Inevitable Fate [Indonesia]

Nathan Ryuu Lupa Akan Janjinya?



Nathan Ryuu Lupa Akan Janjinya?

0Ketika Zuko sedang berkemih, dia secara tak sengaja membuat celana piyama dia melorot sampai ke mata kaki. Sedangkan ketika dia mencoba untuk meraihnya dengan cara membungkuk, luka di perutnya mendadak terasa menyengat.     
0

Zuko pun tanpa sadar berteriak kesakitan. Itu didengar Runa yang masih berdiri menunggu di depan pintu kamar mandi. Karena khawatir dengan kondisi Zuko yang baru saja mendapatkan musibah dikarenakan dirinya, Runa segera saja membuka pintu kamar mandi.     

Namun, alangkah terkejutnya dia ketika melihat Zuko hanya memakai celana dalam saja di bagian bawah. "Arghh!" Jika tadi Zuko yang menjerit, kini gantian Runa yang menjerit.     

"Ahh! Maaf! Maafkan aku, Nona!" Zuko lekas menuntupi benda menggunduk di selangkangannya dengan dua tapak tangannya sambil berpose canggung. "I-itu … melorot …."     

Runa segera saja mendapati onggokan celana piyama di mata kaki Zuko dan kini paham apa yang menjadikan masalah bagi si lelaki ini. Ia mengelus dadanya sebentar dan tersenyum sambil melangkah mendekat ke Zuko.     

Sebagai perempuan yang sudah berpengalaman dengan Shingo, tentu saja dia tidak asing melihat pantat ataupun gundukan di dalam celana dalam. Tadi dia hanya kaget saja.     

Namun, Zuko salah mengira bahwa Runa berteriak karena baru pertama ini melihat 'barang' milik lelaki meski masih di dalam sangkar kainnya.     

Zuko menjadi merah padam malu dan merasa tak enak hati. "Ini … ini … aku sungguh minta maaf padamu, Nona. Itu … itu jatuh begitu saja dan aku … aku susah membungkuk mengambil … maka dari itu aku tadi—"     

"Tak apa, Pak." Runa memotong segera sebelum celotehan gugup Zuko semakin panjang. Itu terdengar lucu bagi Runa, apalagi melihat wajah memerah lelaki itu, ia berpikir, apakah Zuko masih perjaka?     

Runa tersentak heran dengan pemikirannya sendiri. Zuko masih perjaka? Wah, sungguh langka! Lelaki di usia Zuko, hidup sudah mapan, memiliki rumah sendiri, wajahpun tak bisa dikatakan buruk, namun masih perjaka? Belum pernah menyentuh wanita?     

Wow! Runa takjub!     

Dengan segera, Runa berjongkok dan menaikkan celana piyama Zuko hingga terpakai dengan tepat di kaki lelaki itu. "Nah, sudah." Runa tersenyum, menahan gelinya. Lelaki ini sepertinya masih perjaka, astaga!     

"Ma-maaf, Nona!" Zuko masih saja merasa tak enak hati. Tentu bagi gadis semurni Runa, hal begini sesuatu yang berat untuk dilihat.     

"Tak apa, Pak! Sebagai perawat untuk Bapak, tentu saja aku harus … membiasakan hal-hal semacam ini, kan?" Runa menenangkan Zuko dengan kalimat penghiburan.     

Setelah urusan celana terselesaikan, Runa pun memapah Zuko kembali ke tempat tidur. "Apakah Bapak ingin makan sesuatu? Atau mungkin aku belikan delivery?"     

"Ahh, tidak. Aku sepertinya ingin begini saja." Zuko menggeleng sambil terkekeh canggung. "Tapi, sepertinya enak jika ada buah di sini."     

Ya ampun, lelaki ini. Tadi berkata tidak, tapi detik berikutnya ingin sesuatu.     

"Ohh, baiklah. Buah, yah? Buah apa yang Bapak inginkan?" tanya Runa.     

"Apa saja boleh, asalkan segar."     

"Baiklah. Tunggu sebentar, yah Pak. Mungkin aku harus membeli sebentar di supermarket terdekat."     

"Ehh, jangan! Jangan pergi!"     

"Hee?"     

"Ahh! Maksudku … sebaiknya Nona jangan pergi keluar, karena siapa tahu nanti bertemu pria jahat! Um, lebih baik memesan delivery saja, salad buah atau semacam itu, tak apa."     

"Sungguh?" Runa memiringkan kepalanya, tak yakin. Kenapa dia ingin keluar dari rumah ini saja langsung dilarang dengan alasan Zuko khawatir dia bertemu pria jahat?     

