Inevitable Fate [Indonesia]

Menahanmu Pergi



Menahanmu Pergi

0Tibalah pagi perpisahan antara Runa dan Zuko. Keduanya sudah saling berhadapan. Runa memunculkan senyumnya sedangkan Zuko membalas dengan senyum masam.     
0

"Aku pergi dulu, Pak. Terima kasih atas hubungan baik kita beberapa hari ini." Usai mengatakan itu, secara tiba-tiba, Runa berjinjit sedikit dan mengecup pipi Zuko.     

Zuko terkejut, namun yang lebih mengejutkannya lagi, dia malah menarik tengkuk Runa dan menempelkan bibir mereka berdua.     

Tidak hanya Zuko saja yang terkejut dengan tindakan impulsif dia, namun juga Runa itu sendiri yang tengkuknya secara mendadak ditarik dan bibirnya ditindas dengan cara amatir.     

Ya, benar! Ciuman Zuko sungguh amatir. Hanya dua bibir yang ditempelkan ketat saja tanpa bergerak. Ini mirip seperti ciuman pada dorama (istilah Jepang untuk 'drama') romansa jaman beberapa dekade lalu, ciuman yang kaku dan beku saja.     

Pada detik keempat, Zuko sadar akan kegilaannya dan bergegas menjauh dari wajah Runa. "A-ahh! Maafkan aku! Sungguh, maafkan aku, Nona!" Ia segera saja tersungkur di lantai sambil melakukan dogeza sampai keningnya menyentuh lantai.     

Zuko benar-benar terbawa perasaan dan sekaligus suasana, apalagi mendapatkan provokasi dari Runa yang mengecup pipinya begitu manis, mengakibatkan dia jadi lupa diri.     

Melihat Zuko sampai melakukan dogeza hanya karena melabuhkan ciuman dadakan, Runa malah ingin tertawa geli. Tingkah lelaki ini memang sungguh tidak bisa ditebak dan selalu saja mengundang rasa geli di hatinya. "Pak, Bapak …." Ia malah menarik Zuko yang lututnya masih lengket dengan lantai.     

"Nona, aku bersalah. Aku sungguh bersalah!" Zuko terus saja merutuki dirinya di benaknya. Kenapa juga dia secara nekat melakukan itu! Bagaimana jika Runa menganggap dia sama brengseknya dengan lelaki mesum di luar sana, Yoji misalnya? Sial! Kenapa selalu nama si bajingan itu yang terus diingat dia?     

"Pak, Bapak tak perlu sampai seperti itu." Runa susah payah menegakkan tubuh Zuko kembali berdiri berhadapan dengan dirinya.     

"Ta-tapi aku … aku berbuat bodoh … aku … a—mmffhh?" Zuko tak sempat menuntaskan kalimatnya karena bibirnya sudah ditempeli bibir Runa, kali ini gadis di depannya yang melakukan itu, bukan dia.     

Runa mencium Zuko!     

Mata Zuko membelalak tak percaya. Runa … mencium dirinya? Gadis itu bersedia melakukannya? Bahkan, ini bukan jenis ciuman beku ala dorama jaman lalu.     

Ini adalah ciuman yang memberikan lumatan dan hisapan lembut, dan itu dilakukan oleh Runa. Gadis itu memberikan sebuah ciuman pertama yang sungguh luar biasa bagi Zuko.     

Bahkan Zuko masih belum tahu bagaimana merespon ciuman semacam itu! Dia terlalu amatir, astaga!     

Apakah setelah ini Zuko boleh membopong Runa ke tempat tidurnya? Ohh, tidak! Jangan! Dia tidak boleh sebinatang itu! Zuko mengenyahkan fantasi liar semacam itu. Dia tidak ingin menakuti Runa.     

Ciuman itu berlangsung cukup lama, dan Runa lah yang memimpin seluruh bagian! Betapa malunya Zuko. Dia kalah pintar! Dia sungguh memalukan sebagai lelaki! Harusnya, dia yang memimpin cumbuan ini, tapi malah ….     

Menyudahi ciuman mereka, keduanya sama-sama saling tertunduk. Wajah Zuko sudah merah padam dan dia menjadi super gugup. Sedangkan Runa tertunduk sambil tersipu.     

Kemudian, Runa dulu lah yang mengangkat kepalanya. "Pak Zuko, aku pergi dulu, sampai bertemu lagi kapan-kapan, yah!"     

Zuko masih membeku sambil menatap kepergian Runa yang sudah memanggil taksi. Saat ini, mereka berada di teras depan, namun untung saja tidak sampai bisa terlihat oleh taksi yang menunggu di depan pintu gerbang rumah tersebut.     

Astaga, Zuko, bergeraklah! Ayo bergerak dan katakan sesuatu! Jangan membeku begitu saja! Kau ini bukan ice prince, itu bukan julukanmu, jangan sok membeku begitu!     

