Inevitable Fate [Indonesia]

Memanjakan Ibu dan Anak



Memanjakan Ibu dan Anak

0Datang ke rumahnya bersama Zuko, Runa sedikit bertengkar kecil dengan sang kakak si biang masalah, Tomoda.     
0

Tomoda mengejek Runa yang kini bisa bersikap sombong dan arogan di depannya hanya karena pekerjaan kotor yang dilakukannya.     

"Ohh! Jadi pekerjaan seperti itu kau bisa banggakan, yah! Fu hu hu … kau bisa bangga dengan pekerjaan kotor seperti itu?"     

"Apa maksudmu pekerjaan kotor?"     

"Yah, apa namanya tidak kotor jika kau meladeni dan memuaskan semuanya." Tomoda menatap remeh ke adiknya.     

"Hah?" Runa memicingkan mata sambil keningnya berkerut bingung. Ia heran dengan ucapan kakaknya, sampai kemudian, ibunya datang.     

"Hei, kalian sedang bicara apa, sih?" Ia menatap penuh selidik sambil mengamati wajah putrinya yang cemberut dan putranya menyeringai remeh ke Runa. "Tomo, apa yang kau ucapkan pada adikmu?" Segera saja, tangannya melayang memukul kepala Tomoda.     

"Adududuh … sakit, Bu!" seru Tomoda sambil memegangi kepalanya yang baru saja ditampar sang ibu.     

"Salah siapa! Kalau kau berani menyinggung adikmu atau pacarnya, aku akan buang kau keluar dari rumah! Sana jadi gelandangan saja dengan teman-teman tololmu itu!" Mata Bu Sayuki mendelik garang ke Tomoda.     

Ini membuat lelaki itu surut dan menciut mendengar ancaman ibunya. Sebagai lelaki pengangguran yang malas bekerja dan hanya ingin bersenang-senang, tentu saja Tomoda tidak ingin dibuang ibunya. Bagaimana dia bisa hidup jika tanpa uang ibunya?     

Sebenarnya, Tomoda sudah sejak lama muak dengan keluarganya. Entah itu ibu atau adiknya, dia merasa tak ada yang menghargai dia, tak ada yang mau memahami dia.     

Jika bukan karena dia bertahan demi bisa tetap hidup dari ibunya, dia sudah lama melenyapkan wanita itu seperti yang sering disarankan teman-temannya.     

Namun, otak oportunis Tomoda lekas berpikir, kalau dia membvnuvh ibunya, dia bisa makan dan hidup dengan gratis dari mana lagi? Adiknya? Tentu dia tak mungkin bisa mencengkeram sang adik yang tentu akan memiliki kehidupan sendiri.     

Meski ibunya sering memukul atau berkata kasar padanya, tapi Tomoda selalu bisa makan dan terjamin hidupnya. Maka, selama sang ibu memang bisa diandalkan untuk kehidupannya, dia hanya perlu menahan kesal dan sakit hatinya saja.     

Oleh karena paham akan situasi saat ini, Tomoda sepertinya harus merendahkan dirinya agar dia bisa tetap hidup nyaman. Ia pun berkata pada adiknya, "Iya, iya, maaf atas ucapanku tadi."     

Runa mendengus dan meninggalkan ibu dan kakaknya di sana, bergabung dengan Zuko di ruang tamu.     

Sementara itu, Bu Sayuki mendelik lagi ke putra sulungnya, berkata, "Jaga mulutmu! Awas saja kau kalau berani membuat adikmu marah!"     

Tomoda menggaruk belakang kepalanya sambil berkata, "Iya, iya, Bu, aku tahu!"     

"Bagus kalau kau tahu!" Lalu, Bu Sayuki kembali ke ruang tamu untuk beramah-tamah dengan Zuko.     

Karena Runa malas melihat kakaknya yang kasar dan tak sopan, ia bertanya, "Apakah Ibu sudah siap? Berangkat sekarang saja, bisa?" Ia menoleh ke ibunya, lalu ke Zuko.     

"Duh, Runa sayankku, kenapa buru-buru?" sahut Bu Sayuki. "Apa kau tak kasihan dengan Zuko? Dia pasti lelah menyetir dari Tokyo ke sini. Tunggulah sebentar. Atau mungkin aku bisa belikan makan siang dulu untuk kalian?"     

"Tidak usah, Bu." Runa menggeleng. "Kalau begitu, bagaimana kalau aku dan Zu-nii ke hotel saja, kita bisa ke Tokyo besok pagi." Ia membuat rencana dadakan. Ia juga kasihan pada Zuko jika langsung bertolak ke Tokyo saat ini juga.     

