Inevitable Fate [Indonesia]

Ingin Segera Terbang ke Pelukanmu



Ingin Segera Terbang ke Pelukanmu

0Reiko terbangun dari efek mabuknya dan menjumpai dirinya sudah berada di sofa dan Shingo berdiri tak jauh darinya dengan wajah sedikit memerah dan napas tersengal. "Aku minta maaf karena sudah merepotkanmu, Shingo-san."     
0

"O-Ohh, tidak mengapa, Rei. Ini … ini hanya persoalan kecil saja untukku." Shingo berusaha senormal mungkin memberikan sahutan ditengah suaranya yang bergetar. Hampir saja dia terpergok oleh Reiko akan apa yang sudah dia lakukan terhadap wanita itu.     

Ya, itu memang bukanlah mimpi seperti yang Shingo kira. Meski dia berharap itu hanya khayalan indah semata dari hasil imajinasi liar dia, nyatanya … itu nyata.     

Pelecehan seksual, pemerkosaan senyap yang dia lakukan terhadap Reiko benar-benar terjadi, sungguh dia lakukan saat Reiko tak sadar. Ini memang buruk, sangat buruk, dan Shingo hanya menyesalinya meski tak punya nyali untuk meminta maaf mengenai itu ke Reiko, atau ke siapapun.     

Yah, hal ini akan dia jadikan sebagai rahasia terbesar hidupnya yang tak boleh diketahui siapapun! Itu ikrar Shingo ketika dia melihat wajah tak berdosa milik Reiko yang menatap padanya penuh rasa terima kasih.     

Terima kasih? Shingo ingin sekali tertawa keras-keras akan ironi ini sambil mengutuk dirinya. Betapa buruknya dia. Betapa bejatnya dia melakukan hal busuk terhadap orang yang sudah menganggap dia teman, terhadap istri orang lain.     

Shingo meremas rambutnya dengan sikap frustrasi.     

"Sho-Shingo-san, apakah kau … kau baik-baik saja?" Reiko bahkan mengkhawatirkannya. Ini membuat Shingo semakin merasa bersalah. Tadi dia benar-benar terhanyut dan membiarkan setan di otaknya mengambil alih akal sehatnya.     

"Aku … aku tidak apa-apa. Mungkin hanya kena efek mabuk sedikit." Shingo menunduk, tak ada nyali untuk menatap mata Reiko lagi. Dia terlalu terkutuk, terlalu bajingan.     

"Ohh, sudah jam berapa ini?" Reiko menoleh ke arloji di pergelangan tangan kirinya. "Sepertinya aku harus pulang, Shingo-san."     

"Ahh, ya, lebih baik memang kita segera pergi dari sini." Shingo ingin lekas keluar dari ruangan ini. Semakin lama berada di ruang itu, dia semakin tercekik oleh rasa bersalahnya.     

Reiko sedikit heran dengan kalimat Shingo. Sepertinya pria muda itu hendak buru-buru pergi dari tempat ini. Ada apa, yah? Reiko bertanya-tanya dalam hati. Ohh, mungkin Shingo hendak melanjutkan pekerjaannya lagi.     

Akhirnya, Reiko dengan sedikit terhuyung, bangkit berdiri dan berjalan keluar dari tempat itu bersama Shingo yang masih belum sepenuhnya berani menatap Reiko, hanya melirik-lirik saja.     

Sampainya di mobil, Reiko berkata ke Shingo, "Terima kasih sudah menemani makan siang hari ini, Shingo-san. Kapan-kapan kalau ada waktu luang, kita mengobrol lagi, yah!"     

Shingo yang berdiri di sebelah pintu mobil Reiko pun mengangguk canggung sambil ragu-ragu melihat ke wajah Reiko, dan menjawab, "Ya, um, tidak masalah. Aku … aku juga terima kasih atas hari ini."     

Lalu, mobil pun dilajukan oleh Benio, membawa Reiko pergi dari hadapan Shingo.     

Sepeninggal Reiko, Shingo hanya bisa memaki dirinya sambil meremas kalut rambutnya dan melanjutkan perjalanannya menuju ke tempat kerjanya, di salah satu rumah produksi dubbing anime.     

Dia selamanya akan memikul dosa ini … seumur hidupnya. Suatu hari jika dia sudah bisa mengumpulkan segala nyali, mungkin dia akan berlutut memohon ampun pada Reiko.     

Sementara itu di mobilnya, Reiko merebahkan kepala pada sandaran sambil memejamkan mata. Dia masih memiliki sedikit efek mabuk yang membuat kepalanya sungguh pening.     

"Nyonya, Anda baik-baik saja?" tanya Benio sambil melirik dari spion tengah.     

"Benio-san, bisakah carikan obat pengar atau sup pengar?" Reiko meminta.     

"Baik." Benio menjawab seraya melajukan mobil ke arah apotik.     

