Inevitable Fate [Indonesia]

Lama Tak Jumpa, Shingo-san



Lama Tak Jumpa, Shingo-san

0Tidak dinyana, saat Reiko baru saja keluar dari gedung SortBank usai menemui Runa untuk berkeluh kesah, dia malah bertemu dengan Shingo yang sedang berjalan di trotoar.     
0

Reiko lekas meminta Benio menepikan mobil, dan dia pun menghambur keluar sambil berteriak, "Shingo-san!" dan mengejar Shingo yang berjalan beberapa meter di depannya.     

Mendengar suara yang dia kenali itu, Shingo pun berhenti berjalan dan memutarkan badannya. "Rei?"     

Setelah berhasil terkejar, Reiko pun berdiri di depan Shingo sambil napasnya terengah-engah. "Shingo-san, apa kabar? Lama tidak jumpa, yah!"     

.     

.     

Alunan musik jazz ringan yang diputar dari pengeras suara, terdengar lembut membelai pendengaran. Hanya instrumental saja untuk mengiri pengunjung yang ingin bersantap di restoran ini.     

Di sebuah ruang pribadi, duduk dua orang saling berhadapan sambil di depannya sudah terhidang beberapa makanan yang menggugah selera.     

"Kau yakin ini tidak apa-apa begini? Bertemu dengan aku di tempat seperti ini?"     

"Tidak apa-apa, tentu saja tidak apa-apa."     

"Tapi kau kan sudah bisa dikatakan sebagai idola saat ini meski belum debut, benar?"     

"Ya, aku belum debut. Beberapa hari lagi, he he he …."     

"Terlebih … apakah Tuan Ryuu tidak masalah dengan pertemuan kita di sini ini?"     

Mendengar pertanyaan Shingo tadi, Reiko merasakan ada yang mencubit hatinya ketika nama sang suami disebut. Saat ini, entah suaminya sedang apa, dan kemungkinan masih bertemu dengan Lizden dan melakukan—ahh, sudah, sudah! Kenapa harus terus membayangkan itu! "Tentu tidak apa-apa," jawab Reiko lirih sambil memaksa tersenyum.     

Meski sudah berusaha menahan agar tidak perlu memaparkan apapun di depan Shingo, namun bayangan suaminya sedang bermesraan dengan Lizden malah kian menggila di kepala Reiko. Ini membuat Reiko makin kalut dan matanya kian panas, sepanas hidungnya seakan ingin meluapkan sesuatu.     

Mendengar suara bergetar dari Reiko, Shingo curiga terjadi sesuatu pada wanita di depannya ini. Apalagi ketika Reiko menunduk sambil mulai terisak. "Reiko! Kenapa?"     

Shingo bergegas bangun dari duduknya dan menghampiri Reiko, berlutut di samping Reiko yang terus saja menundukkan kepala sambil terisak.     

"Hiks! Tidak apa-apa, tidak ada apa-apa." Reiko merutuki dirinya yang begitu lemah ketika nama suaminya disebut yang akan memicu imajinasi liar dia menggila di kepala. Padahal dia sudah menangis habis-habisan di depan Runa, kenapa pula harus tumpah lagi di depan Shingo?     

"Bohong! Aku yakin kau bohong, Rei. Kau jelas tidak baik-baik saja." Shingo lekas julurkan tangannya dan mengusapkannya ke pipi Reiko. "Maukah bercerita padaku?"     

Shingo nekat melakukan itu karena terpicu oleh kecemasan dia akan keadaan Reiko yang terlihat sangat rapuh saat ini. Dia sudah tidak perduli apapun, hanya ingin menghibur Reiko dan menenangkannya.     

Suara Shingo begitu lembut mendayu saat ini, mengakibatkan perasaan Reiko nyaman dan tenang. Reiko terbuai, senang karena sahabat-sahabatnya perduli padanya. "Aku …."     

Shingo menunggu Reiko menyelesaikan kalimatnya, namun, yang dia lihat, Reiko malah kian terisak. "Hei, hei, kenapa malah menangis begitu?" Karena air mata Reiko makin banjir, maka mau tak mau, Shingo mengeluarkan saputangan dari kantung jaketnya dan mengusapkannya pelan-pelan ke pipi Reiko.     

"Maaf, hiks, maafkan aku yang begini, Shingo-san, hiks, maaf sudah membuatmu khawatir … hiks!" Reiko masih saja tundukkan kepala, tak berani menatap mata Shingo.     

Sambil terus berlutut, Shingo pun memberanikan diri menangkup kedua pipi Reiko, mengarahkan wajah perempuan yang dia sayangi itu ke arahnya agar mau bertautan pandang dengannya. "Rei, coba katakan pelan-pelan padaku, apa yang terjadi."     

Karena wajahnya diarahkan ke Shingo, mau tak mau Reiko menautkan pandangannya pada mata Shingo. Mata lelaki itu begitu teduh dan menenangkan, sesuatu yang membius Reiko. "Aku … aku tak tahu bagaimana harus memulai bicara akan itu."     

