Inevitable Fate [Indonesia]

Kemelut Perpisahan



Kemelut Perpisahan

0Beberapa hari ini, setelah luka Zuko mulai menutup baik itu di perut maupun di telapak tangannya, dia mulai gelisah.     
0

Kenapa?     

Karena dengan dia mulai sembuh, itu artinya Runa akan pergi dari rumahnya. Tentu saja itu bukan hal yang menyenangkan untuk dia. Lelaki ini ingin Runa lebih lama lagi bersamanya.     

Sudah beberapa kali, Zuko secara konyol memikirkan untuk menusuk dirinya sendiri saja agar terluka dan Runa akan lebih lama berada di rumahnya.     

Tapi, apabila dia menusuk dirinya sendiri, itu terlalu kentara anehnya. Bisa jadi Runa malah tak mau merawat dia karena penusukan itu dilakukan sendiri oleh dia.     

Jadi … perlukah menyewa orang lain untuk menusuk dia? Akan lebih baik lagi jika itu ketika Runa berada bersamanya, maka akan dianggap dia sedang melindungi Runa.     

Yah, sepertinya itu … akan menjadi rencana paling konyol dan gila yang pernah dihasilkan otaknya.     

Segera saja, Zuko akan menggeleng-gelengkan kepalanya kencang-kencang untuk mengenyahkan pemikiran gila itu dari kepalanya. Mana bisa dia malah berlaku seperti idiot begitu?     

Jika sampai Runa tahu bahwa itu hanyalah sebuah skema saja, bukankah itu akan membuat nilai dia jatuh di depan mata Runa? Apalagi jika sampai bosnya tahu karena sang majikan besar itu begitu pintar dan pasti akan cepat mengetahui rencananya.     

Zuko bergidik.     

Ini entah sudah keberapa kalinya dia mempertimbangkan rencana gila nan bodoh itu di kepalanya. Seolah, di kepalanya bercokol sesosok iblis perayu pikiran yang membujuk dia untuk melakukan kegilaan itu.     

Sepertinya Zuko butuh air suci untuk merendam otaknya.     

"Pak? Pak Zuko? Pak?" Suara Runa terus berkumandang sejak tadi, namun yang dipanggil masih juga melamun. "Pak? Bapak?"     

Di panggilan yang terakhir, Zuko pun tersadar dari lamunan idiotnya. "Ohh! Ehh? Ada apa, Nona?" Ia menatap gadis di hadapannya saat dia sedang duduk tenang di sofa ruang tengah.     

"Aku bertanya pada Bapak, apakah Bapak ingin telurnya dibuat bundar atau gulung?" Rupanya itu yang sejak tadi ditanyakan Runa.     

"Ohh! Um, bundar saja. Aku memang menyukai yang gulung, tapi rasanya aku ingin yang bundar hari ini." Seperti biasa, lelaki ini sungguh bertele-tele tak jelas. Jika dia memang ingin yang bundar, tak perlu repot-repot mengungkapkan kesukaan dia akan telur gulung, ya kan?     

"Baiklah." Runa pun pergi ke dapur untuk membuatkan apa yang telah dikonfirmasi oleh Zuko.     

.     

.     

Ketika makan malam tiba, Runa berkata pada Zuko, "Pak, sepertinya luka Bapak sudah sembuh, ya kan?" Mana mungkin dia tidak mengetahui itu? Selain dia sudah bertanya pada perawat yang rutin datang tiap pagi untuk memeriksa dan mengganti perban, Runa jugalah yang sudah memandikan Zuko beberapa hari terakhir ini.     

Mendengar ucapan Runa, hati Zuko mendadak menjadi kering gersang bagai dimasukkan ke dalam oven selama sehari semalam. "Um, iya benar." Raut wajahnya mendadak saja gelap kusam.     

Sayang sekali, Runa tidak menyadari itu. Gadis itu terus menaruh perhatiannya pada makanan di depannya. Ketika dia mengangkat pandangan ke Zuko, lelaki itu langsung saja memasang senyum pada wajahnya, mengubur kesedihannya secara cepat.     

"Wah, kalau begitu, aku sudah harus kembali ke tempatku sendiri." Runa mengatakannya sambil tersenyum kecil. "Kita sudah cukup akrab beberapa hari ini, yah Pak!"     

"E-ehh, iya. He he he … benar. Kita sudah akrab." Zuko menyeimbangi senyum Runa dengan kekehan kecil meski itu dipaksakan dan terlihat aneh.     

"Nanti, kalau kita bertemu di kantor, aku harap Bapak tidak bersikap sombong bagaikan tidak pernah mengenalku, yah Pak!" Runa melebarkan senyumannya tanpa tahu sepedih apa hati Zuko saat ini.     