Manisnya lelaki satu ini jika khawatir! Runa terkekeh di hatinya.     

"Ya! Lebih baik delivery saja! Kemarikan ponselku, aku akan memesan dari sana." Zuko ingin itu dibayar oleh dia saja, tak perlu membuat repot Runa.     

Runa mengambilkan ponsel Zuko dan menyerahkan ke lelaki itu, lalu Zuko mulai mencari-cari toko yang menjual salad buah.     

"Nah, ini saja. Oh ya, apakah Nona juga ingin salad buah? Atau mungkin hal lain? Katakan saja mumpung aku membuka aplikasi ini." Zuko menawari Runa juga, tentu saja. Tak enak jika makan sendiri.     

"Salad buah seperti Bapak juga boleh!" Runa masih memiliki masakan di dapur, sehingga rasanya menikmati seporsi salad buah akan sangat melengkapi sarapannya nanti.     

"Baiklah!" Zuko pun menekan tombol pesan 2 porsi salad buah untuk dia dan Runa. "Aku memesan yang 500 gram."     

"Apakah itu tidak terlalu banyak, Pak?" tanya Runa dengan wajah keheranan.     

"Tak apa. Itu bisa masuk ke kulkas jika tak habis. Bisa dimakan lain waktu." Zuko terkekeh ringan.     

Runa pun mengangguk saja.     

.     

.     

Salad buah sudah datang dan mereka sama-sama menikmatinya meski ini sudah masuk ke musim dingin. Namun, karena itu memang menyegarkan di ruangan berpemanas ruangan di kamar Zuko, tak ada masalah makan salad buah dingin.     

Hanya, yang membuat Runa agak bingung, kenapa sampai sesore ini, tukang yang katanya hendak mempersiapkan kamar untuknya, belum juga datang?     

Apakah Nathan Ryuu lupa akan itu?     

Ketika petang hari tiba, ada telepon dari Reiko. "Ru-chan, bagaimana kalian di sana? Apakah Tuan Zuko baik-baik saja, apa kau baik-baik saja?"     

"Ahh, iya, Rei-chan. Pak Zuko baik-baik saja dan banyak berbaring di tempat tidur. Aku pun baik-baik saja, jangan khawatir." Runa menjawab. "Kau meneleponku di jam ini, apakah tidak apa-apa dengan jadwalmu?"     

Setahu Runa, Reiko pernah berkata bahwa dia memiliki jadwal penuh dari pagi hingga jam 9 malam di G&G.     

"Ohh, kalau petang begini, kami makan malam dan ada sedikit waktu santai sebelum mulai latihan lagi." Reiko menjawab di seberang sana.     

"Ahh, rupanya begitu." Runa ingin sekali bertanya kenapa Nathan Ryuu belum juga mengirim orang yang dijanjikan, tapi … dia tak enak hati. Jika dia bertanya mengenai itu, jangan-jangan dia akan dikira memerintah atau menuntut sesuatu ke Nathan Ryuu.     

Memangnya, siapa dia hingga berani memerintah ke Nathan Ryuu?     

Akhirnya, hingga obrolan di telepon itu selesai dan Reiko menutup sambungan mereka, Runa masih tak berani bertanya mengenai kamar untuk dirinya.     

Kalau begini, bukankah artinya dia harus tidur lagi di kasur bersama dengan Zuko? Apakah itu baik?     

Tapi, untuk menagih janji ke Nathan Ryuu, memangnya dia punya nyali?     

Maka, malam ini pun, dengan sangat terpaksa, Runa kembali tidur satu kasur dengan Zuko di sampingnya dan dibatasi oleh guling di tengahnya.     

-0-0—00—0-0-     

Hingga hari ketiga berlalu dan Nathan Ryuu tidak juga mendatangkan tukang untuk membereskan kamar baginya.     

Runa pun secara iseng masuk ke kamar di sebelah kamar utama. Zuko masih tidur siang itu.     

Kamar itu tidak sebesar kamar utama yang ditempati Zuko, dan di sana hanya ada barang-barang seperti lemari kosong dan beberapa kardus yang sepertinya bekas dipakai Zuko untuk memindahkan barang-barangnya.     

Runa sudah mencari di lemari milik Zuko, tak ada futon (kasur tradisional Jepang). Andaikan tersedia futon, dia akan membereskan kamar itu sendiri dan menggelar futon untuk tidur dirinya.     

Benarkah Nathan Ryuu lupa akan janjinya?     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.