Inevitable Fate [Indonesia]

Ambisi Tuan Hanji dan Putrinya



Ambisi Tuan Hanji dan Putrinya

0Seperti yang diduga oleh Nathan Ryuu, bahwa makan malam itu pasti tidak hanya dihadiri Tuan Hanji saja namun pasti akan ada Amiko.     
0

Tidak ingin Tuan Hanji gembira dengan taktik pencomblangan anaknya ke Nathan Ryuu, maka si Onodera muda itu tak ingin kalah, dan dia mengajak Itachi juga Zuko.     

Ini sesuatu yang tidak disangka-sangka oleh Tuan Hanji dan Amiko. Kenapa harus ada orang lain selain Nathan Ryuu di acara pribadi seperti begini?     

Bagaikan mengetahui keluhan di hati Tuan Hanji dan putrinya, Amiko, maka Nathan Ryuu pun berkata, "Aku sudah terbiasa ke sana dan kemari dengan sekretaris serta asistenku, bahkan hingga malam! Jadi, maaf jika aku membawa mereka serta saat ini ke sini, Hanji-san. Anda tidak keberatan, bukan?"     

Meski ingin meraungkan keberatannya, namun Tuan Hanji terkekeh canggung, menjawab, "He he … he he … tidak apa-apa. Tentu … tidak apa-apa. Silahkan saja ajak siapapun yang kau mau, Onodera-san. Ayo, duduklah!"     

Itachi dan Zuko melakukan ojigi sambil memperkenalkan diri pada keluarga Tuan Hanji sebelum mereka duduk.     

Acara makan malam saat itu sukses di mata Nathan Ryuu. Ya, sukses membuat kesal Tuan Hanji dan Amiko. Dengan adanya Itachi dan Zuko, tentu saja Amiko tidak akan seleluasa jika hanya ada Nathan Ryuu.     

Bahkan, Tuan Hanji pun mengurungkan niat untuk 'menawarkan' putrinya ke Nathan Ryuu dikarenakan adanya kehadiran Itachi dan Zuko. Pastinya akan aneh jika melakukan itu di depan si asisten dan sekretaris, kan!     

Maka, usai makan malam dan rombongan tiga orang Nathan Ryuu keluar dari ruangan pribadi tersebut terlebih dahulu, Amiko ingin mengamuk, ingin membanting apapun yang ada di depannya.     

"Aaarrghhh! Kenapa ada cecunguk-cecunguk lain?!" serunya marah begitu Nathan Ryuu dan yang lainnya sudah pergi keluar dari ruangan tersebut. Mata Amiko seakan berkobar menyalakan api kemarahan. "Mereka semua hanya pengganggu! Sialan! Brengsek!"     

"Ami sayank, tenanglah dulu." Ibunya menasehati sang putri yang mulai emosional.     

"Bagaimana aku bisa tenang, Ma? Aku sudah berjam-jam memilih baju di butik dan berdandan lama di salon! Tapi hasilnya apa? Dia bahkan jarang sekali melirik ke arahku, bahkan sepertinya sama sekali tidak!" Amiko enggan menyurutkan emosinya yang sudah terlanjur meluap. Ia sudah mencengkeram taplak meja, seakan siap untuk menarik semua sekaligus di sana.     

"Ami tenangkan dirimu!" Kini, Tuan Hanji terpaksa menyeru dengan suara menggelegar kepada putrinya yang nyaris tidak terkendali. Ia memandang tajam ke putrinya.     

Takut pada sang ayah, maka Amiko pun mulai menyurutkan emosinya dan duduk lebih tenang meski dadanya naik turun akibat masih ada emosi yang tersumpal di sana.     

"Papa tahu kau kesal, karena Papa juga merasakan hal sama! Tapi jangan sampai emosi menguasaimu dan menjadikan semuanya berantakan, kau paham?!" tegas Tuan Hanji pada putrinya.     

Menghembuskan napas panjang, Amiko menjawab, "Ya, Papa. Aku paham." Ia kemudian menunduk meski masih merasa sangat kesal perjuangannya sejak siang tadi sia-sia memberikan impresi menarik di mata Nathan Ryuu.     

Melihat putrinya sudah lebih tenang, maka Nyonya Hanji mulai bicara, "Pa, sepertinya agak sulit menaklukkan Onodera Ryuzaki itu. Apakah dia bukan homo? Jangan-jangan dia gay makanya tidak melirik putri kita yang sangat cantik ini." Ia menoleh iba pada putrinya yang sedang menekan kegeramannya.     

"Hm, entah apakah dia homo atau bukan, tapi setahuku dia normal, tidak memiliki penyimpangan apapun." Tuan Hanji mengelus jenggot tipisnya. "Ami, apa kau sungguh tidak berhasil masuk ke SortBank?"     

