Inevitable Fate [Indonesia]

Taktik Nathan Ryuu



Taktik Nathan Ryuu

0Sementara Amiko sedang sibuk dengan pintu untuk mencari kamar pribadi Nathan Ryuu, di kabin belakang, di kamar yang biasanya dipakai Zuko, di sanalah justru terbaring tubuh lelah Nathan Ryuu yang sedang tidur.     
0

Ketika Zuko masuk ke kamarnya yang dipakai oleh si bos, betapa dia heran. Kenapa Nathan Ryuu harus memakai kamarnya jika lelaki kaya itu sudah memiliki kamarnya sendiri di kabin depan dan lebih mewah berkali lipat dari kamarnya ini pula!     

Yah, orang seperti Zuko tidak akan paham mengenai apa yang dipikirkan oleh Nathan Ryuu.     

Pemikiran Nathan Ryuu selalu lebih jauh ke depan melebihi visi orang biasa. Dari awal, dia sudah memprediksi bahwa Amiko pasti akan mencari kamar pribadinya dan mengganggu di sana.     

Oleh karena dugaan ini, Nathan Ryuu buru-buru mengunci kamar pribadinya dari luar dan dia malah pergi ke kamar Zuko dan menyuruh asistennya untuk diam saja tidak memberitahukan pada siapapun mengenai dia tidur di kamar sang asisten.     

Zuko yang sedang sibuk dengan Runa pun mengiyakan saja kemauan bosnya meski agak heran. Namun, dia tak ingin banyak tanya. Runa lebih penting saat ini!     

Maka, ketika pesawat sudah mulai memasuki kawasan langit Jepang, ia tidak bisa tidak masuk ke kamarnya untuk membangunkan si bos. "Permisi, Bos. Ini sudah hampir sampai di bandara. Bos?"     

"Ermmghh … sudah hampir sampai?" Terdengar suara erangan Nathan Ryuu sambil menoleh ke Zuko dengan mata setengah terbuka.     

"Benar, Bos. Beberapa menit lagi akan tiba di bandara." Zuko menyahut. Perjalanan dari pulau Jeju ke Tokyo hanya memakan waktu sekitar 2 jam saja.     

Mau tak mau, Nathan Ryuu pun bangun dan duduk di kasur itu. "Ahh, sudah mulai petang, yah!" Ia melirik ke jendela kamar dan pemandangan di sana sudah gelap, menunjukkan bahwa hari memang sudah gelap.     

"Ya, Bos. Lagipula, kenapa Bos malah tidur di sini, tidak di kamar Bos sendiri seperti biasanya?" tanya Zuko sambil bersiap-siap dengan tas bawaannya.     

Bukannya menjawab pertanyaan Zuko, Nathan Ryuu malah tertawa terkekeh-kekeh sambil bangun dari kasur itu dan menepuk pundak Zuko, lalu keluar dari kamar itu.     

Zuko menatap sang majikan dengan keheranannya. Kenapa dia selalu saja susah menebak pikiran bosnya? Hm, mungkin Itachi pasti akan tahu jika berada di posisinya.     

Ya sudah, biarlah! Zuko pun mengangkat bahu dan meneruskan memasukkan ponselnya ke tas yang dia bawa, bersiap untuk turun dari pesawat.     

Sementara itu, di depan kamar Zuko yang berada di kabin belakang, Nathan Ryuu mengeluarkan ponsel untuk menghubungi pelayan di kabin lain. "Siapkan akomodasi untuk Nona Hanji, dan katakan saja bahwa aku akan terlambat keluar pesawat karena sedang tidur."     

"Baik, Tuan." Pelayan menjawab.     

Seperti yang sudah dititahkan oleh sang majikan, pelayan itu menghubungi pihak bandara untuk menyediakan mobil yang nantinya akan bisa digunakan untuk Amiko.     

Pun ketika pesawat Onodera itu benar-benar tiba di bandara, Amiko bertanya ke pelayan yang membantunya turun pesawat. "Mana Ryu? Kok aku tidak melihat dia?"     

"Tuan belum bangun dari tidur. Saya sudah memesankan mobil yang nyaman untuk dipakai Nona ke manapun Nona ingin pergi. Silahkan." Pelayan itu menyahut sopan dengan wajah datar.     

"Tsk!" Amiko makin kesal. Selama berjam-jam dia menunggu kesempatan bertemu dengan Nathan Ryuu, lelaki itu malah terus saja tak muncul di depannya, entah sebenarnya di mana.     

