Inevitable Fate [Indonesia]

Mata-Mata



Mata-Mata

0Runa baru saja mulai diajak mengobrol oleh Zuko yang mendatangi ruangan Itachi pagi itu ketika dia mendapatkan panggilan dari ruangan lain mengenai pekerjaan.     
0

Namun, mendadak saja, tangan Zuko merenggut pergelangan tangan gadis itu dan menghentikannya.     

"No-Nona Runa! Nona Runa!" Tangan Zuko lekas menahan pergelangan tangan Runa sebelum gadis itu benar-benar melangkah pergi. Ketika Runa berhenti, ia berkata, "A-aku … aku menyukai Nona! Bisakah kita ber-berpacaran?"     

Mata Runa membeku sesaat ketika mendengar apa yang dilantunkan mulut Zuko. Ia melongo beberapa detik sebelum kemudian dia tersadar kembali dan berkata, "Tunggu sebentar, Pak. Aku sedang ditunggu Bu Kamasuba di ruangannya."     

Kemudian, Zuko harus rela melihat Runa keluar dari ruangan itu dan dia pun duduk kembali di sofa dengan kepala diremas-remas kedua tangan, nampak putus asa.     

Apakah dia begitu amatir, hingga pengungkapan cintanya saja seolah tidak terlalu ditanggap serius oleh Runa? Apakah dia begitu tidak menggetarkan? Apa dia sepayah ini?     

Jika di dorama-dorama ataupun drakor, adegan pemeran utama lelaki menyatakan cinta akan membuat pemeran wanitanya membeku dan mereka akan saling bertatapan, lalu berciuman.     

Ahh! Memang semua drama itu hanya menipu! Atau … dia saja yang payah dan kurang keren?     

Zuko berdiri dan mematut bayangan dirinya di kaca besar yang mengelilingi ruangan itu, mencari yang tidak ditutupi gorden. Sepertinya dia tidak seburuk itu, ya kan? Penampilan dia tentunya masih sanggup menggetarkan para gadis, benar kan?     

Atau itu hanya pikiran di kepalanya saja?     

Tapi … bahkan dulu ibunya selalu membanggakan dia pada semua tetangga mereka di Kyoto, berarti dia memang tidak seburuk itu, kan?     

Apakah Runa terkecoh oleh panggilan Bu Kamasuba tadi hingga dia tidak menyadari betapa menariknya dia sesungguhnya?     

Ahh, tapi rasanya dia masih kalah jika harus dibandingkan dengan Nathan Ryuu dan Itachi yang menjadi duo prince charming di kantor ini. Mereka berdua tentu saja sudah mendapatkan cap resmi dari semua pegawai di kantor ini, terutama dari pihak karyawati.     

Jadi … dia kurang menarik?     

Saat Zuko sibuk berdiri dan menilai dirinya sendiri di depan kaca salah satu sudut ruangan Itachi, Runa kembali masuk ke ruangan itu.     

"Bapak masih di sini?" tanya Runa.     

Pertanyaan macam apa itu? Apakah Runa heran kenapa dia belum juga berhembus keluar dari sini? Jantung Zuko bagai ditikam belati. Ia sedih, namun menyembunyikannya saja daripada terlihat lemah.     

Yah, menjadi sad boy itu memalukan, bukan? Maka, Zuko pun tersenyum sambil mendekat ke Runa dengan langkah move like a Jagger, penuh percaya diri, dan berkata, "Apakah semuanya baik-baik saja, Nona?"     

"Ahh, ya, tentu saja, Pak." Runa menanggapi sambil tersenyum. Gadis itu pun berdiri di hadapan Zuko. "Pak, sepertinya tadi ada pembicaraan serius yang sempat tertunda, benar?"     

Ya ampun, kenapa malah kini Zuko merasa dirinya yang sedang didominasi? Harusnya dia yang mengatakan itu! Kenapa harus Runa duluan? Ia merasa gagal sebagai lelaki superior.     

"O-ohh, ano … etto … umm … yah," gugupnya karena tidak menyangka bahwa Runa akan memberikan langkah terlebih dahulu ketimbang dia. "Y-ya, itu tadi … um, aku … aku …."     

"Tolong katakan dengan tegas, Pak, atau aku akan meragukan ucapan Bapak." Runa sekali lagi memberikan dominasinya. Terlebih pandangan lurus ke mata Zuko.     

Meneguk saliva yang membuat jakunnya naik dan turun, Zuko menyahut, "Ehem! Ya, aku … aku ingin mengajak Nona berpacaran. Um, apakah itu … itu payah?"     

