Inevitable Fate [Indonesia]

Permasalah Pelik Runa



Permasalah Pelik Runa

0Saat Reiko sedang sibuk mempersiapkan acara wawancara sekaligus promosi Synthesa di kanal televisi milik suami Nyonya Revka, DRTV, Runa masih menunggu jawaban dari Reiko.     
0

Karena itu adalah akhir pekan, tentu Runa tidak berangkat bekerja. Dia ada di apato milik Reiko yang dulu. Sementara itu, dia masih berjalan mondar-mandir di ruang tengah sambil sesekali menggigiti ujung kukunya karena gelisah.     

"Runa sayank, bagaimana? Bisa?" Suara Bu Sayuki yang duduk di sofa ruang itu terdengar lagi. Entah ini sudah keberapa kalinya Beliau bertanya ke putrinya.     

"Sepertinya Rei-chan sedang sibuk, Bu. Dia tidak menjawab pesanku. Hanya membaca saja." Runa menoleh ke ibunya dan sebenarnya dia sudah sebal karena ibunya terus saja bertanya itu dan itu.     

"Tapi, sayank, ini sudah sangat dekat tenggat waktunya. Nanti malam atau rumah ibu akan disita!" Ternyata inilah kenapa Bu Sayuki gelisah dan mengganggu putrinya dengan pertanyaan tadi terus dan terus saja.     

"Itu salah Ibu karena seenaknya saja berhutang dan menjaminkan rumah!" Runa tidak bisa tidak kesal. Ia tak habis pikir apa yang di benak ibunya sampai senekat itu berhutang sangat besar pada tengkulak dan akhirnya malah tak sanggup melunasi.     

"Duh, Nak, apakah kau tega memarahi Ibu yang sudah seperti ini?" tanya Bu Sayuki dengan wajah memelas namun masih ada aura protes. "Ibu ini sudah tua dan entah kapan Ibu akan mati. Apa salahnya sedikit bersenang-senang sebelum nyawa Ibu habis?"     

"Tapi, Bu, tidak sampai perlu keliling Eropa dan Amerika juga! Apalagi mengajak si tak berguna itu!" Runa memaksudkan mengenai kakaknya, Tomoda. Wajahnya benar-benar mengesankan kejengkelannya.     

"Apakah kau tak bisa meminjam ke tunanganmu?"     

"Bu! Baru seminggu lalu aku meminjam dia untuk melunasi setengah hutang Ibu. Mana bisa aku minta lagi? Itu saja sepertinya dia sangat menguras tabungannya hanya demi bisa menyediakan uang yang kuminta!"     

Wajah Bu Sayuki surut dan diam. Tapi, seakan tidak ada penyesalan di ronanya.     

Beberapa bulan lalu, Bu Sayuki nekat meminjam ke tengkulak kenalan Tomoda sejumlah besar uang dengan jaminan surat rumah.     

Namun, ternyata uang sebanyak itu digunakan untuk pelesir keliling Eropa dan Amerika menggunakan kapal pesiar bersama Tomoda. Tidak hanya itu saja yang membuat uang hutang itu ludes, karena tentunya mereka juga membeli banyak barang di Eropa dan Amerika yang sebenarnya tidak penting. Hanya ingin punya saja.     

Ini membuat Runa kesal bukan main. Dia kira ibunya tidak menghubungi dia selama 2 bulan lebih karena sedang tak ingin mengganggu hidupnya, tapi ternyata …     

Runa tentu saja sangat terkejut hampir pingsan ketika Bu Sayuki datang padanya dan berkata jujur mengenai hutang pada tengkulak dan jaminan rumah itu. Andai seorang anak boleh durhaka, ingin sekali Runa memukul Bu Sayuki, terlebih andai jika dia tidak ingat itu adalah ibunya.     

Saat ini, Runa tak tahu harus menghubungi siapa lagi untuk berhutang. Dia sudah sangat malu pada Zuko karena berulang kali dia menyusahkan Zuko gara-gara urusan ibunya.     

Kalau harus meminjam Akeno atau Itachi, itu sangat mustahil untuk dilakukan. Runa tidak memiliki nyali untuk meminjam ke mereka. Bukan kebiasaan orang Jepang untuk meminjam begitu mudah ke kenalan mereka, karena itu mempertaruhkan nama baik dan hubungan mereka.     

Sudah menjadi kebiasaan orang Jepang untuk tidak mudah berhutang meski itu pada kerabat atau kawan, karena mereka menjunjung tinggi nama baik diri sendiri dan keluarga. Itulah kenapa orang Jepang bekerja keras agar mereka tidak perlu berhutang ke siapapun.     