Amiko menggeleng sambil menaikkan pandangan memandang ayahnya sambil berkata, "Tidak berhasil diterima di sana, Pa. Kata mereka, SortBank saat ini sedang tidak menerima pegawai baru. Huft!"     

"Langkah kita untuk mendapatkan SortBank sepertinya akan mengalami jalanan terjal, Pa." Nyonya Hanji berkomentar lagi. "Lihat, kasihan putri cantikku ini, diabaikan sepanjang makan malam, padahal dia sudah berdandan begitu mempesona melebihi putri kerajaan manapun!" Beliau menggapai kepala Amiko dan memeluknya.     

"Hm … besok aku akan sebar intelijenku untuk mengawasi pergerakan Onodera sialan itu. Di manapun dia berada, bersantai, meski ke ujung dunia, aku akan kirim kau ke sana juga, Ami." Tuan Hanji melirik tajam ke putrinya. "Pikat dia apapun caranya, mengerti?"     

"Papa tak usah memerintahku, aku memang sudah ingin memikat dia sejak dari pertama bertemu, kok!" Amiko melepaskan pelukan ibunya dan berkata, "Bahkan jika dia homo sekalipun, aku akan buat dia menjadi normal kembali dan jatuh berlutut di hadapanku!" Mata Amiko berkilat dengan senyum seringai muncul di wajahnya.     

.     

.     

Di tempat lain, sebuah apato, Runa dan Zuko memulai pergumulan mereka usai Zuko menemani Nathan Ryuu makan malam memenuhi undangan Tuan Hanji.     

"Aanghh … Zu-nii … mrrghhh …." Runa terus mengerang manja ketika dirinya terus saja dimanja oleh sentuhan dan jilatan lidah agresif Zuko.     

Hingga akhirnya, mereka mulai saling menyatukan tubuh dalam sebuah penetrasi sampai satu jam lebih.     

Selesai menggapai puncak asmara, Zuko dan Runa pun berendam bersama di bathtub sambil mengobrol.     

"Zu-nii … Ibu menyuruhku menyampaikan rasa terima kasih atas bantuanmu."     

"Hee? Kau mengatakan pada ibumu mengenai itu? Kau membeberkan bahwa itu dariku?"     

"Tentu saja! Mana mungkin aku mengambil pujian seluruhnya sendiri? Aku jelas saja mengatakan pada ibu bahwa kau sungguh berhati malaikat dan membantu dia."     

"A-aha ha ha … jangan begitu, Runa sayank. Aku … aku hanya membantu sedikit saja, kok!"     

"Ohh ya, Zu-nii … kapan-kapan, ibu ingin bertemu denganmu, apakah kau bersedia?"     

"Hoo? Bertemu? Um, tentu saja bersedia. Mana mungkin calon mertua ingin bertemu, aku tak bersedia? Tentu mau! Kapan?"     

"Yah, kapan saja Zu-nii ada waktu luang."     

"Hm, nanti akan aku tanya dulu pada bos. Biasanya akhir pekan aku dibebastugaskan, sih!"     

"Baiklah, nanti akan aku sampaikan ke ibu bahwa biasanya waktu luangmu adalah akhir pekan. Zu-nii, aku berdebar-debar." Runa berbalik badan dan menghadap ke Zuko di dalam bathtub.     

"Hee? Kenapa? Kenapa berdebar-debar?" Zuko mengelus wajah lembap Runa.     

"Berdebar-debar jika … jika … nanti ibu menginginkan kita menikah …." Lalu, Runa menundukkan kepala sambil tersipu.     

Menikah … Zuko tak mengantisipasi kata itu keluar dari mulut Runa. "Menikah, ya?" Suaranya lirih sampai terdengar tak yakin.     

"A-ano … kalau Zu-nii tak ingin menikah secepat ini dalam waktu dekat, tentu saja aku bisa berkata pada ibu untuk tidak perlu terburu-buru!" Runa bergegas mengoreksi ucapannya sebelum Zuko merasa tak nyaman.     

"A-ahh, tidak, tidak begitu, sayank. Aku bukannya tak mau menikah dalam waktu dekat ini. Aku … aku hanya terkejut saja, he he … tentu saja aku ingin secepatnya menikah denganmu." Lengan Zuko meraih tubuh Runa dan mencumbu gadis itu.     

"Be-benarkah Zu-nii bersedia menikah denganku?" tanya Runa saat melepaskan cumbuan Zuko.     

"Mana mungkin aku tidak mendambakan seorang istri sepertimu?" Suara Zuko berat dan mendalam dengan tatapan sarat akan libido. "Bagaimana jika sekali lagi di sini, sayank?"     

"Zu-nii, kau mesum—annghh …."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.