Mata terbelalak Zhao Qingyi menyiratkan keterkejutan gadis itu, dan secara otomatis tangisnya terhenti. "Sh-Shin!" Lelaki yang dia tunggu, yang dia harap sejak tadi, yang membuat dadanya seakan ingin meledak.     

"Apa?" Shin sudah berdiri di samping kanan ranjang Zhao Qingyi, membelakangi jendela paten cukup besar yang menghadap ke luar karena ranjang Zhao Qingyi memang berada paling ujung dari kamar tersebut.     

"A-Aku sudah menunggumu! Lama sekali! Kenapa baru datang sekarang? Apa yang membuatmu begitu lama?" Zhao Qingyi menyemburkan banyak pertanyaan yang menyesaki dadanya sejak tadi.     

"Apa kau ini anak TK yang hanya bisa menangis ketika ibunya terlambat menjemput?" goda Shingo dengan kalimat sindiran disertai muka datar.     

"Aku sungguh cemas, kau tahu itu?" Suara gadis itu mulai melemah. Dua tangannya meremas gelisah selimut di bawahnya.     

"Untuk apa mencemaskan lelaki usia dewasa sepertiku, hm?" Shingo pun mulai menarik kursi dan mendudukinya. Dua lengan terlipat di depan dada dengan gaya santai seolah tak terjadi apapun.     

"Kau … jangan katakan kau terlambat karena kau …."     

"Aku kenapa?"     

"Kau … dengan Nona Feng?"     

Shingo langsung menghirup panjang napas tanpa memberikan jawaban langsung, hingga akhirnya beberapa detik berikutnya, muncul suara darinya, "Mungkin."     

"Shin!"     

"Apa?"     

"Kau tak boleh bersama dia!"     

"Ohh? Kenapa begitu?"     

"Dia … ungghh … kalian akan berakhir tak baik jika itu terus berlanjut. Tolong bubarkan hubungan kalian!"     

Lelaki Jepang itu menatap lekat ke Zhao Qingyi yang sedang merundukkan kepala. "Sejak awal aku tidak punya hubungan apapun dengannya."     

Kepala Zhao Qingyi bergegas terangkat sehingga mereka bertautan pandangan. "Ka-Kalian tidak berhubungan? Tidak pacaran? Tapi kalian jelas-jelas tidur bersama—"     

"Tsk! Apakah tidur bersama merupakan indikasi adaya hubungan pacaran?" Dagu Shingo terangkat saat mengatakannya, menjadikan dia terlihat seperti lelaki brengsek, meski di mata Zhao Qingyi, sebrengsek apapun Shingo, lelaki itu tetap menarik baginya.     

"Jadi … kalian hanya FWB saja, yah?" Suara Zhao Qingyi kembali melirih meski kepalanya tidak menunduk lagi.     

"FWB?" Kening Shingo berkerut.     

"Friend With Benefit."     

"Ohh, dia bukan temanku, aku rasa."     

"Kalau begitu, Shin, ini justru lebih mudah! Kau … jauhi dia!"     

"Kenapa aku harus melakukan itu?"     

"Karena dia doyan lelaki muda dan bukan hanya satu! Apa kau pikir hanya dirimu saja yang bersama dia?"     

"Ohh, aku tidak begitu memerdulikan mengenai itu."     

"Tapi aku perduli!" Mata Zhao Qingyi nyalang menatap lekat ke Shingo.     

Lelaki itu terdiam segera begitu mendengar ucapan Zhao Qingyi. Pandangan mereka masih terpaut meski tak ada satupun kata yang keluar dari mereka, seakan masing-masing sedang saling menyelami makna dari tatapan satu sama lain.     

Namun, sepertinya salah satu dari keduanya mencoba mengakhiri kesenyapan yang canggung ini. "Bagaimana kondisi kakimu? Masih terasa sakit?" Shingo bertanya dengan topik berbeda.     

Kepala Zhao Qingyi tertunduk saat dia menjawab, "Masih, tapi tidak sesakit kemarin. Ini sudah jauh lebih baik, hanya masih kesulitan jika ingin ke kamar mandi."     

"Hm, perbanyak istirahat saja, jangan terlalu sering ke kamar mandi."     

"Memangnya aku ingin begitu, apa? Tentu aku pun tak ingin menyulitkan diriku sendiri dengan terus ke kamar mandi, Shin!" Gemas sekali suara yang diberikan Zhao Qingyi.     

"Ehh? Makanan paginya belum dimakan?" Tiba-tiba, muncul perawat dari balik tirai pemisah sambil wajahnya heran melihat nampan berisi sarapan pagi Zhao Qingyi masih utuh tidak tersentuh, padahal saat ini dia sudah membawa nampan makan siang.     