"Ehh? Hotel?" Bu Sayuki menatap heran ke putrinya.     

"Hotel, sayank?" Zuko juga heran.     

"Ya, kita bisa menginap di sana malam ini, Zu-nii. Kau mau, kan?" Runa menatap penuh harap ke kekasihnya. Tadinya dia ingin lebih lama di rumahnya, namun karena kakaknya sudah membuat kesal dari awal, dia jadi urung.     

"Kenapa tidak menginap di sini saja? Kalian bisa menggunakan kamarmu, Runa sayankku." Bu Sayuki menatap seperti memohon pada putrinya.     

Namun, Runa menggelengkan kepala. "Aku ingin di hotel saja agar lebih … nyaman dengan Zu-nii. Yah, Zu-nii!"     

Karena Zuko terlalu mencintai Runa, maka dia pun mengangguk saja atas apapun keinginan sang pacar.     

Maka, jadilah keduanya pergi dari rumah itu untuk pergi ke hotel paling bagus di Kamakura sejak menjelang sore tadi.     

Di hotel, tentu saja mereka bergumul dengan penuh gelora sampai puas. Pada malam harinya, mereka memesan makan malam dari kamar.     

"Kau yakin tidak apa-apa kita menginap di hotel begini, sayank?" tanya Zuko usai mereka makan malam.     

"Tentu saja." Runa menjawab sambil menaiki pangkuan Zuko, mengalungkan dua lengan di leher kekasihnya dan berkata, "Kalau di rumah ibu, mana bisa kita leluasa begini, iya kan?" Lalu dia mencumbu bibir Zuko sebelum akhirnya mereka kembali menyatukan tubuh mereka dalam pergumulan intim berikutnya.     

Sepertinya Runa juga memiliki bulan madunya sendiri saat ini.     

-0-0—00—0-0-     

"Sudah semua?" tanya Runa setelah dia memasukkan bantal dan tas ibunya ke jok belakang mobil.     

"Iya, sudah." Bu Sayuki menjawab sambil memasuki mobil tersebut dan duduk tenang di kabin belakang.     

Runa dan Zuko pun memasuki kabin depan dan tak lupa Bu Sayuki berpesan pada putra sulungnya agar menjaga rumah dengan benar selama dia di Tokyo.     

Perjalanan pun dianggap damai sentosa dengan obrolan menyenangkan antara Bu Sayuki dengan Zuko, sedangkan Runa menimpalinya sesekali saja. Ini seperti Zuko sedang diinterview oleh calon mertuanya, namun dengan cara yang menyenangkan karena si calon mertua tidak ingin menakuti calon menantunya.     

Sampai di Tokyo, hanya membutuhkan waktu satu jam lebih beberapa belas menit, dan mobil berlanjut ke sebuah butik yang Zuko ketahui pernah sekali dimasuki tuannya ketika ingin memanjakan sang istri yang saat itu masih berstatus kekasih.     

Ia masih memiliki sekian juta yen di tabungannya, tentu akan baik-baik saja jika hanya membelikan baju mahal bagi calon mertuanya, kan?     

Mata Bu Sayuki segera membelalak lebar ketika datang ke butik cukup bergengsi itu. Ia berjalan dengan riang, hinggap dari satu lorong ke lorong lainnya sambil senyum lebarnya terus terurai.     

Dalam waktu setengah jam lebih, tangan Bu Sayuki sudah menempatkan beberapa pakaian ke dalam keranjang belanjaan. Jika bukan karena Runa menahan ibunya, mungkin mereka butuh lebih dari 1 keranjang belanja.     

"Baiklah, ini saja," ujar Bu Sayuki sambil menatap sedikit tak puas memandang keranjangnya yang penuh. Padahal dia masih ingin lebih banyak, tapi biarlah, ini dulu, tak mengapa. Kapan-kapan bisa lagi, pikir Beliau.     

Melihat ibunya seperti kecewa dengan 1 keranjang saja, Runa memutar matanya dengan jengah.     

"Sudah?" tanya Zuko ketika kedua wanita itu sudah mendekat ke dirinya yang menunggu di sudut butik, sebuah ruangan khusus untuk para penunggu.     

"Sudah, Zu-nii." Runa mengangguk.     

"Sayank, kau tidak beli sekalian?" tanya Zuko ke pacarnya.     

"Ehh?" Runa termangu.     

Langsung saja Bu Sayuki menyeret putrinya dan meninggalkan keranjang tadi di depan Zuko. "Ayo, sayank, kita belanja untukmu! Um, Zuko, Ibu titip keranjangnya, yah!"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.