Inevitable Fate [Indonesia]

Meluapkan Perasaan Padanya



Meluapkan Perasaan Padanya

0Reiko masih berkubang dengan kecurigaan dia akan hubungan perselingkuhan Nathan Ryuu dengan perempuan bernama Lizden. Meski itu memang hal yang dia bangun sendiri di pikirannya, namun semuanya berdasarkan dari apa yang ditulis Lizden di pesannya untuk sang suami. Wajar jika Reiko panik dan berasumsi liar mengenai itu.     
0

Meski hari ini sebenarnya dia mendapatkan jatah libur beberapa hari agar anggota Synthesa bisa cooling down menjelang debut di penghujung minggu nanti, Reiko menolak untuk bersama satu tempat dengan suaminya.     

Hatinya masih sakit akibat Lizden yang entah sudah berbuat apa saja pada suaminya. Dan mengingat jika sang suami merupakan orang yang ramah gampang akrab dengan siapa saja, makin membuat Reiko merana membayangkan ini dan itu yang malah dia sesali sendiri.     

"Benio-san, tolong antar aku ke apartemen Runa." Akhirnya dia memutuskan demikian.     

Benio melirik majikan perempuannya dari spion tengah dengan cepat dan kembali arahkan pandangan ke jalanan sambil menyahut, "Nyonya, bukankah jam seperti ini merupakan jam kerja dari Nona Runa?"     

"Ohh, astaga, benar juga. Aku sampai lupa. Hn, kalau begitu, tolong ke kantor Runa saja." Reiko memijat dahinya. Dia sampai terlupa bahwa ini hari kerja, tak mungkin Runa berada di apartemennya.     

"Kantor Tuan, bukan Nyonya?" Benio seakan sedang mengingatkan Reiko bahwa itu bukan kantor Runa, melainkan kantor Nathan Ryuu, suami Reiko.     

Segera, usai mendengar sanggahan dari Benio, kepala Reiko terangkat ke pengawal pribadinya itu dan berkata, "Ahh, um, iya. Lekaslah, Benio-san." Ia sedang tidak ingin menyebut suaminya. Hatinya masih hancur.     

Apakah saat ini Nathan Ryuu sedang bertemu dengan Lizden? Mungkinkah mereka bertemu secara rahasia di hotel? Jangan-jangan saat Reiko menahan tangis begini, suaminya sedang mencumbu Lizden.     

Pastinya Lizden akan sangat menyukai sentuhan suaminya. Yah, Reiko akui Nathan Ryuu sangat pandai dalam hal membuat nyaman dirinya hanya dari sentuhan lembut lelaki itu, lalu ciumannya—arghhh! Reiko tak rela itu semua dimiliki Lizden juga!     

Ia pun meremas tangannya kuat-kuat membuat kepalan bulat di atas pangkuannya sembari kepala menunduk, berjuang menahan agar air matanya tidak luruh, atau Benio akan melihat itu dan melaporkan ke suaminya.     

Seberapa pun kuatnya usaha Reiko menyingkirkan imajinasi gila mengenai apa saja yang sekiranya diperbuat sang suami bersama Lizden entah di manapun itu, tetap saja bayangan liar itu terus berkeliaran senantiasa di kepalanya.     

Ia menggigit bibirnya kuat-kuat agar tidak menjerit ataupun menangis. Suaminya tidak boleh mengetahui dia dalam situasi terpuruk begini. Terlalu memalukan!     

Ketika mobil sudah berhenti di parkiran depan gedung utama SortBank yang menjulang di daerah Roppongi, Reiko pun bergegas keluar untuk segera menemui sahabat baiknya itu. Ia sudah tak tahan ingin meluapkan air matanya yang sejak tadi sudah nyaris menyembur keluar dari pelupuknya.     

Setelah melewati resepsionis dan mendapatkan ijin ke ruangan tempat Runa berada, kaki Reiko seakan ingin berlari ke sana jika tidak ingat ini adalah lingkungan publik. Terlebih lagi, ini adalah gedung milik suaminya!     

Meski belum banyak orang di sana yang mengetahui mengenai status Reiko bersama Nathan Ryuu, karyawan di sana begitu ramah dan baik memperlakukan dia yang hanya ingin bertemu Runa, menyiratkan bahwa pemimpin perusahaan ini sungguh berhasil mencetak pegawai yang santun pada siapapun.     

"Silahkan, Nona." Karyawan itu mempersilahkan Reiko usai dia mengetuk pintu ruangan Itachi dan membukakannya untuk Reiko.     

Pintu dibuka dan Reiko bisa melihat bahwa di dalam sana ada Runa dan juga Akeno di meja masing-masing.     

"Rei-chan!" Runa menyeru sambil tersenyum lebar. Ia langsung bergegas bangkit dari duduknya dan berlari kecil ke sahabatnya.     

