Inevitable Fate [Indonesia]

Ingin Menguasai Properti Reiko



Ingin Menguasai Properti Reiko

0Runa dengan emosionalnya menjawab ibunya yang terus merongrong dia mengenai permasalahan hutang Bu Sayuki. "Yah, kalau begitu, biar saja rumah itu disita ataupun diambil rentenir."     
0

-0-0—00—0-0-     

Dua hari berikutnya, Bu Sayuki dan Tomoda sudah berada di Tokyo lagi. Mereka, ibu dan putra itu menaruh semua barang mereka ke apartemen Reiko yang ditinggali Runa.     

"Bu, kau yakin pindah ke Tokyo?" tanya Runa sambil menatap kumpulan barang-barang ibu dan kakaknya.     

"Tentu saja. Kita sudah tidak punya rumah, lalu harus bagaimana lagi? Tidur di tepi jalan? Tidur di kolong jembatan? Kau tega menginginkan ibu dan kakakmu melakukan itu? Kau tega melihat kami menjadi gembel sementara kau hidup bermewah-mewah di sini?"     

"Bu, aku sama sekali tidak hidup bermewah-mewah. Kenapa kau selalu saja berpikiran begitu?" Raut wajah Runa menunjukkan keputusasaan mendengar tuduhan ibunya tiap saat mengenai hal itu.     

Mungkin, karena pemikiran demikian, Bu Sayuki terus merongrong Runa mengenai uang. Dia pikir, putrinya ini sudah berkelimpahan harta di Tokyo, maka dia berhak mendapatkan bagiannya sebagai ibunya.     

Bagi Bu Sayuki, dia sudah susah payah melahirkan dan membesarkan anak-anaknya. Maka, ketika anaknya sukses, maka Bu Sayuki berhak mendapatkan setengah dari kesuksesan anaknya.     

"Runa, kamar paling besar di sini biar untukku saja, yah!" Tomoda tiba-tiba saja keluar dari kamar utama yang dipakai Runa. Kamar itu dulunya dipakai oleh Reiko dan memiliki dinding dengan peredam suara yang bagus.     

Mata Runa membelalak sambil mulutnya ternganga mendengar permintaan sang kakak. "Kenapa kau mengambil kamar itu? Itu akan aku pakai untuk ibu dan aku! Kau kamar satunya!"     

"Ahh, kamar satunya kecil sekali. Aku juga ingin mencoba karir menjadi yutuber mumpung ada kamar dengan peredam suara." Tomoda seolah tak perduli mengenai apa yang diucapkan adiknya. "Kau lebih baik tinggal di rumah pacarmu saja."     

Bu Sayuki menatap putranya sebelum tatapannya beralih ke Runa dan berkata ke putrinya, "Runa, sepertinya apa yang dikatakan kakakmu ada baiknya. Kau dan Zuko kan sudah bertunangan. Maka, akan lebih nyaman jika kau mulai tinggal dengannya."     

"Bu, kami belum menikah! Hanya bertunangan!" Runa menampakkan wajah tak berdayanya. Sepertinya dia harus menyesali ucapannya agar rumah direlakan saja diambil tengkulak. Jika ujungnya dia harus menampung ibu dan kakaknya yang malah melunjak begini, dia tak akan membiarkan rumah itu terambil pihak lain. "Ini baru sehari kalian pindah ke sini dan kalian sudah ingin mengambil apartemen ini? Hei, ini adalah apartemen milik Rei-chan! Dia masihlah pemilik sah dari tempat ini! Dia kerap kalian jahati tapi propertinya malah kalian ingin kuasai?" Runa tak tahan.     

"Hei! Kau ini keluarganya Reiko atau kami? Darahmu sama dengan kami atau Reiko?" Mata Tomoda nyalang mempertanyakan itu ke adiknya. "Kami ini keluargamu! Harusnya kami yang paling kau utamakan di atas segalanya!"     

"Kakakmu benar, Runa. Sudah, sudah, tak usah bertengkar mengenai itu." Bu Sayuki mengelus lengan Runa untuk menenangkan putrinya. Bagaimana pun juga, ini masih hari awal mereka pindah ke Tokyo. Akan repot jadinya jika Runa mengusir mereka.     

"Tapi, Bu. Aku memperbolehkan tinggal di sini bukan untuk menguasai tempat ini. Bagaimana pun, ini masih milik Rei-chan!" Runa menatap tak berdaya ke ibunya.     

"Runa sayank," ucap Bu Sayuki sambil menahan kesalnya dan tetap bernada lembut. "kami ini adalah keluargamu. Lagi pula, memangnya kenapa jika ini adalah properti dia? Dia berapa kali menginap di rumah kita dan memakai properti kita, sayank? Bukan sekali dua kali saja dia menumpang di rumah kita dulunya, kan? Jadi, kalau kami misalpun mengambil alih apato ini, sudah sewajarnya! Anggap saja ini bayaran dia atas bea menumpang di tempat kita sejak dulu. Toh, dia tidak akan jatuh miskin jika kami mengambil apato ini, iya kan?"     