"A-ahh, iya. Aku … aku mana mungkin lupa atau bersikap pura-pura lupa pada Nona." Zuko meringis namun terlihat tidak tulus.     

"Sepertinya nanti malam adalah malam terakhir aku tidur bersama Bapak, yah!" Runa bertutur secara riang seakan dia sungguh menantikan kepergiannya dari rumah ini. Seakan bebannya sudah terangkat.     

"Y-ya." Zuko mengangguk sambil meringis aneh. Mendadak saja makanan di depannya terasa bagaikan karet, tidak menimbulkan selera.     

Usai makan malam, Zuko ingin duduk untuk menonton televisi dulu sebelum masuk ke kamar. Dia masih ingin bermuram durja sendiri di ruang tengah karena Runa sedang mandi di kamarnya. Tak mungkin dia memaksa ingin di sana.     

Sementara itu, Runa sudah hendak pergi ke kamar mandi ketika dia mendapati ponselnya bergetar di meja rias kamar itu. Dia melihat ke layar dan itu ternyata panggilan dari ibunya.     

Hghh … apalagi mau wanita itu? Malas-malasan, Runa pun mengangkat panggilan itu. "Ada apa, Bu?"     

"Ru-Runa anakku tersayang, anak kebanggaanku, tolong ibumu ini, hu huuu …." Suara isak tangis ibunya berkumandang di telinga Runa. Entah itu tangisan palsu atau sungguhan, Runa tak tahu.     

"Apa yang terjadi?" tanya Runa dengan hati cemas. Ya, dia memang kesal pada ibunya. Dia memang benci pada keluarganya sendiri, tapi ketika mendengar tangisan ibunya, hatinya meleleh seketika.     

"I-Ibu … ahh, ini memang salah Ibu." Bu Sayuki terdengar enggan mengatakan alasan mengapa dia menangis dan menghubungi putrinya.     

"Katakan, Bu." Runa mendesak. Ia tak suka dibuat penasaran.     

"Ini … Ibu … unghh … Ibu berhutang banyak pada rentenir." Suara sang ibu seakan jauh.     

Hingga Runa khawatir dia salah dengar dan bertanya dengan keras, "Apa?!"     

"Ja-jangan membentak ibumu seperti itu, Runa!" Bujukan bernada keras melantun dari Bu Sayuki. "Ini semua salah kakak bodohmu itu! Dia bilang bahwa orang itu orang baik yang mulia dalam meminjamkan uang."     

"Katakan apa adanya, Bu … apa kalian berhutang pada renternir?" Runa mendesak, tak ingin ibunya bertele-tele.     

"Umhh … iya, anakku sayank."     

"Kenapa harus berhutang? Kepada rentenir pula!"     

"Anak kebanggaan Ibu, tentunya kau tak ingin Ibu kesulitan dalam modal bisnis, ya kan?"     

"Bukankah aku sudah mengirimi sejumlah uang ke Ibu setiap awal bulan? Bisnis macam apalagi yang mau Ibu lakukan? Aku mengirimimu uang karena aku tak mau Ibu bekerja lagi!"     

"Itu … Ibu ingin mencoba-coba bermain saham, kata kakakmu itu sangat menguntungkan! Yah, siapa tahu Ibu bisa sukses berkat saham sehingga tak perlu merepotkanmu lagi, ya kan? Niat Ibu ini sungguh baik!"     

Kepala Runa seketika saja pusing hingga dia benar-benar memijat keningnya. "Seberapa banyak Ibu berhutang pada mereka?"     

"Ha-hanya 2 juta yen (sekitar 250 juta rupiah) saja." Kembali, suara Bu Sayuki melirih.     

"Hah?! 2 Juta yen dan itu kau bilang 'hanya', Bu?!" Runa tak bisa menahan seruannya. Beruntung televisi yang sedang ditonton Zuko volumenya lumayan keras sehingga teriakan Runa tidak terdengar.     

-0-0—00—0-0-     

Tibalah pagi perpisahan antara Runa dan Zuko. Keduanya sudah saling berhadapan. Runa memunculkan senyumnya sedangkan Zuko membalas dengan senyum masam.     

"Aku pergi dulu, Pak. Terima kasih atas hubungan baik kita beberapa hari ini." Usai mengatakan itu, secara tiba-tiba, Runa berjinjit sedikit dan mengecup pipi Zuko.     

Zuko terkejut, namun yang lebih mengejutkannya lagi, dia malah menarik tengkuk Runa dan menempelkan bibir mereka berdua.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.