Inevitable Fate [Indonesia]

Hanya Bercelana Dalam Saja



Hanya Bercelana Dalam Saja

0It's a beautiful day .. Don't let it get away (ini hari indah .. jangan sampai terlewatkan)     
0

- Beautiful Day by U2 -     

==========     

Lupakan sejenak mengenai Yoji yang kini menjadi budak s3ks para gay di sebuah tempat.     

Beralih ke Runa yang memang menjalankan tugasnya untuk merawat Zuko.     

Pagi itu, sesuai dengan jadwal yang telah diberikan oleh pihak rumah sakit, bahwa akan ada perawat yang datang ke rumah Zuko untuk mengganti perban dan memeriksa luka di perut dan telapak tangan Zuko.     

Runa menerima kedatangan perawat itu dan mempersilahkan perempuan medis itu ke kamar utama untuk menjumpai Zuko.     

Karena Zuko tidak ingin dirawat inap di rumah sakit, dia setuju dengan pengaturan akan ada perawat yang akan datang ke rumahnya setiap pagi untuk mengganti perban dan memeriksa luka-lukanya.     

Sementara perawat itu mengurus Zuko, Runa berkutat lagi di dapur. Dia memang bukan orang yang piawai memasak, namun jika hanya membuatkan hidangan sederhana seperti sup ayam biasa atau menggoreng ikan dan udang, dia masih sanggup.     

Maka, setelah perawat menuntaskan tugasnya kepada Zuko dan pamit pergi, Runa pun membawa makanan yang sudah dia buat sejak tadi ke kamar itu.     

"Wah, aku bagaikan raja saja, sampai makan pun diantarkan ke sini, he he …." Zuko masih duduk di ranjang dengan bersandar di kepala ranjangnya.     

Runa tersenyum dan menaruh nampan berisi sarapan pagi dan segelas susu hangat, lalu berkata, "Bapak memang harus menjadi raja untuk beberapa waktu, oke?" Kemudian, dia pun duduk di samping Zuko, di pinggir ranjang.     

"He he, aku tentunya tak boleh menolak, kan?" Zuko menggaruk belakang kepalanya menggunakan tangan kirinya yang tidak terluka.     

"Aku sudah memotong-motong semua dagingnya dan ini akan memudahkan Bapak makan meski menggunakan tangan kiri." Runa menyodorkan mangkuk dengan beberapa potong daging di atasnya.     

Tapi, kemudian, Runa melihat Zuko mengerutkan keningnya. Segera, dia pun ingat. "Ohh, astaga! Aku lupa bahwa akan sangat sulit ketika menggunakan sumpit memakai tangan kiri. Ya ampun!"     

Zuko meringis kikuk ke Runa. Itulah yang membuat dia mengernyitkan kening. Bagaimana mungkin dia menggerakkan sumpit dengan menggunakan tangan kiri? Itu sungguh sulit! "E-ehe he hee …."     

"Kalau begitu, aku akan menyuapi Bapak, boleh?" Ini tidak bisa dihindarkan, bukan?     

"A-apakah itu akan merepotkan Nona?" Zuko tak enak hati.     

"Tentu tidak. Kali ini, aku bisa menyuapi Bapak, dan mungkin nanti aku akan mengambilkan sendok untuk Bapak. Mungkin lebih mudah memakai sendok di tangan kiri ketimbang sumpit." Runa mulai menjepit nasi dan sepotong kecil daging lalu disodorkan ke depan mulut Zuko.     

Zuko lekas saja membuka mulut dan melahap suapan dari Runa. "Hm! Ini enak!" ucapnya sambil mengunyah. "Nona sendiri yang memasaknya?"     

"Iya, saya yang memasaknya. Tapi, Pak, tolong jangan makan sambil berbicara, nanti Bapak bisa tersedak dan akan menyakitkan bagi luka di perut Bapak." Runa mengingatkan Zuko akan insiden kecil semalam mengenai tersedak susu.     

"Ahh, iya, he he …." Zuko meringis dan melanjutkan mengunyah dan menelan. "Ahh, ini benar-benar enak! Aku menyukainya! Rasanya aku tidak keberatan dimasakkan Nona setiap pagi!"     

Usai mengatakan itu, Zuko pun membeku ketika melihat Runa lebih dulu membeku. Dia salah ucap kah?     

Ketika Zuko merunut apa yang barusan dia ucapkan, dia pun terkesiap. Astaga! Dia berucap ITU! Ucapan yang bisa mengindikasikan lamaran!     