Runa membeku di tempat sambil menatap ibunya. Namun, menit berikutnya, dia pun memutar badan, berkata, "Aku ingin pergi ke rumah Zuko."     

"Ya, bagus, kau lebih baik pindah ke sana saja, Runa!" seru Tomoda sebelum adiknya menyambar mantel pergi dan tasnya untuk melangkah keluar dari apato itu.     

Runa sudah tidak mau ambil pusing lagi. Rupanya sebuah kesalahan besar memperbolehkan ibunya dan sang kakak tinggal di apato itu. Dia terus saja dikalahkan secara kalimat dan dikeroyok mereka berdua.     

Karena pusing, Runa ingin menenangkan diri di tempat Zuko.     

Sembari menunggu Zuko menjemputnya, Runa duduk di lobi utama apato sambil mengingat lagi kemarin percakapannya dengan Reiko di telepon.     

"Ru-chan, maaf aku waktu itu sudah hampir syuting, jadi tak sempat membalas pesanmu."     

"Tak apa, Rei-chan, aku mengerti."     

"Apakah kau baik-baik saja?"     

"Kita tak bisa bertemu?"     

"Terus terang, saat ini aku masih berada di luar Tokyo untuk acara promosi. Ada apa, tolong katakan saja mumpung aku ada waktu luang cukup banyak saat ini."     

"Rei-chan … aku … aku tak tahu harus berkata apa." Namun, akhirnya, Runa pun menceritakan permasalahan yang dihadapi ibunya.     

Reiko jelas saja terkejut dan berkata, "Ru-chan, aku akan mengirim uang untukmu sekarang, yah! Tolong beritahu aku nomor rekeningmu!" Dia tak tahu bahwa suaminya sudah sering memberi uang Runa melalui rekening.     

Karena Runa merasa tak enak hati, karuan saja dia menolak, katanya, "Tidak, Rei-chan, aku tidak ingin kau mengirimi apapun ke rekeningku. Rumah itu … rumah itu sudah terambil saat ini. Aku hanya … hanya meminta ijin padamu …."     

"Meminta ijin apa?"     

"Bolehkah ibu dan kakakku tinggal di apato milikmu itu?"     

"Ohh, aku pikir hal besar apa. Tentu saja boleh! Mana mungkin tak boleh. Aku sudah menyerahkan apato itu untukmu, Ru-chan. Pergunakanlah dengan baik."     

"Rei-chan, terima kasih. Aku sungguh beruntung memiliki sahabat sepertimu."     

"Jangan bicara begitu, Ru-chan. Kau pun selalu membantuku setiap aku ada masalah sejak orang tuaku meninggal. Sudah sepantasnya aku membalas demikian."     

Ya, Reiko memang secara implisit menyerahkan apato itu untuk Runa, tapi tetap saja Runa merasa tak enak hati jika apato itu sungguh-sungguh diambil alih ibu dan kakaknya. Bagaimana pun juga, dua orang itu kerap jahat pada Reiko, harusnya mereka malu karena pernah melakukan hal-hal buruk ke Reiko.     

Andaikan ibu dan kakaknya kerap berbuat baik pada Reiko, mungkin Runa tidak akan merasa terbebani rasa malu begini. Sayangnya, ibu dan kakaknya justru bersikap arogan seakan sudah sepantasnya apato itu jatuh ke tangan mereka dengan mengungkit mengenai Reiko beberapa kali menumpang di rumah mereka dulunya walau itu hanya sebentar saja.     

"Sayank?"     

Runa mendongak dan mendapati Zuko sudah ada di depannya. Senyumnya terburai manis ketika dia menerima uluran tangan Zuko, dan mereka pun berjalan keluar dari lobi menuju ke mobil Zuko.     

Di mobil, Zuko bertanya, "Kudengar dari kakakmu bahwa dia dan ibu pindah ke Tokyo, benar?"     

"Ahh, ya, benar." Runa mengangguk, dalam hatinya mengutuk si kakak yang begitu mudahnya menghubungi sang tunangan untuk membeberkan hal itu.     

"Apakah kalian sedang terkena masalah?" tanya Zuko lagi sambil menyetir.     

Runa membeku diam sambil menatap Zuko. Haruskah dia menceritakan semuanya? Tapi, misalpun disembunyikan dari Zuko, jangan-jangan Zuko sudah mengetahui dari kakak sialannya itu!     

Bagaimana ini? Jujur atau menutupinya?     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.