Inevitable Fate [Indonesia]

Tiba di Rumah Bu Sayuki



Tiba di Rumah Bu Sayuki

0Pada akhir minggu, Zuko sudah berkendara bersama Runa ke Kamakura, hendak menuju ke rumah ibunya Runa, Bu Sayuki. Runa sudah memberitahu ibunya mengenai rencana Zuko.     
0

Sudah bisa dipastikan Bu Sayuki sangat senang atas ide dari calon menantunya itu. Yah, bagi Bu Sayuki, Zuko adalah calon menantu.     

Meski begitu, Runa sudah mewanti-wanti pada ibunya agar bersikap yang benar dan baik pada Zuko, dan itu juga berlaku untuk sang kakak yang sering berbuat masalah.     

"Aku berdebar-debar, sayank." Zuko meraih tangan kekasihnya dan menggenggam sambil satu tangan masih berada di roda setir.     

Runa membalas tatapan kekasihnya dan tersenyum. "Kenapa harus berdebar-debar, Zu-nii? Aku sudah berkata ke ibu untuk tidak macam-macam nanti."     

"He? Kenapa malah berkata begitu pada ibu?" tanya Zuko dengan pandangan heran sambil sesekali matanya melirik ke jalan yang cukup lancar dan tidak ramai.     

"Yah, karena … um, ibu terkadang bersikap ngawur, aku hanya takut Zu-nii akan merasa tak nyaman nantinya." Runa mengangkat bahunya dengan cepat.     

Segera, Zuko teringat akan beberapa insiden dulu antara Reiko dan Bu Sayuki dan dia memang cukup waswas juga mengenai itu, namun karena itu adalah ibu dari kekasihnya, mau tak mau dia harus menerima apapun Beliau.     

Zuko memenuhi dirinya dengan pikiran positif akan Bu Sayuki saat ini agar dia tidak lagi terpengaruh atas apa yang pernah terjadi yang pernah dia saksikan dulu berkaitan dengan Bu Sayuki.     

Yah, mungkin saja dulu Bu Sayuki bersikap seperti itu pada Reiko ada alasannya, dan yang namanya manusia tentu bisa berubah. Oke, Zuko yakin Bu Sayuki yang sekarang adalah sosok wanita yang baik dan tidak seperti dulu.     

Perjalanan ke Kamakura yang membutuhkan waktu sekitar 1 jam ini dilalui dengan damai di mobil Zuko. Runa kadang menyandarkan kepala ke pundak Zuko sambil memperhatikan lelaki yang sedang menyetir itu, dan salah satu tangan Zuko akan terus menggenggam tangan Runa.     

Mereka benar-benar dalam masa mabuk cinta.     

Runa memperhatikan kekasihnya dari samping. Wajah Zuko tidak jelek meski tidak tampan juga. Setidaknya, Zuko menyayangi dia dan memanjakan dirinya. Mungkin ini waktu baginya untuk melepaskan Shingo dari hatinya.     

Runa sudah terlalu lama menggenggam bayangan Shingo di hatinya dan masih tak mau melepaskannya meski lelaki itu sudah pergi darinya dengan penuh drama.     

Setelah dari Tokyo melewati Minato, Shinagawa, Kawasaki, lalu Yokohama, kini mobil telah mencapai Kamakura.     

Tak berapa lama setelah mobil memasuki Kamakura, mereka pun sampai di rumah Bu Sayuki.     

"Wah, sudah datang! Sudah datang!" Bu Sayuki berseru dengan gembira ketika mobil Zuko mulai memasuki pelataran halaman depannya. Ia berjalan dengan riang keluar untuk menyambut mereka.     

Di belakangnya, ada Tomoda yang mengikuti ibunya. Ia ingin tahu seperti apa lelaki yang dikatakan pacar dari adiknya.     

Mobil berhenti dan dua penumpangnya keluar. Wajah Zuko sudah penuh akan senyum ramah menerima sambutan riang Bu Sayuki. Ia lega juga mendapati wanita paruh baya itu tidak semenyeramkan dulu. Yah, ini pasti yang dinamakan manusia bisa berubah.     

"Ibu." Zuko menyapa ramah Bu Sayuki sambil melakukan ojigi dengan pantas pada ibu dari pacarnya.     

"Ahh, ini pasti Zuko." Bu Sayuki membalas dengan lebih ramah lagi sambil menepuk-nepuk lengan Zuko seakan itu adalah anak kesayangannya. Yah, tentu saja, karena Zuko sudah membayar semua hutangnya.     

"Ohh, ini pacarmu, yah Runa!" Tomoda menimpali dari belakang Bu Sayuki.     