Dimasakkan Nona setiap pagi. Ya ampun, bukankah itu terdengar seperti dia sedang melamar Runa? Zuko lekas saja panik. "A-ano … etto … itu … itu … aku sungguh tak sengaja, aku … etto … lupakan ucapan sembarangan aku tadi, yah Nona!"     

Runa tertunduk sambil tersenyum simpul. Lalu, ketika dia mendongak lagi, dia berkata, "Nah, ayo kita lanjutkan makannya." Ia pun menjepit nasi dan daging kecap lagi seperti tadi dan memberikan suapan itu ke Zuko.     

Hati Zuko masih berlompat-lompatan panik namun di sisi lain hatinya, dia merasa gembira. Andaikan Runa benar bisa menjadi istrinya, alangkah itu akan menyenangkan, bukan?     

Zuko tak perduli meski Runa pernah dilecehkan, dia tak perduli Yoji pernah memperkosa Runa. Dia hanya mendambakan Runa saja. Hm, sepertinya dia sudah mulai jatuh cinta pada gadis ini.     

Namun, bagaimana dengan Runa? Apakah gadis itu merasakan apa yang dirasakan Zuko?     

Acara makan pagi pun selesai dengan Zuko menghabiskan semua yang dibuat oleh Runa. Bahkan susu hangatnya pun tandas tak bersisa. "Sungguh kenyang. Tapi … urghh …."     

"Kenapa, Pak? Apakah Bapak sakit lagi di perut?" Runa meletakkan nampan di nakas untuk menanyakan kondisi Zuko.     

"Etto … aku … aku ingin berkemih. Tapi … apakah aku bisa—"     

"Ayo, aku antarkan!" Runa lekas memotong dan ia bangkit kemudian merunduk ke Zuko untuk membantu Zuko bangkit dari kasur.     

Zuko mengalungkan satu lengan ke Runa sambil dia juga berjuang untuk bangun dari tempat tidur. Ini mengakibatkan dia harus memeluk Runa erat-erat agar tidak jatuh lagi ke tempat tidur.     

Melirik ke Runa, Zuko khawatir gadis itu enggan dipeluk begini. Tapi, rupanya Runa tidak keberatan akan pelukan itu, karena sejatinya itu memang tidak bisa terhindarkan.     

Kemudian, Runa mulai memapah Zuko masuk ke dalam kamar mandi. Dia tak lupa menaikkan semua tutup closet duduk agar bisa digunakan Zuko berkemih dengan nyaman. Biasanya lelaki memang begitu jika berkemih, kan? Runa pernah melihat Shingo berkemih dengan cara demikian.     

"A-aku akan menunggu di luar, jika Bapak sudah selesai berkemih, tolong beritahu aku." Runa pun menundukkan kepala karena malu dan bergegas keluar dari sana, tak lupa menutup pintunya.     

Zuko menatap Runa sampai gadis itu menghilang di balik pintu, lalu dia mendesah kecil dan mulai menurunkan sedikit celananya dan mulai berkemih.     

Saking asyiknya berkemih, Zuko tak sadar bahwa celana piyama dia sudah merosot hingga ke mata kaki. Begitu dia usai berkemih, dia pun panik, menatap celana piyama dia berkumpul di mata kakinya.     

Duh, bagaimana ini? Haruskah dia memanggil Runa untuk menaikkan celana itu? Jika dia memaksakan diri untuk merunduk mengambil celana itu dan menaikkannya, tentu akan membuat perutnya tertekuk dan mungkin saja berkontraksi, dan itu pasti akan menyakitkan.     

Bagaimana ini?     

Zuko pun mencoba merunduk, siapa tahu bisa meraih celana piyamanya. "Arghh!" Dia lekas merasakan sakit menyengat di bekas operasinya.     

Runa yang berdiri berjaga di depan pintu pun mendengar seruan Zuko. Ia segera mengetuk pintu. "Pak! Bapak kenapa? Apakah ada sesuatu yang buruk terjadi."     

"I-iya." Zuko asal saja bicara. Yah, kesulitan mengambil celana di mata kaki bagi dia yang masih terluka di perut begini bukankah itu hal buruk? Namun, dia segera menyesali jawabannya. Dan ketika hendak mengoreksinya, Runa sudah keburu membuka pintu kamar mandi.     

"Argh!" Runa yang kini ganti berteriak ketika melihat Zuko hanya bercelana dalam saja di bagian bawahnya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.