Inevitable Fate [Indonesia]

Tidak Bisa Lagi Diam



Tidak Bisa Lagi Diam

0Di lokasi syuting di tempat yang cukup terpencil, jauh dari pemukiman dan area itu memang biasa dijadikan lokasi syuting untuk film dan drama klasik, terjadi insiden pada Shingo yang berujung pada Zhao Qingyi.     
0

Lampu syuting di atas Shingo tiba-tiba saja tali kabelnya putus. Namun, Zhao Qingyi bergerak lebih cepat dan mendorong Shingo sambil mereka melompat bersama.     

Sayang sekali, salah satu pergelangan kaki Zhao QIngyi masih terjangkau oleh lampu yang jatuh. Itu menyebabkan luka berdarah sekaligus luka bakar di sana, menyebabkan gadis asisten itu pun pingsan.     

Setelah Zhao Qingyi dibawa ambulans yang didatangkan, produser Bei segera mengumpulkan staf yang menangani set dan lampu. Dengan tegas dan menahan amarah, sutradara Luo pun memecat semua staf lampu tengah malam itu juga.     

Sedangkan Shingo, dia terlihat tegar dan wajahnya terkesan dingin seakan tiada reaksi mengenai kejadian yang nyaris mencelakainya tadi.     

"Shingo, apa kau masih bisa lanjut malam ini?" tanya sutradara usai memecat para staf lampu.     

"Ya, bisa." Shingo menjawab dengan nada datar sedatar wajahnya.     

Hal itu membuat semua orang yang mendengar hanya bisa melongo. Mereka tak percaya jika tidak mendengar sendiri. Kasak-kusuk di sekitar sana pun tidak terelakkan lagi.     

"Dia masih bisa lanjut syuting!"     

"Padahal asistennya celaka gara-gara dia."     

"Aku tak percaya ada orang berhati sedingin itu."     

"Aku sudah yakin dia memang orang kejam tak berperasaan."     

"Sudah, sudah, tak usah dekat-dekat padanya! Tidak heran dia itu orang Jepang. Aku tak heran."     

Terganggu dengan ucapan lirih yang terakhir dilantunkan salah satu artis pendukung, Shingo tidak bisa lagi diam dan dia menoleh ke artis perempuan tersebut. "Kau, apakah menurutmu aku tidak cemas akan keadaan Yiyi? Kalaupun aku cemas dan ikut ambulans, apakah itu akan memuaskanmu? Aku sudah mempercayakan Yiyi ditangani orang yang tepat di rumah sakit sana, dan tugasku ada di sini untuk melanjutkan pekerjaanku karena aku berusaha untuk tetap bersikap profesional. Apakah itu sesuatu yang salah di matamu? Hanya karena aku tidak ingin ikut bergosip dengan kalian yang hanya bisa membicarakan pacar, selingkuhan, teman tidur atau artis lain, lalu aku kalian cap sebagai anti sosial dan lain sebagainya? Kenapa kalian tidak mengajakku berbincang mengenai hal lainnya ketimbang menjelekkan rekanmu sendiri di belakangnya atau membicarakan seks yang kalian jalani? Aku tak butuh topik semacam itu untuk diobrolkan!"     

Ucapan panjang nan lebar dari Shingo yang dikatakan dengan bahasa Mandarin fasih dan benar menggunakan nada tegas dan lugas tentu saja mengejutkan artis tersebut dan juga semua orang di dekatnya. Mereka tentu saja tidak akan menyangka akan mendengar tutur kata keras dan tegas itu dari mulut Shingo yang mereka kira sebagai orang yang tak fasih berbahasa Mandarin.     

"Astaga, rupanya ada yang sudah menekan tombolnya sehingga dia menyemburkan semua kata-kata yang ia simpan selama ini," bisik lirih Derek Zhang sambil berdiri tak jauh dari Shingo.     

Sutradara dan produser juga tak sengaja mendengar ucapan lugas Shingo.     

"Aku setuju dengannya." Sutradara berkata sambil menepuk bahu Shingo dari belakang. "Pekerjaan tetaplah pekerjaan yang harus segera dirampungkan agar tidak menghambat yang lainnya. Aku menyukai etos kerja semacam itu." Beliau mengangguk kagum ke Shingo.     

Produser Bei tersenyum lega melihat orang yang ia lindungi ternyata bukan kosong tanpa mutu.     

"Kalau masih ada yang ingin rasis, lebih baik angkat kaki dari projectku ini." Sutradara Luo menambahkan sambil matanya menatap tajam ke artis yang tadi menyangkutpautkan Shingo dengan kewarganegaraannya.     

