Inevitable Fate [Indonesia]

Yang Sebenarnya Terjadi



Yang Sebenarnya Terjadi

0Di mobil, Zuko bertanya, "Apakah kalian sedang terkena masalah?" tanya Zuko lagi sambil menyetir.     
0

Runa membeku diam sambil menatap Zuko. Haruskah dia menceritakan semuanya? Tapi, misalpun disembunyikan dari Zuko, jangan-jangan Zuko sudah mengetahui dari kakak sialannya itu!     

"Runa sayank?" Zuko kembali menyebut nama tunangannya yang masih saja diam. Dia kurang peka memahami bahwa jika lawan bicara diam saat ditanya berarti tidak ada keinginan untuk memberikan jawaban entah dikarenakan alasan apa. Pokoknya, Zuko ingin mencari tahu apa hal yang menyebabkan Runa berwajah suram sejak tadi.     

Karena Zuko seolah mendesak dirinya dengan pertanyaan tersebut, sepertinya sudah tidak ada jalan lain bagi dirinya selain mengatakan apa adanya. "Um, jadi begini …." Dan Runa pun membeberkan semua yang terjadi dengan keluarganya, termasuk rumah yang diambil rentenir.     

"Wah! Kalau begitu, biar aku cari cara agar rumah Ibu kembali, yah!" Demikian sahutan dari Zuko begitu Runa menyelesaikan ceritanya.     

"Jangan! Jangan, Zu-nii! Aku akan sangat marah padamu jika kau berani melakukan apapun mengenai itu!" Runa teguh bersikeras agar tunangannya tidak lagi berkorban untuk keluarga dia, terutama atas kekonyolan tingkah sang ibu yang membuatnya malu.     

"Kau yakin?"     

"Ya, Zu-nii, aku tak mau kau mengeluarkan uang lagi untuk aku dan keluargaku. Pengeluaranmu yang terakhir untuk kami saja sudah sangat besar dan pastinya menguras rekeningmu, ya kan?"     

Melirik ke Runa dan mendapati tatapan tajam tunangannya, Zuko tak berkutik dan hanya bisa meringis canggung.     

Mobil pun sampai di rumah Zuko dan mereka masuk bersama ke rumah masa depan mereka tersebut sambil bergandengan tangan.     

Sementara itu di apato Reiko, Bu Sayuki dan Tomoda duduk bersama di ruang tengah sambil menyalakan televisi yang sebenarnya tidak mereka tonton, hanya ingin ada suara saja di ruang itu.     

"Bu, apakah Runa tahu sebenarnya apa saja yang kita lakukan sampai menggadaikan surat rumah?" tanya si putra, Tomoda.     

"Tsk, tentu saja tidak semuanya aku ceritakan kepada dia! Apa kau pikir Ibu sudah gila?" pekik Bu Sayuki sambil wajahnya cemberut.     

"Berarti Runa tak tahu jika sebagian uang dari surat tanah itu kita pakai untuk berjudi?"     

"Tentu aku tak berani mengatakan itu ke Runa atau dia tidak akan mau mengupayakan uang untuk membayar hutang-hutang judi kita."     

"Yah, kalau begitu, jangan pernah katakan padanya, Bu. Mungkin itu akan lebih aman untuk kita ke depannya."     

"Itu gara-gara kau, bocah brengsek!" maki Bu Sayuki ke putranya sambil telunjuknya mengarah ke Tomoda dengan kejam. "Kalau kau tidak membujuk Ibu untuk ikut memasang taruhan itu, pasti Ibu tidak perlu menyerahkan surat rumah ke temanmu itu!"     

"Tapi, Bu, kita kan sempat menang banyak."     

"Ya, dan setelah itu terus saja kalah, kau bocah sialan!"     

"Ibu juga tidak mengatakan ke Runa soal ibu bermain trading online, kan?"     

"Huh! Mana Ibu berani?" Bu Sayuki melengos sengit dari tatapan Tomoda. "Itu juga Ibu hanya mendapatkan untung di awal saja dan setelahnya gagal terus dan malah hutang Ibu jadi makin menumpuk! Ini juga gara-gara kau yang membujuk Ibu mengenai aplikasi trading itu!"     

"Bu, banyak temanku yang mendapatkan untung dari bermain trading seperti itu. Aku melihat sendiri mereka kerap menang. Jadi, aku pikir, itu merupakan solusi untuk kita bisa keluar dari hutang judi sebelumnya." Tomoda tak mau disalahkan sepenuhnya.     