"Tidak! Tidak sama sekali!" Runa langsung saja memberikan wajah cerah cerianya.     

Reaksi dari Runa sungguh membuat hati Zuko lega bukan kepalang. Maka, lelaki itu juga ikut memberikan wajah sumringah dia. "Jadi … kita sekarang … pacar?"     

Astaga, ternyata menembak perempuan tidak sesulit itu, kok! Dia saja yang terlalu berat memikirkan ini sejak kemarin hingga melupakan makan, minum bahkan berkemih seharian hanya karena galau parah.     

"Tidak masalah!" Runa masih memberikan wajah cerahnya bagaikan mentari di siang hari.     

"Wuoh! Aku … aku lega dan … senang! Ha ha ha!" Zuko mengelus dadanya penuh kelegaan.     

"He he … aku harap aku bisa menjadi pacar yang baik."     

"Tentu saja!"     

Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan mumpung Itachi dan Akeno tidak berada di ruangan, hanya ada mereka berdua saja, Zuko pun menarik tangan Runa.     

Mereka menjadi tak berjarak.     

"No-Nona … bolehkah aku … ano … menciummu? Sebagai tanda sah akan status kita, he he …." Zuko malu-malu mengucapkan keinginan dia.     

Runa nyaris tertawa lepas jika tidak ingat bahwa lelaki di hadapannya ini merupakan perjaka yang pasti belum pernah berhubungan apapun dengan perempuan seumur hidupnya, kecuali ibunya. Ini hanya dugaan Runa saja, namun nampaknya dugaan itu benar.     

"Tentu saja boleh. Aku adalah pacar Bapak, maka tentunya sebuah ciuman tidak akan menjadi sesuatu yang berlebihan." Runa menanggapi keinginan Zuko.     

"He he ... ya, ini ... ini untuk mengesahkan hubungan kita, yah!" Zuko tersenyum senang atas kesediaan Runa.     

"Alasan saja!" desis seseorang di ruangan lain. "Tsk, sungguh kuno, apakah kau dari jaman purba?"     

Akeno menoleh ke kekasih di sebelahnya. Ia masih heran kenapa dirinya dipaksa ke ruangan kosong ini. Tadinya dia sudah berfantasi liar, mungkin saja Itachi sudah sangat tak tahan dan ingin bercinta di ruangan tak terpakai ini.     

Tapi, nampaknya dia terlalu berharap saja, karena sejak mereka masuk ke ruangan tersebut, Itachi mengabaikan dia untuk menatap ke ponselnya terus.     

"Sebenarnya, apa yang sedang kau tonton, sih Itachi? Sepertinya seru karena kau terus saja mendengus pada layarmu." Akeno memiringkan dirinya ke samping, berharap bisa melihat apa yang sejak tadi dia diabaikan dikarenakan tontonan entah itu.     

Itachi segera mengamankan ponselnya dari pengintipan Akeno. "Apa kau sudah lupa bahwa ini adalah kantor? Bagaimana bisa kau memanggilku seenak itu?"     

Akeno ingin menggetok kepala pria di sebelahnya ini. Bukankah tidak ada siapapun selain mereka berdua di sini? Tapi kenapa masih saja dia harus menggunakan sikap formal juga saat ini? "Baiklah, Pak, maafkan saya."     

"Bagus! Tetaplah profesional seperti itu agar tidak mengecewakan aku sebagai mentormu." Itachi lalu kembali menatap ke layar ponselnya.     

Ingin sekali Akeno mendengus mendengar ucapan Itachi. Profesional, katamu? Lalu yang kau lakukan saat ini apa? Menonton layar yang belum tentu itu berkaitan dengan pekerjaan. Bersikap profesional, huh?! Profesional pantatmu lumer, Itachi! Akeno pun menegakkan duduknya, tak ingin mengintip lagi.     

Jika Akeno tahu bahwa Itachi sedang mengawasi tingkah laku Zuko dan Runa di ruangannya, pasti gadis itu akan menjerit heboh.     

Yah, tadi sebelum Itachi menyeret Akeno keluar dari ruangannya, dia menghidupkan kamera pengawas dia yang berukuran mini di tembok yang bisa dia pantau melalui ponsel, sehingga dia bisa leluasa memata-matai apa saja yang dilakukan Zuko dan Runa saat ini.     

Saat ini, Zuko sedang mencium Runa dengan sikap gugup dan aneh.     

"Csk, dasar amatir bodoh." Itachi berkomentar tanpa Akeno paham itu untuk apa atau untuk siapa.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.