Artis itu segera saja menundukkan kepalanya dan dia gugup setengah mati. Rasanya dia ingin menghilang saja ke dalam tanah. Dia bertanya-tanya, apakah karirnya masih bisa terselamatkan setelah menerima teguran dari sutradara begitu? Apalagi disaksikan produser Bei, bukankah dia sudah tamat?     

"Mari kita lanjutkan malam ini agar syuting lekas selesai." Shingo langsung berkata sambil berjalan ke tempat duduknya.     

"Lanjutkan!" teriak sutradara. "Bagian properti, bagian set, segera buat lagi set baru, pastikan semuanya aman atau kalian semua aku penjarakan karena hendak mencelakai artis-artisku!"     

Staf yang tersisa pun segera bekerja sama mendirikan set baru karena staf bagian lampu sudah dipulangkan beberapa saat lalu.     

Nana Feng menatap Shingo sambil terdiam di tempatnya. Hatinya bergemuruh, ingin rasanya menerjang lelaki itu yang terlihat sangat keren ketika marah karena membela diri. Tapi sayang sekali, mereka masih harus berada di tempat ini beberapa hari ke depan.     

Senyum kecil Nana Feng muncul tanpa dia sadari saat menatap Shingo. Ini diperhatikan asistennya, Cindy, yang berada di sebelahnya.     

-0-0—00—0-0-     

Saat semua adegan yang harus di rekam di lokasi itu sudah selesai semuanya, maka mereka bisa kembali ke kota. Shingo segera saja melajukan mobil milik Zhao Qingyi yang diparkir di lokasi itu untuk keluar dari area tersebut.     

"Jangan harap aku mengijinkanmu mengajak dia di mobil kita, Nana." Cindy sudah berada di belakang setir dengan Nana Feng ada di sisinya. "Aku tahu arti tatapanmu tadi ke pria itu saat kita semua hendak pulang ke kota."     

"Tsk! Sok tahu." Nana Feng mendecih sembari memasang sabuk pengamannya.     

"Aku paham jalan pikiranmu, Nona Feng, aku sarankan agar kau bisa lebih menahan diri mengenai itu supaya tidak perlu ada gosip timbul mengenai kalian." Cindy pun melajukan mobil keluar dari area parkiran lokasi syuting, berbaur dengan mobil-mobil lainnya.     

Shingo tidak pulang ke apartemen melainkan langsung ke rumah sakit untuk menjenguk Zhao Qingyi.     

Setibanya di rumah sakit itu, langkah Shingo dipercepat begitu dia keluar dari mobil, tak sabar ingin tahu kondisi asistennya.     

"Nah, lihat, sesuai perkiraanku, bukan? Dia tidak langsung ke apartemennya melainkan ke rumah sakit untuk menemui asistennya," ucap Cindy yang menghentikan mobil di depan gerbang utama rumah sakit itu. Ia terpaksa menuruti keinginan Nana Feng untuk membuntuti mobil yang dikendarai Shingo.     

"Hm, ya sudah." Nana Feng menyamankan duduknya sambil menaikkan kacamata hitamnya, berlagak santai sambil melandaikan joknya.     

Mobil mereka pun melanjutkan jalan menuju ke apartemen Nana Feng.     

Di rumah sakit, Shingo berhasil menemukan kamar rawat inap Zhao Qingyi. Ia masuk dan menemui asistennya berbagi kamar dengan 2 pasien lainnya.     

"Yiyi, apa kabar?" Shingo menyapa sang asisten yang masih rebah sambil menatap layar ponselnya.     

"Ehh? Shin!" Zhao Qingyi terkejut sampai hampir menjatuhkan ponsel di tangannya. "Kau sudah selesai syuting?"     

"Ya." Shingo kemudian mengambil kursi di sebelah ranjang dan mendekatkannya ke tepi ranjang sebelum mendudukinya. "Aku langsung ke sini begitu Pak Luo mengatakan kami boleh pulang."     

Zhao Qingyi tersenyum semanis mungkin. "Syukurlah kalau sudah selesai. Ehh, kau ke sini pakai—"     

"Mobilmu, tentu saja. Kan masih ada di lokasi."     

"Ohh, baguslah kalau begitu, aku bisa tenang."     

"Yiyi, bagaimana kakimu?"     

"Patah dan mungkin harus bedrest selama setengah bulan lebih." Senyum Zhao Qingyi masam ketika mengatakan itu. "Tapi … aku lega karena bukan kau yang mengalaminya, Shin." Ia mengganti senyum masamnya dengan yang lebih cerah dan manis. "Aku tak akan rela jika kau sakit atau celaka, Shin. Aku lebih rela menggantikannya saja."     

Kening Shingo berkerut mendengar ucapan manis Zhao Qingyi. Ada dugaan di hatinya meski dia berharap dugaan itu keliru.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.