Inevitable Fate [Indonesia]

Ingin Tidur Bersama



Ingin Tidur Bersama

0I am here for you .. ohh always here for you ... (aku di sini untukmu .. selalu di sini untukmu)     
0

- Here For You by Firehouse -     

==========     

Zuko telah menyelamatkan Runa dari Yoji, untuk yang kedua kalinya. Dan di kali kedua ini, nyawa Zuko hampir saja terenggut akibat tusukan pisau lipat Yoji. Untung saja luka tusuk itu tidak terlalu dalam, sehingga Zuko bisa menjalani rawat jalan saja usai mendapatkan operasi kecil.     

Oleh karena itu, Nathan Ryuu meminta agar Runa membalas budi kepada Zuko dengan menjadi perawat bagi Zuko. Apalagi kondisi Zuko memang belum bisa mandiri untuk melakukan ini dan itu, terlebih tapak tangan kanannya sobek karena menahan pisau Yoji kala itu.     

Runa tak mungkin menolak permintaan Nathan Ryuu. Selain dia memang berhutang budi banyak terhadap Zuko, dia juga tak akan bisa menolak permintaan bosnya.     

Maka dari itu, Runa pun bersedia untuk pindah sementara di rumah pribadi Zuko. Sayang sekali, rumah itu hanya memiliki 1 kamar tidur yang layak saja.     

Nathan Ryuu berjanji besoknya akan mengirimkan orang untuk membereskan kamar satunya lagi agar bisa ditempati Runa.     

Untuk malam ini, Nathan Ryuu menyarankan agar Runa tidur di kamar utama bersama Zuko sebelum dia pulang bersama Reiko.     

Namun, karena Runa merasa tak nyaman jika tidur bersama Zuko, ia pun berkata. "Saya bisa tidur di sofa ruang tengah, Bapak tak perlu khawatir."     

Mendengar itu, Zuko membelalakkan mata dan menjawab, "Tapi, di sana kan tak ada pemanas ruangan, kau akan kedinginan! Bagaimana kalau berbaring di sebelahku saja? Aku janji takkan melakukan apapun hal tak pantas. Hanya untuk malam ini saja, oke? Kasur ini cukup luas, kok!"     

Runa pun berpikir. Ia melirik kasur yang memang ukurannya cukup besar, bisa untuk 3 orang sekaligus! "Um … etto …."     

"Kita bisa menggunakan guling! Aku janji takkan melewati guling itu. Apalagi, kondisiku sedang begini, mana bisa aku bergerak bebas, ya kan?" Zuko memberikan kalimat jaminan dengan membawa kondisi tubuhnya.     

Menatap luka di perut Zuko, akhirnya Runa pun mengangguk. Sepertinya ucapan Zuko masuk di akal dan logikanya. Luka tusukan tetap saja luka tusukan, meski dangkal, tentunya akan membuat tak nyaman penderitanya jika bergerak.     

Karena itu pula, Runa bersedia tidur satu ranjang dengan Zuko. "Baiklah, Pak."     

Zuko lega mendengarnya. Dia memang tak akan tega membiarkan Runa tidur di ruang tengah yang tidak memiliki pemanas ruangan. Ini adalah bulan Desember dan udara pun mulai terasa sangat dingin, terutama di malam hari.     

Guling besar pun diletakkan di tengah-tengah kasur sebagai pembatas sesuai dengan janji Zuko agar Runa tenang. Lelaki itu benar-benar menjunjung tinggi moralnya terhadap wanita.     

Ia memandang Runa adalah gadis murni yang tidak genit ataupun jalang, maka dari itu, Zuko harus memperlakukannya dengan layak. Terlebih, Runa adalah sahabat baik dari istri bosnya! Mana berani dia bertindak macam-macam terhadap Runa?     

"Apakah Bapak sungguh tidak ingin apapun sebelum tidur? Aku bisa membuatkan teh hangat atau mungkin Bapak ingin susu hangat pula?" Runa masih menawarkan diri untuk membuatkan sesuatu.     

"Um, sepertinya susu hangat baik juga, oke itu saja." Zuko mengangguk. "Sepertinya aku masih punya susu bubuk di lemari dapur." Ia sambil mengingat-ingat.     

"Baiklah, saya akan buatkan dulu susu hangat untuk Bapak. Tolong ditunggu." Runa berjalan keluar kamar menuju ke dapur kecil yang menyatu dengan ruang makan.     

Dia dengan cekatan membuat susu hangat dari sisa susu bubuk yang memang masih ada di lemari dapur. Setelahnya, dia membawa susu hangat itu ke kamar dan menyerahkan ke Zuko.     