Karena tak mau lagi menunggu lebih lama, maka Amiko mau tak mau menerima mobil untuknya itu dan masuk tanpa mengatakan apapun lagi pada si pelayan. Wajahnya suram dan gelap karena kesal.     

Pelayan membungkukkan badan sampai mobil yang membawa Amiko pergi dari bandara, setelah itu dia menghubungi Nathan Ryuu, "Tuan, Nona Hanji sudah pergi."     

"Bagus!" Kemudian, Nathan Ryuu pun mulai turun dari pesawatnya dan masuk ke mobil pribadinya bersama Zuko. "Langsung ke penthouse."     

.     

.     

Zuko bergegas masuk ke mobilnya sendiri setelah mengantar pulang Nathan Ryuu. Dia ingin segera bertemu dengan Runa.     

Saat ini, Runa tentu sudah berada di apatonya sendiri karena Zuko tiba di Jepang sudah malam, melebihi waktu pulang kerja Runa.     

"Sayank, apa kau lelah menungguku?" tanya Zuko begitu dia sudah berhadapan dengan Runa. Wajah genitnya diperlihatkan tanpa ditahan-tahan di depan Runa.     

Runa terkikik. Dia malah geli melihat wajah genit Zuko, karena di matanya, itu justru lebih mirip wajah tengil, bukannya genit menggoda. "Ayo masuk. Aku sudah masak ramen. Tapi ramen instan, tak apa, kan?"     

"Ohh, tidak masalah! Apapun yang kamu masak, aku pasti akan melahap sampai habis, sayank." Zuko bergegas masuk ke apato Runa dan melanjutkan bicara, "Aku minta maaf tidak sempat membelikanmu oleh-oleh, karena bos juga tidak mampir ke toko oleh-oleh, sih!"     

"Tidak mengapa! Aku tidak butuh oleh-oleh, aku butuh Zu-nii pulang dengan selamat untukku," bisik Runa pada separuh bagian akhir dari kalimatnya.     

Ini membuat Zuko menegang bahagia. Ia lekas saja membopong Runa dan masuk ke kamar.     

"Zu-Zu-nii! Kau kan belum makan malam!" Runa tertegun di bopongan Zuko.     

"Ada yang ingin aku makan dulu, he he …." Senyum binal Zuko pun dimunculkan lelaki itu.     

"Zu-nii, kau mesum!" Runa segera saja paham apa yang diinginkan Zuko saat ini.     

Keduanya melampiaskan kerinduan akan tubuh masing-masing dalam sebuah pergumulan intim dan membara di ranjang Runa hingga sekitar 2 jam berikutnya, barulah mereka berhenti dan Zuko pun makan ramen yang sudah mulai dingin dan membengkak.     

"Lihat, ramen buatanku jadi terlihat jelek dan dingin pula gara-gara Zu-nii tidak langsung memakannya begitu masih panas." Runa berlagak menyesal menatap ramen bengkak di mangkuk besar di meja makan.     

"Tidak masalah! Aku pasti akan habiskan semuanya, tenang saja!" Zuko pun bersiap-siap untuk melahap apapun yang ada di meja. Belum makan malam sedari tadi, ditambah pergumulan hebat mereka selama 2 jam pula! Mana mungkin tidak membuat lambungnya meronta menginginkan jatah?     

Sesudah makan dan berberes di ruang itu, Runa mendekat ke Zuko yang masih menonton televisi di ruang tengah, duduk manja di pangkuan Zuko.     

"Zu-nii … film apa itu?"     

"Ohh, itu film keluarga. Aku baru setengah jalan menontonnya."     

"Berbicara tentang keluarga … aku jadi teringat ibuku, hiks!"     

"Ehh! Runa sayank, kenapa kau malah menangis?!" Zuko kaget mendengar isakan tangis Runa.     

"Aku … hiks! Aku malu mengatakannya ke Zu-nii."     

"Hei, hei, ayo, katakan padaku, ada apa? Kenapa dengan ibumu?"     

"Ibu … hiks … ibu … ibu berhutang pada renternir untuk modal dagangnya dan belum bisa mengembalikannya. Renternirnya begitu kejam dan terus meneror ibu, hiks! Aku sungguh tidak berguna jadi anak, hiks!"     

"Sayank, Runa sayank!" Zuko menangkup pipi kekasihnya saat mereka berhadapan di sofa. "Katakan padaku, seberapa banyak yang harus dibayar. Biar aku saja yang membayarnya!"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.