Inevitable Fate [Indonesia]

Meminta Zuko Menikahi Putrinya



Meminta Zuko Menikahi Putrinya

0Usai makan siang, tiba-tiba Bu Sayuki berkata ke calon menantu dia, katanya, "Aku dengar dari Runa, kau sudah punya rumah sendiri, Zuko?" tanyanya ketika mereka sudah berada di dalam mobil.     
0

"Ohh, iya sudah, Bu. Aku sudah punya rumah pribadi." Zuko mengiyakan.     

"Bisakah mengajak Ibu ke sana?" pinta Bu Sayuki.     

"Tentu! Tentu saja bisa!" Zuko melirik Runa di samping dan tersenyum. Justru Runa yang tak enak hati.     

Akhirnya, mobil Zuko tiba di rumah lelaki itu. Setelah mobil masuk ke pelataran depan, semua penumpang turun.     

Mata Bu Sayuki menatap sekeliling sambil kakinya melangkah masuk ke dalam rumah tersebut. Ia bagaikan pengawas yang sedang menginspeksi sebuah rumah. Segala detilnya diperhatikan dan keningnya berkerut. Tentunya ada beberapa ketidakpuasan mengenai rumah ini namun dia tidak mengatakan itu pada calon menantu.     

Bu Sayuki wanita cerdas dan licik. Dia memilih untuk diam terlebih dahulu ketimbang langsung protes ini dan itu ke Zuko. Dia tidak ingin menakuti calon menantunya.     

"Ibu, silahkan duduk dulu. Aku akan buatkan teh hangat untuk Ibu." Zuko mempersilahkan calon mertuanya duduk di ruang tengah sembari dia akan berusaha membuatkan teh untuk Bu Sayuki.     

Mengetahui bahwa Zuko pasti kesulitan membuat teh, meski itu hanya menyeduh saja, Runa pun berjalan mengikuti Zuko ke dapur.     

"Sini aku bantu membuat teh, Zu-nii." Runa sigap membuka lemari-lemari kabinet di dapur untuk mencari teh dan gula batu.     

"Ohh, baiklah, sayank terima kasih." Zuko memilih untuk menyiapkan air panas saja dan dia memang patut berterima kasih pada kekasihnya. Dia tidak biasa membuat teh karena selama ini, tamu-tamunya merupakan orang muda seusia dirinya.     

Baru kali ini dia kedatangan tamu orang tua, calon ibu mertuanya pula! Mana mungkin dia tidak gugup?     

"Zu-nii, aku benar-benar minta maaf padamu jika ibuku sudah merepotkan dan juga membuat Zu-nii kesusahan," ujar Runa sembari menyeduh teh setelah air panas siap.     

"Ahh! Sayank, jangan bicara begitu! Dia kan ibumu, maka sudah sepantasnya aku juga menyayangi dia." Zuko menyahut. Ia hanya berdiri di pinggir saja memerhatikan kekasihnya membuat teh hangat.     

Selesai membuat teh dan asap masih mengepul dari cangkir teh, Runa menghadap ke Zuko sambil lingkarkan dua lengannya ke leher kekasihnya dan berkata, "Zu-nii, kapan-kapan ajak aku ke rumah orang tuamu, yah! Kyoto, kan? Sekalian liburan juga di sana, boleh?"     

Zuko agak kikuk mendengar permintaan Runa, tapi dia tetap menjawab, "I-iya, sayank. Nanti... Nanti akan aku persiapkan untuk itu."     

Ucapan Runa barusan tentu saja bisa diartikan bahwa gadis itu sudah menginginkan adanya pernikahan.     

Di Jepang, kode dan sinyal untuk meminta pernikahan sungguh halus dan tersamar. Kalimat yang digunakan juga macam-macam dengan arti implisit ingin dilamar atau dinikahi.     

Walau Zuko kadang kurang tanggap, namun kalimat Runa tadi sangat dia pahami makna di baliknya.     

Keduanya kembali ke ruang tengah dimana Bu Sayuki ternyata sudah tidak berada di sofanya lagi. Wanita paruh baya itu ternyata sedang berjalan-jalan keliling ruangan untuk memenuhi hasrat ingin tahunya mengenai apa saja yang ada di rumah itu.     

"Ibu!" Runa sampai agak keras memanggil ibunya yang saat ini sedang berada di dalam kamar tamu. Wajahnya suram ketika melihat sang ibu bersikap seenaknya masuk ke ruangan di rumah itu.     