"Kalau memang teman-temanmu sering menang trading, kenapa mereka menolak membantumu meminjami uang, heh?" Bu Sayuki mendelik kesal ke putranya.     

"Yah, itu … mungkin saja uangnya sudah mereka habiskan?" terka Tomoda seenaknya.     

"Lalu mana teman yang kau bilang sering gonta-ganti mobil dan pergi keliling dunia? Mana dia? Kenapa dia malah menghilang setelah mengajak kita bermain trading?"     

"Bu, kan mungkin saja dia sudah sangat sibuk dan bepergian ke seluruh penjuru dunia. Mungkin dia tidak sedang di Jepang ketika aku menghubungi dia."     

"Huh! Teman-temanmu itu semuanya tidak berguna ketika kita membutuhkan bantuan!" rajuk Bu Sayuki dengan wajah cemberut.     

"Sudahlah, Bu. Lupakan saja rumah lama kita yang di sana. Lagipula, rumah itu pun sudah jelek dan kurang gaya. Lebih baik tinggal di Tokyo dan lebih bergengsi tinggal di apato seperti ini, ya kan?" Dua tangan Tomoda terentang menilai apato Reiko yang cukup luas itu.     

Mata Bu Sayuki mau tidak mau mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. "Hm, iya juga sih, tinggal di kota metropolitan seperti Tokyo sepertinya meningkatkan martabat kita. Apalagi di apato sebesar ini, kalau teman Ibu bertanya, aku bisa menegakkan dada mengatakan mengenai tempat ini."     

"Nah, karena itu, tidak perlu lagi Ibu meratapi rumah kita. Itu biarlah menjadi masa lalu kita saja, Bu. Sekarang, di sini inilah masa depan kita!" Tomoda mendekat ke ibunya untuk memberikan persuasi beracunnya.     

"Hm …." Bu Sayuki tidak menyanggah putranya. Nyatanya, dia memang senang dan memiliki kebanggaan bisa tinggal di Tokyo dan di tempat sebagus apato ini.     

"Bu, Bu, bagaimana kalau apato ini menjadi hak milik kita saja? Suruh Runa untuk meminta hal ini ke Reiko. Aku yakin si Reiko itu pasti mau jika yang meminta adalah Runa." Lihat, lidah beracun Tomoda mulai beraksi.     

Bu Sayuki menatap anaknya beberapa saat sebelum akhirnya dia tersenyum. "Kurasa itu bagus juga."     

Wajah Bu Sayuki terus saja tersenyum membayangkan apato itu sudah menjadi miliknya. Besok dia harus mulai membujuk Runa agar bicara ke Reiko mengenai apa yang dikatakan Tomoda tadi.     

Sembari pikiran Bu Sayuki melanglang buana, mata Tomoda terarah ke layar televisi dan melihat di sana sedang menayangkan mengenai wawancara Synthesa di sebuah stasiun televisi ternama.     

Dengan begitu, Tomoda pun melihat Reiko. Jantungnya berdegup saat melihat Reiko di acara itu, terutama ketika Reiko menari.     

Saat Bu Sayuki sudah selesai dengan khayalannya, ia menyadari televisi sedang menayangkan acara dengan Reiko dan grupnya di dalamnya. "Huh! Matikan televisinya!" Mendadak, wajah geram Bu Sayuki muncul setelah tadinya dia penuh akan senyuman.     

"Jangan, Bu! Aku ingin menonton ini dulu!" cegah Tomoda sambil merebut remote televisi dari tangan ibunya.     

"Kau ini! Jangan bilang kalau kau masih tergila-gila pada si jalang itu, bocah tolol!" hardik sang ibu.     

Namun, Tomoda tetap mengamankan remote televisi dan menggeleng. "Aku tidak tergila-gila, hanya ingin mengetahui musik terkini," elaknya.     

"Cih! Masih bisa beralasan!" Bu Sayuki pun bangkit dari duduknya dan melangkah ke televisi lebar itu dan mematikannya. Terdengar desah kecewa Tomoda.     

Namun, saat Bu Sayuki masuk ke kamar tidur, Tomoda segera menyalakan televisi lagi dan ia tersenyum menonton Reiko yang masih ada di acara tersebut. "Kau sekarang makin cantik dan seksi sekali, Rei sayank …." bisik Tomoda sambil mengusap-usapkan tangannya ke selangkangannya dan remote televisi diusapkan ke bibirnya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.