Mendengar kalimat dan suara dari putranya, Bu Sayuki melirik tajam sambil mendelik ke sulungnya, seakan memberi kode untuk tidak macam-macam pada pacar Runa.     

"Ya! Saya Zuko, salam kenal untuk Ibu dan Kakak." Zuko kembali ber-ojigi di depan keduanya.     

"Tidak usah sungkan, ayo ke dalam dulu, minum teh dulu." Bu Sayuki meraih lengan Zuko dan menarik pelan ke dalam rumah. Sementara itu, Runa hanya diam sambil mengamati tingkah ibu dan kakaknya.     

Sambil masuk ke dalam rumah, Runa melirik sebuah sepeda motor besar yang terparkir di sudut halaman depan. Batinnya langsung bisa menebak bahwa itu adalah sepeda motor yang membawa masalah beberapa waktu lalu. Runa pun mendesah sebelum mengikuti langkah ibu dan Zuko di depannya.     

Melihat ke sekeliling, Runa merasa rumah tidak begitu banyak berubah semenjak dia terakhir menginjakkan kaki di sini. Itu adalah ketika dia hampir saja dikorbankan oleh ibunya untuk lelaki tua dan dia lekas kabur.     

Bu Sayuki menjamu Zuko dengan teh terbaik yang Beliau miliki dan juga panganan ringan yang dia beli tadi pagi. "Jangan malu-malu, Zuko. Anggap ini rumahmu sendiri, yah!"     

Zuko mengangguk sambil membalas senyuman lebar Bu Sayuki. "Terima kasih, Ibu. Maaf jika merepotkan begini."     

"Tidak, sama sekali tidak merepotkan!" Bu Sayuki menggeleng.     

Sementara itu, Runa pergi ke area dalam rumah hanya untuk melihat kamarnya. Ternyata kamar itu sudah dibereskan dengan rapi oleh ibunya. Barang-barangnya tertata rapi dan bersih. Pasti ini karena dia rajin memberi uang ke ibunya, makanya kamarnya ditata begini.     

Sungguh berbeda ketika dulu dia masih kuliah, jika pulang ke kamarnya di rumah, kamar itu tetap saja berantakan seperti terakhir Runa meninggalkannya.     

Yah, tak apa. Setidaknya kini dia sudah diakui dan dianggap penting oleh ibunya.     

Ketika Runa keluar dari kamarnya untuk bergabung dengan Zuko yang ada di ruang tamu, dia bertemu dengan kakaknya, Tomoda si tukang cari masalah.     

Sejak dulu, Runa tak menyukai kakaknya ini. Apalagi Tomoda juga kasar dan suka menggunakan kata-kata jorok. Pastinya itu karena pergaulan Tomoda dengan genk-genk dan para pemuda begajulan yang suka berkumpul di bar kecil atau di pinggir jalan.     

"Hebat juga kau punya pacar seperti itu, yah!" Tomoda berkata dengan wajah menyeringai sinis ke Runa.     

"Lalu kenapa? Apakah kau keberatan?" Runa bertanya balik, tidak ingin membiarkan kakaknya bisa semena-mena padanya.     

"Tentu saja tidak. Bagaimana pun, dia yang membayar motorku itu, ya kan? He he he … sepertinya akan sangat menyenangkan memiliki adik ipar seperti dia yang sangat murah hati." Tomoda terkekeh.     

"Dan bagaimana dengan dirimu? Kerja apa kau sekarang? Apakah kau akan terus menjadi beban di sini?" tanya Runa sambil melipat dua tangannya. Sikapnya kini penuh percaya diri.     

"Huh! Sekarang kau bisa begitu sombong dan arogan di depanku, yah!" Tomoda menyeringai mengejek adiknya.     

"Kenapa memangnya? Yah, aku pantas bertingkah begitu karena aku sudah memiliki pekerjaan mapan dan baik." Runa membalas. Jika dulu dia bertengkar dengan Tomoda, dia kesulitan membalas ucapan kasar sang kakak, namun kini dia seakan sudah memiliki 'kekuatan'. Apalagi memiliki Zuko.     

"Ohh! Jadi pekerjaan seperti itu kau bisa banggakan, yah! Fu hu hu … kau bisa bangga dengan pekerjaan kotor seperti itu?"     

"Apa maksudmu pekerjaan kotor?"     

"Yah, apa namanya tidak kotor jika kau meladeni dan memuaskan semuanya." Tomoda menatap remeh ke adiknya.     

"Hah?" Runa memicingkan mata sambil keningnya berkerut bingung.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.