Namun, Shingo tidak putus asa dan terus menatap Reiko penuh harap, menyodorkan perhatian agar Reiko percaya padanya.     

Karena itu, Reiko pun tak bisa mengelak lagi dan menceritakan sama seperti apa yang dia ceritakan kepada Runa sebelumnya.     

Mata Shingo membulat dengan dua alis terangkat tinggi ketika Reiko bercerita. "Benarkah? Tuan Ryuu berselingkuh darimu?"     

"Aku … entahlah, Shingo-san, aku masih merasa kacau dan bingung." Reiko menggeleng pelan sambil mulai menyurutkan tangisnya. Saputangan milik Shingo sudah dia pegangi untuk mengelap hidungnya yang basah.     

Reiko hanyalah perempuan yang saat ini sedang rapuh. Dia baru pertama kalinya mencintai seseorang dan menerima seseorang di kehidupan asmaranya, yaitu Nathan Ryuu. Maka, wajar jika dia merasa hancur dan limbung ketika mendapati adanya indikasi perselingkuhan dari orang yang sangat dia percayai.     

"Tidak bisakah kau menanyakan hal itu kepada Tuan Ryuu, bertanya siapa itu Lizden padanya?" Shingo terus menatap lekat ke wajah basah Reiko. Wajah itu masih saja secantik yang dia ingat terakhir kalinya meski dalam kondisi seperti apapun.     

"Mana aku sanggup bertanya hal semacam itu, Shingo-san?" Reiko menggeleng lemah.     

Shingo pun menyadari bahwa Reiko memang tak mungkin bertanya segamblang itu ke Nathan Ryuu, dia ingat karakter Reiko yang tidak akan bertindak frontal dalam situasi apapun. Reiko lebih pasof meski dia disakiti.     

Oleh karena itu, Shingo tidak lagi menyarankan hal demikian ke Reiko karena dia sadar wanita itu tidak akan memiliki nyali untuk itu.     

Menyadari itu, rasanya Shingo ingin menenggelamkan Reiko ke pelukannya, namun tentu itu sangat keterlaluan bagi budaya orang Jepang yang tidak memakai cara demikian untuk menenangkan seseorang, kan?     

Sebesar apapun Shingo ingin memeluk Reiko, dia tak mungkin melakukan itu. Terlebih, bisa-bisa itu juga akan menakuti Reiko sendiri. Maka dari itu, Shingo hanya bisa menenangkan Reiko dengan pendekatan yang lebih umum di Jepang, seperti menghibur dengan kata-kata atau menyodorkan saputangan.     

"Tapi, Rei, karena hal ini belum jelas, kuminta kau untuk tidak berlarut-larut dengan pikiranmu dulu. Siapa tahu saja dugaanmu keliru." Shingo mengucapkan hal yang hampir sama seperti yang Runa ucap tadi di kantor SortBank.     

Reiko mengangguk. "Iya, Shingo-san, aku akan berusaha untuk tidak terus memperdalam pemikiranku yang itu."     

"Hm, ya sudah, kalau begitu, ayo kita makan dulu." Karena tak tahu harus memberi saran apalagi, Shingo pun memberi saran terakhir, yaitu makan. Ia berdiri dari berlututnya dan kembali ke kursinya sendiri.     

Reiko pun mengangguk setuju dan mereka mulai makan. Shingo memperhatikan wajah Reiko di depannya dan wanita itu tersenyum kecil. 'Dia memang masih memikat seperti biasanya,' gumam hati Shingo.     

Reiko yang memiliki toleransi rendah terhadap alkohol, malah nekat memesan wine. "Ini untuk merayakan pertemuan kita, Shingo-san!" ujarnya ketika pelayan membawakan wine itu.     

"Kau yakin ini tidak apa-apa, Rei?"     

"Tentu saja tak apa, ayo kita bersulang!"     

Mereka pun meminum wine mereka masing-masing. Reiko tertawa-tawa kecil, seolah dia sudah lupa pada apa yang menjadi permasalahan di hatinya. Atau … dia pura-pura gembira?     

Teguk demi teguk wine meluncur melewati tenggorokan Reiko hingga akhirnya wajah dia memerah dan kepalanya pening sebelum dia terkulai di atas meja.     

"Reiko! Reiko!" Shingo panik dan berlari ke Reiko. "Hmhh, dia benar-benar sudah mabuk. Astaga, kau ini Rei, sudah tahu ketahananmu rendah terhadap alkohol malah memesan wine."     

Shingo pun menggendong Reiko untuk direbahkan ke sofa ruang pribadi restoran itu, Reiko terbaring diam tak bergerak.     

Shingo menatap Reiko dan hatinya bergemuruh. Mendadak saja otaknya berpikir gila, 'Hei, bukankah dia sudah tersaji di depanmu, Shingo? Kenapa tidak ambil sedikit kesempatan? Tidak apa-apa, toh tak akan ada yang tahu, ya kan?' Setan di kepalanya berujar.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.