"A-Aku … tadi sedang tak ingin makan, Suster! Maaf!" Zhao Qingyi segera memberikan alasan pada perawat yang saat ini menaruh nampan makan siang dan mengambil nampan sarapan pagi.     

"Ya sudah, tapi tolong yang siang ini dimakan, yah, karena ini untuk cepatnya kepulihan Anda." Perawat itu berkata sambil tersenyum dan membawa pergi nampan sarapan pagi.     

Setelah perawat pergi, Shingo berkata, "Ingat kata perawatnya, kau harus makan, jangan malas."     

Geramnya hati Zhao Qingyi mendengar celetukan Shingo. Dengan suara sebal, dia menjawab, "Kau pikir kenapa aku sampai tidak makan pagi, huh?"     

"Ohh, kenapa itu?"     

"Karena kau!"     

"Aku? Kenapa malah jadi melibatkan aku?"     

"Karena kau berjanji untuk datang tadi pagi!"     

"Tapi aku tidak memintamu tidak makan hanya karena menungguku, kan?"     

"Shin! Kau ini menyebalkan!"     

"Ehh? Hm … kalau memang aku menyebalkan, lebih baik aku pergi saja, yah!" Shingo bersiap bangun dari kursinya.     

"Jangan!" cegah Zhao Qingyi cepat. Matanya kembali basah. "Jangan pergi …." Suaranya melirih dengan membawa suara isakan pelan. "Aku … ingin … hiks … Shin tetap di sini … lebih lama lebih baik … hiks … kumohon …."     

"Kenapa—"     

"Jangan tanya kenapa!" Zhao Qingyi lekas menyahut sebelum Shingo melanjutkan pertanyaannya. Dia sudah tahu kalimat apa yang berikutnya akan dilantunkan lelaki itu.     

"Hm, baiklah. Tapi aku hanya akan sampai petang saja, oke? Dan itu maksimal waktu yang bisa aku berikan." Shingo kembali duduk ke kursi tadi.     

-0-0—00—0-0-     

Pagi itu, di Jepang, di sebuah penthouse besar yang nyaman, sepasang suami istri sedang saling menyuapi. Sang istri duduk di pangkuan suaminya sambil mengunyah disertai senyuman, sama seperti suaminya.     

"Aku rindu suasana intim kita begini, sayank." Ini adalah Nathan Ryuu yang berbicara sambil memandang mesra ke istrinya.     

"Umm … maaf, Ryuu. Saat ini memang jadwal promosi kami begitu padat dan aku jadi susah pulang ke rumah karena harus keliling Jepang untuk menghadiri banyak acara." Reiko melingkarkan satu lengan ke leher suaminya sambil mengambil sesendok potongan kecil pancake yang sudah dilumuri es krim cokelat di bagian atasnya.     

Mulut Nathan Ryuu mengambil potongan pancake dari sendok di tangan istrinya, mengunyah sebentar kemudian menjawab, "Iya, aku mengerti." Suaranya sedikit tak jelas karena sembari mengunyah. Tapi setelah dia menelan semuanya, dia berbicara lebih jelas, "Setidaknya aku bersyukur karena bisa memiliki waktu seperti ini bersamamu setelah sekian lama."     

"Bukannya semalam dan bahkan pagi tadi sudah kau puaskan keinginanmu, Ryuu?" Mata Reiko mengerling menggoda suaminya.     

"Ha ha, rasanya tak ada puasnya kalau denganmu, sayank." Tangan Nathan Ryuu melingkari pinggang ramping sang istri tercinta, tatapan begitu syahdu ke mata Reiko, seakan-akan dia sungguh menghargai momen seperti ini yang akhir-akhir ini mulai langka dikarenakan jadwal padat Reiko sebagai idol baru yang sedang menanjak namanya.     

"Apa kau tak bosan kalau hanya begini-begini saja, Ryuu?"     

"Apa kau berharap aku bosan?"     

"Tsk! Tentu saja tidak! Pastinya aku sebagai wanita normal, akan berharap suamiku selalu menginginkan aku dan tak pernah bosan padaku!" Reiko menampilkan wajah merajuk dengan mulut mengerucut manja.     

"Ha ha, kalau begitu, aku akan kabulkan harapanmu … tidak akan bosan padamu dan selalu menginginkanmu." Nathan Ryuu merundukkan kepala istrinya agar dia bisa bebas melumat bibir sang istri.     

Pagi itu di meja makan, mereka kembali mereguk indahnya cinta.     

Apakah semuanya akan tentram damai begitu saja?     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.