Karyawan tadi pun pamit pergi dengan sopan pada Reiko dan membiarkan Reiko memasuki ruangan tersebut.     

"Ru-chan." Reiko memaksa agar wajahnya bisa tersenyum meski matanya berkaca-kaca.     

"Nyonya." Akeno bangkit dari kursinya untuk melakukan ojigi pada Reiko.     

Kepala Reiko mengangguk ke Akeno untuk menjawab salam sopan Akeno padanya, lalu dia beralih lagi pada Runa.     

"Kenapa ke sini? Tidak ada jadwal di agensi?" tanya Runa dengan wajah riang. Namun, ketika melihat mata berkaca-kaca Reiko, keceriaan dia pun surut dan berganti dengan wajah cemas. "Kenapa, Rei-chan?"     

"Bi-Bisakah kita bicara di tempat lain?" bisik Reiko karena rasanya akan sangat tidak nyaman jika ada Akeno di situ. Bisa saja Akeno seperti Benio yang akan melapor pada Nathan Ryuu jika ada sesuatu terjadi pada dirinya.     

Runa mendengar bisikan Reiko dan paham bahwa ini harus dilakukan empat mata saja. "Ohh, baiklah. Sebentar." Lalu dia menoleh ke Akeno untuk bertanya, "Akeno-san, apakah ruang sebelah boleh aku gunakan?"     

"Hm?" Akeno yang sudah duduk kembali pun merasa heran dengan permintaan Runa. Tapi mengingat bahwa ada Reiko yang secara khusus menemui Runa, maka pemikiran cepatnya hanyalah bahwa mereka hendak bicara empat mata saja tanpa ada gangguan siapapun. "Ohh, bisa. Pakai saja. Kuncinya di meja kopi itu." Ia menunjuk pada meja kecil di ruangan tersebut.     

"Sankyu[1]!" ucap Runa informal pada Akeno sambil tersenyum lebar, lalu mengajak Reiko pergi setelah dia mengambil kunci ruang sebelah yang biasanya digunakan ketika Itachi menerima tamu penting. Karena Itachi saat ini tidak di tempat, maka ruang itu pastinya kosong.     

Sesampainya di ruangan kosong itu, Reiko pun bisa dengan bebas menumpahkan tangisan yang sejak tadi dia tahan-tahan.     

Kemudian, ia menceritakan mengenai pesan Lizden dan juga kecurigaannya. Runa mendengarkan dengan mata terbelalak seakan tak percaya.     

Selesai bercerita dan menangis, Reiko ditenangkan Runa dengan tepukan-tepukan lembut pada punggungnya ketika mereka berpelukan.     

Lalu, Runa berkata, "Rei-chan, aku sarankan padamu agar tidak segera mengambil asumsi apapun mengenai itu. Saranku yang lain adalah … bicarakan itu dengan Tuan Ryuu. Siapa tahu kau hanya salah paham saja."     

Reiko menatap Runa lekat-lekat saat mereka saling melepaskan pelukan. Matanya masih basah.     

.     

.     

Reiko sudah kembali ke dalam mobil usai bertemu dengan Runa. Setidaknya, dia sudah sedikit lega karena apa yang menyesak di hatinya berhasil dia keluarkan ke sahabatnya, bahkan tangisnya.     

Runa menasehati banyak hal padanya dan Reiko masih gamang mengenai itu.     

"Nyonya, apakah kita akan kembali ke rumah?" tanya Benio setelah majikan perempuannya masuk ke mobil.     

Reiko sebenarnya tidak ingin lekas pulang. Sayang sekali tadi Runa masih dalam jam kerja dan tak mungkin menemani dia seharian. Meski dia adalah istri pemilik gedung itu, namun dia harus bisa memilah mana yang hal pribadi dan yang bukan.     

"Jalan saja dulu, Benio-san. Terserah ke mana asalkan tidak pulang dulu. Aku sedang ingin berjalan-jalan. Tolong." Reiko mengucap dengan suara lirih.     

"Baiklah." Benio tidak membantah dan mulai melajukan mobil ke jalanan.     

Reiko melamun sambil memandang keluar jendela. Namun, mendadak saja pandangannya melebar sambil berteriak, "Benio-san, berhenti! Hentikan mobilnya!"     

Meski agak heran dengan permintaan majikannya, namun Benio masih patuh dan menepikan mobil di area yang memungkinkan.     

Segera, Reiko menghambur keluar dari mobil dan berlari mengejar seseorang. "Shingo-san!"     

-------------     

[1] sankyu (dibacanya: sangkyu) yang berarti 'trims' merupakan bentuk slang dari arigatou di Jepang dari kata bahasa Inggris 'thank you'. Anak-anak muda di sana memakai itu pada orang yang sebaya atau yang sudah sangat akrab pada mereka saja. Kadang kala, itu ditulis 39 (3 di Jepang dibaca 'san', dan 9 dibaca 'kyu')     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.