Namun, sepertinya nilai moral itu sudah luntur di jiwa Bu Sayuki. Hanya karena dia ingin mencicipi rasanya hidup seperti kaum jetset, dia sampai mengorbankan harga diri dan keluarga. Ia mengira anaknya pasti bisa mengupayakan uang dengan mudah karena selama ini Runa selalu memiliki uang entah dari pekerjaannya ataupun dari Zuko.     

"Apa benar si Reiko itu tak mau membalas pesanmu?" tanya Bu Sayuki lagi.     

Runa sudah bosan mendengar pertanyaan itu-itu melulu dari ibunya, tapi ia tak bisa mengelak karena sang ibu ada di ruangan yang sama dengannya. Andai itu di telepon, dia bisa menutup sepihak. "Bu, aku tidak tahu Rei-chan sedang apa. Kemungkinan dia sedang sibuk."     

"Huh! Aku tak percaya!" Bu Sayuki malah mencibir. "Dia membaca pesanmu tapi tak membalasnya? Memang sesibuk apa sampai tak bisa mengetik sebentar hanya sekedar membalas pesan? Itu pasti dia sengaja karena dia sudah meremehkanmu, Runa!"     

"Ibu, jangan bicara sembarangan! Rei-chan tak mungkin seperti itu!"     

"Runa, kau ini terlalu polos atau apa? Apa menurutmu sahabatmu itu yang paling baik di dunia? Apa kau pikir dia itu malaikat? Orang suci? Huh! Saat ini dia memang sedang diberi banyak harta melimpah dari suaminya dan juga pekerjaannya jadi penghibur. Tapi dia seakan sudah melupakanmu, Runa! Sadarlah!"     

"Ahh, Ibu, kau malah membuatku makin pusing!" Runa tak tahan lagi dan memilih masuk ke dalam kamar.     

Namun, Bu Sayuki mengekor ke kamar tersebut. "Runa, malam ini uangnya harus ada atau rentenir itu akan mendatangi kakakmu dan entah apa yang akan dilakukan mereka pada kakakmu!"     

"Biar saja. Biar dia rasakan akibat kegilaannya sendiri, sok-sokan berfoya-foya tapi bukan pakai uang sendiri."     

"Runa! Sejak kapan kau sepahit itu pada keluargamu sendiri? Apakah ini yang Ibu ajarkan padamu selama ini? Membenci kakakmu dan memusuhi dia?" Bu Sayuki melotot ke putrinya.     

Ingin sekali Runa berteriak bahwa kakak seperti Tomoda tidak layak diberi kasih sayang saudara ataupun rasa hormat. "Bu, tolong keluarlah, aku butuh istirahat sebentar. Kepalaku pusing."     

"Nak, Runa sayank …." Suara Bu Sayuki kembali lembut mendayu sambil merangkul lengan putrinya. "Apa kau sudah lupa bagaimana dulu Tomo membelamu dari anak-anak nakal di kompleks kita? Dia selalu melindungi kamu dari kamu kecil. Dia yang sering pasang badan dan babak belur setiap kalian pulang bermain di luar rumah."     

Runa terdiam. Dia tidak menyangkal bahwa kakaknya masa kecil dulu memang selalu menjadi pembela sekaligus pelindung baginya, namun ….     

"Ohh, sebentar, ada telepon masuk." Bu Sayuki mengeluarkan ponsel merk terkenal keluaran terbaru yang mahal dan sedang hits. "Ohh? Oh ya? Aduh … baiklah, baiklah, akan Ibu usahakan, yah!"     

Setelah itu, telepon ditutup dan kembali disimpan di saku, lalu Bu Sayuki berkata ke Runa. "Sayank, saat ini, rentenirnya sudah mendatangi rumah dan kakakmu ketakutan di sana. Mereka tegas menginginkan uangnya lunas nanti malam. Sayank, bagaimana ini?"     

Runa melirik datar ke ibunya. "Yah, kalau begitu, biar saja rumah itu disita ataupun diambil rentenir."     

Bu Sayuki melongo di tempat menatap Runa. Tak percaya putrinya mengatakan hal semacam itu. "Runa … kau … kau serius? Kau yakin ingin rumah kenangan ayahmu itu sampai terambil mereka?"     

"Ya, karena aku tak punya uang dan tak ada orang lain yang bisa kumintai hutang." Runa meneguhkan hatinya meski pedih luar biasa membayangkan rumah kenangan ayahnya akan lepas dari keluarganya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.