Saat mobil berhenti di apotik dan Benio turun untuk mendapatkan obat pengar, Reiko mendapati ponselnya bergetar. Ia lekas mengambil, berharap itu bukan suaminya.     

Harapannya terkabul.     

"Permisi, selamat siang, Nyonya." Suara Itachi menyapa pendengaran Reiko.     

"Ohh, ya, Itachi-san?" Reiko membalas sapaan dengan suara ramah.     

"Bisakah saya menemui Nyonya?" tanya Itachi, membuat Reiko kaget. Tidak biasanya tangan kanan suaminya ini meminta bertemu dengannya.     

"Um, ya, tentu saja bisa. Di mana? Atau aku ke kantor?" tanya Reiko.     

"Tidak, biarkan saya yang menemui Nyonya saja. Apakah Nyonya saat ini masih di rumah?"     

"Tidak, aku sedang di depan apotik."     

"Apakah Nyonya sakit? Saya bisa hubungi Tu—"     

"Jangan! Jangan biarkan dia tahu mengenai ini, aku mohon, Itachi-san. Aku … hanya membeli obat sakit kepala saja, bukan hal serius."     

Setelah itu, Itachi berkata dia akan menghampiri Reiko saja karena ternyata letak apotik tidak terlalu jauh dari kantor SortBank.     

Ketika Benio sudah kembali membawakan obat pengar, Reiko lekas menelannya bersama air mineral yang sudah dibelikan Benio juga. "Terima kasih, Benio-san."     

Tak lama, mobil Itachi menghampiri mobil yang ditumpangi Reiko. Ia lekas meminta ijin untuk berbicara dengan Reiko di dalam mobil tersebut.     

Karena itu, Benio pun keluar dari mobil agar dua orang itu bisa berbicara leluasa.     

"Ada apa, Itachi-san?" tanya Reiko dengan hati berdebar, bertanya-tanya kira-kira hal apa yang hendak disampaikan Itachi.     

Jangan-jangan mengenai perselingkuhan suaminya? Itachi hendak membeberkan soal itu padanya? Oh Tuhan!     

"Nyonya, sebelumnya saya mohon ijin untuk sedikit berbicara lancang kepada Anda." Itachi memulai percakapannya.     

"Tidak apa, Itachi-san, silahkan saja bicara apa adanya." Reiko sudah mempersiapkan hatinya, meski dia tahu dia pasti akan menangis jika memang Itachi mengatakan apa yang dia bayangkan.     

"Tadi Nyonya datang ke kantor?"     

"Ya, benar."     

"Maaf, tadi Akeno mengatakan itu pada saya dan saya sempat menginterogasi Runa, karena Akeno mengatakan bahwa Nyonya tampak aneh dan seperti habis menangis saat keluar dari ruangan di sana."     

Reiko terdiam. Kepalanya sedikit menunduk sambil menghindari tatapan lurus Itachi padanya.     

"Apakah ini ada hubungannya dengan Nona Kizo?" todong Itachi tidak bertele-tele.     

Kepala Reiko terangkat. "Nona Kizo? Apakah itu nama keluarganya?"     

"Apakah Nyonya mengenalnya sebagai … Nona Lizden?" tebak Itachi.     

Mulut Reiko membuka meski tidak bisa berkata-kata, hanya bergerak-gerak sambil tubuhnya mulai gemetar.     

Itachi tidak menyia-nyiakan waktu dan berkata, "Jika Nyonya memiliki asumsi apapun mengenai Nona Kizo Lizden, saya hanya bisa katakan dengan jujur bahwa asumsi Nyonya keliru."     

"Ehh? Maksudnya?"     

"Tidak terjadi apapun antara Nona Kizo dengan Tuan, suami Nyonya." Itachi benar-benar gamblang, tak suka bertele-tele.     

Jantung Reiko bagai dihantam godam. "Itu …."     

"Bukankah hal itu yang mengganggu Nyonya seharian ini, benar?"     

"Itu …."     

"Saya katakan lagi dengan jelas pada Nyonya, bahwa tidak ada apapun antara Tuan dengan Nona Kizo Lizden, ataupun dengan wanita lainnya." Lalu, Itachi menceritakan apa yang terjadi di kereta wisata mewah Shiki-Shima, termasuk ketika Nathan Ryuu berulang kali menghindari Kizo Lizden dan memilih menyendiri di kamar kereta untuk menghubungi Reiko atau berbincang dengan anak buahnya saja.     

Mendengar itu, Reiko secara refleks menutup mulutnya dengan tapak tangan seraya matanya mulai basah. Dia telah salah sangka terhadap sang suami. Mendadak, dia ingin segera menghambur ke pelukan sang suami.     

"Bahkan, hari ini pun Tuan tidak bertemu dengan Nona Kizo, jika itu yang ada di benak Anda, Nyonya. Tuan dan saya tadi mengurus sesuatu yang cukup penting di perusahaan koleganya," imbuh Itachi.     

Sungguh, Reiko saat ini ingin lekas terbang ke suaminya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.