Hingga akhirnya Runa pun sudah dibawa pergi oleh taksi dan saat itulah Zuko berteriak, "Nona! Nona Runa! Aku …." Namun terlambat, bukan? "… aku mencintaimu, tolong jangan pergi …." lirih Zuko, dan ini memang sangat terlambat.     

Kemudian, Zuko pun jongkok sambil mengacak rambut menggunakan dua tangannya, merutuki betapa bodohnya dia, betapa amatirnya dia.     

Kecewa akan dirinya sendiri, Zuko pun masuk ke rumahnya dan berdiam saja di atas kasur sampai malam dan bahkan enggan bangkit meski hanya untuk makan atau minum.     

Dia sedang menghukum dirinya sendiri.     

-0-0—00—0-0-     

Esok harinya, Zuko berkeinginan untuk menemui Runa di kantor. Mungkin jika dia selesai mendampingi bos besarnya, dia akan mempunyai waktu untuk mengunjungi Runa di ruangan Itachi.     

Namun, harapan kadang mengkhianati impian. Zuko seharian penuh harus menemani Nathan Ryuu ke prefektur lain untuk menemui salah satu rekan bisnis.     

Mereka baru kembali ke Tokyo di jam 7 malam, dan tentu saja Runa sudah pulang dari kerjanya. Jam kerja Runa hanya hingga menjelang petang saja, dia sudah tahu.     

Menghela napas kecewa, Zuko pun pulang kembali ke rumahnya dan mengurung diri lagi di kamar. Bahkan untuk berkemih saja dia malas. Ingin menangis, tapi malu karena dia ini lelaki.     

Padahal, lelaki manapun boleh menangis jika memang tekanan di dalam dada sudah tidak bisa ditahan lagi.     

-0-0—00—0-0-     

Hari berikutnya, Zuko sungguh beruntung karena Nathan Ryuu hanya berada di penthouse saja ketika Reiko mendapatkan cuti dari agensinya.     

Dengan ini, Zuko bisa bebas berada di kantor utama SortBank, ya kan?     

Dan dia sudah berada di ruangan Itachi sejak pagi itu.     

"Untuk apa kau ke sini? Kalau kau menganggur karena tidak menemani Tuan, sana cari pekerjaan lain, merajut atau memancing ikan, jangan ke sini!" Itachi bertutur kejam seperti biasanya ketika menghadapi Zuko.     

"Itachi-san, aku ke sini bukan untukmu, kok!" Zuko cemberut ke Itachi.     

Kening Itachi lekas saja berkerut curiga. Bukan untuk dirinya? Lalu untuk siapa? Akeno? Runa?     

Segera saja Itachi memberikan pandangan tajam sambil penuh menyelidik ke Zuko, mencari-cari siapa wanita yang dimaksud lelaki itu.     

Akeno? Jika memang Akeno yang hendak disasar Zuko, maka dia tak akan sungkan-sungkan mengundang sekuriti untuk menyeret Zuko keluar dari ruangannya.     

Namun, jika Runa? Hm, sepertinya dugaan terbesar jatuh pada Runa. Itachi harus ingat bahwa mereka berdua sudah beberapa hari ini bersama-sama di rumah Zuko. Maka, sudah dipastikan bahwa itu adalah Runa yang menjadi alasan Zuko berlabuh di ruangannya, kan?     

Awas saja kalau Akeno, kecam Itachi di benaknya.     

Untuk mempertebal kebenaran dugaannya, Itachi ingin mencoba sebuah trik kecil. "Akeno, ikut aku! Ada yang harus kau kerjakan agar kau tidak salah melulu. Aku lelah dengan kecerobohanmu, tsk!"     

"A-ahh?" Akeno yang masih berkutat dengan file di mejanya, kaget dan berdiri ketika Itachi mengajaknya pergi. "Ba-baik, Pak!" Ia tak boleh protes atau Itachi akan lebih kejam padanya nanti … malam.     

Sepeninggal Itachi dan Akeno, entah ke mana, ini tentu saja membuat Zuko girang. Ia mendekat ke Runa di meja gadis itu. "Nona Runa, apa kabar?"     

"Aku baik, terima kasih, Pak Zuko." Runa tersenyum, namun mendadak, dia mendapatkan panggilan pekerjaan di ruang lain. "Ohh, maaf, Pak! Aku harus pergi dulu sebentar." Ia bangkit dari kursinya, melangkah terburu-buru.     

"No-Nona Runa! Nona Runa!" Tangan Zuko lekas menahan pergelangan tangan Runa sebelum gadis itu benar-benar melangkah pergi. Ketika Runa berhenti, ia berkata, "A-aku … aku menyukai Nona! Bisakah kita ber-berpacaran?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.