"Ohh! Kalian sudah selesai membuat teh?" Bu Sayuki menolehkan kepalanya ke belakang mendapati putrinya berwajah masam padanya dengan Zuko di samping yang menatap heran ke arah Beliau.     

"Ibu kenapa ada di sini? Tidak sopan masuk ke ruangan rumah orang begitu saja, kan Bu?" Runa tak bisa menahan kekesalannya. Dia sekaligus malu pada Zuko dikarenakan sikap ibunya.     

"Ahh, maafkan Ibu. Tadi Ibu merasa bosan dan lututku pegal jika tidak bergerak. Maka dari itu, Ibu pun berkeliling di sini, hanya untuk sekedar melemaskan lutut Ibu." Bu Sayuki dengan pintar menjawab putrinya. Lalu dia menoleh ke Zuko. "Tidak apa-apa, kan Zuko?"     

Zuko tersentak kecil dan berkata, "Ahh ya, tidak apa-apa, Bu! Tidak apa-apa!" Ia sambil menggoyangkan tangannya ke depan dengan senyum canggung.     

"Lihat, sayank, Zuko saja tidak keberatan, kok!" Bu Sayuki melirik putrinya dan berkata, "Lagipula, kalian sebentar lagi tentu saja akan jadi pasangan suami-istri, kan? Jadi, hal kecil jika Ibu ingin melihat-lihat rumah ini."     

Dengan cerdiknya Bu Sayuki menggiring kalimat sehingga Zuko dibuat tak berdaya.     

"Etto... i-iya, he he...." Zuko mati kutu. Ibu dan anak sepertinya mengharapkan segera terjadi pernikahan.     

Namun, Bu Sayuki melihat kebimbangan pada Zuko dan bertanya, "Ehh? Apakah kau belum memikirkan mengenai pernikahan dengan anakku, Zuko?" tanyanya disertai alis terangkat tinggi-tinggi. "Apalagi, kalian pasti sudah sering melakukan seks, betul kan?"     

"I-Ibu!" Wajah Runa merah padam karena malu. Ibu mana yang begitu gamblang mengatakan hal demikian di Jepang ini?!     

"Itu... itu..." Zuko bisa apa? "Iya, Bu. Aku... aku sudah memikirkan mengenai pernikahan, tentu saja."     

"Wah! Sempurna!" Bu Sayuki bertepuk tangan sekali dengan senyum lebar.     

Sedangkan Runa, matanya membelalak lebar, tidak menyangka kalimat itu keluar juga dari mulut Zuko.     

"Ohh ya, Zuko...," Bu Sayuki masih ingin berbicara, "ruangan ini, kenapa masih kosong? Aku tahu, jika putriku menginap di sini, pasti dia tidur bersamamu di kamarmu, kan? Tak usah malu, itu sudah hal biasa di jaman ini. Hanya... bisakah nanti kau mengisi ruangan ini dengan perabotan? Yah, siapa tahu, Ibu ingin datang ke Tokyo. Kalian tidak berharap Ibu akan menginap di motel, kan?"     

"Ahh iya, Bu. Nanti pasti akan aku isi ruangan ini untuk Ibu menginap jika Ibu datang ke Tokyo." Zuko mengangguk setuju.     

"Oughh... sungguh calon menantu baik dan idaman. Ibu memberikan restu penuh pada kalian!" Bu Sayuki menepuk dua tangannya lagi beserta senyum lebarnya.     

"He he... Iya, Bu. Terima kasih." Zuko menyahut sambil mengangguk sopan.     

Pada sore harinya, Bu Sayuki menumpang mandi di kamar Zuko, dan itu dijadikan kesempatan baginya untuk menelisik kamar tersebut. "Hm, tidak buruk!"     

Dan ketika Runa memasuki kamar Zuko untuk mandi juga, Bu Sayuki masih di sana, sedang berdandan dengan kosmetik yang dia beli menggunakan uang Runa. Tentu saja kosmetik mahal yang dulu tak pernah bisa dia beli.     

Runa mandi dengan cepat agar dia bisa lekas memulangkan ibunya dan mereka tidak kemalaman di jalan karena besok dia kerja.     

Keluar dari kamar mandi, ternyata sang ibu masih di depan kaca rias. "Lama sekali Ibu merias diri."     

"Jangan berkata nyinyir terhadap ibumu sendiri, sayankku." Bu Sayuki menutup bedak mahalnya dan memasukkan lagi ke kotaknya sebelum disimpan kr dalam tas tangannya.     

Mata Bu Sayuki menatap putrinya yang hanya memakai kamisol dan celana jins ketat. "Sayank, apakah kau tidak merasa dadamu itu kecil?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.