"Umh!" Zuko terlalu tergesa-gesa hingga dia terbatuk-batuk, "Uhuk! Uhuk! Arrghh!" Ia langsung memegangi perutnya. Batuk membuat jahitan di perut pun bergerak-gerak dan itu memang menyakitkan.     

"Pak! Ya ampun, Bapak, kenapa harus minum dengan terburu-buru begitu?" Runa segera meletakkan mug susu ke meja nakas dan menarik selembar tisu di meja itu dan mengusapkan ke mulut Zuko.     

"Arrghh … sakit …." Zuko masih memegangi perutnya. Tadi dia memang begitu ceroboh sampai terbatuk. Itu karena dia grogi adanya Runa di dekat dia. Begitu dekat sehingga dia tiba-tiba saja membayangkan andaikan Runa adalah istrinya.     

Dan karena dia terkejut dengan pemikirannya sendiri, dia pun tersedak. Betapa cerobohnya! Yah, begitulah Zuko. Lelaki ceroboh yang kikuk.     

"Pak? Apakah itu sangat sakit? Aku akan panggil ambulans, yah!" Runa sudah hendak pergi mengambil ponselnya ketika tangannya diraih Zuko.     

"Mrrghh … tidak usah, Nona. Ini … ini sudah tidak begitu sakit lagi, kok!" Zuko menggeleng agar Runa membatalkan niatnya memanggil ambulans. Ia tidak suka bau rumah sakit, karenanya tak ingin kembali ke sana.     

"Tapi luka Bapak …." Runa menampilkan raut cemasnya menatap Zuko yang nyengir canggung.     

"He he … ini … ini sudah tidak sakit lagi, kok! Sungguh!" Zuko bersikeras.     

"Bapak serius?"     

"Ya, aku serius. Ini sudah tidak sakit."     

"Hm, baiklah kalau begitu. Tapi, Bapak jangan menutupi apapun dariku, yah! Kalau sakit, tolong katakan dengan jujur agar aku tidak menyesal. Bagaimana pun, aku sudah diserahi tugas merawat Bapak oleh Tuan Ryuu." Runa masih terlihat cemas.     

"Nona, apakah kau di sini hanya karena permintaan bos?" tanya Zuko, sedikit kecewa atas ucapan Runa sebelum ini.     

"Ehh?" Runa termangu sejenak akan pertanyaan Zuko. "Aku … tentu saja bukan karena perintah Tuan Ryuu semata aku berada di sini. Bukankah sudah aku katakan bahwa aku berhutang budi pada Bapak? Maka dari itu aku tidak keberatan merawat Bapak sampai Bapak sembuh."     

"Ohh …." Zuko memaksakan diri untuk tersenyum meski dia kecewa dengan jawaban Runa. Tetap saja dia merasa kecewa. Tapi, ya ampun, kenapa dia harus kecewa? Memangnya apa yang ia harapkan? Runa di sini karena mencintai dia? Mana mungkin!     

Meredam kekecewaan tak masuk akalnya, Zuko pun berkata, "Um, susunya, Nona?"     

"Ohh, ya!" Runa mengambil lagi mug susu itu dan menyerahkan ke Zuko. "Tolong minum dengan perlahan, Pak."     

"Ya," jawab Zuko sebelum mulai menyesap sedikit demi sedikit susu itu hingga akhirnya susu setengah mug telah berpindah ke perut Zuko. "Ahh … rasanya enak dan nyaman." Ia tersenyum, kali ini tulus, karena merasa senang atas tindakan Runa yang tetap duduk di sebelahnya menunggui dia selesai minum.     

"Tidak dihabiskan, Pak?" Runa melirik isi mug sebelum menaruh di meja nakas.     

"Tidak perlu. Aku tak mau terbangun karena ingin berkemih nantinya. Luka ini masih cukup merepotkan bagiku bergerak."     

"Um, maafkan aku, Pak. Itu … Bapak menerimanya karena aku." Runa tertunduk, masih duduk di samping Zuko.     

"E-ehh! Jangan berkata begitu, Nona! Aku melakukannya dengan tulus! Jangan salah paham, yah!" Zuko jadi tak enak hati sendiri membuat Runa menyesali dirinya.     

Tiba-tiba, Zuko teringat akan sesuatu. "Um, Nona … boleh aku bertanya?"     

"Silahkan, Pak."     

"Benarkah … lelaki itu … dia … pernah melecehkanmu?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.