Inevitable Fate [Indonesia]

Ditinggal Berduaan Saja



Ditinggal Berduaan Saja

0Kini hanya ada Zuko dan Runa saja di ruangan Itachi karena pemilik ruangan sedang dipanggil ke ruangan bos besar bersama Akeno.     
0

Situasi berlangsung tenang, sunyi namun canggung antara keduanya di ruangan tersebut. Zuko melirik ke Runa dan Runa bersusah payah tetap fokus pada pekerjaan di depan matanya.     

"E-ehem!" Zuko berdehem agar mencairkan suasana hening kaku mereka. "Etto … um, sepertinya sudah cukup lama sejak terakhir kita bertemu, yah, Nona Runa?"     

Runa mengangkat kepalanya dengan cepat dan mengangguk sembari menjawab, "I-iya, Pak Zuko."     

"Um, bagaimana bekerja di sini? Pastinya kau jenuh luar biasa satu ruangan dengan atasan seperti Itachi, ya kan?" Zuko mencari-cari bahan obrolan.     

"Tidak begitu, Pak." Runa menimpali dengan sikap sopan meski duduk di belakang mejanya yang agak jauh dari tempat Zuko duduk. "Pak Itachi orang yang tegas, memang, namun Beliau sangat berdedikasi pada pekerjaannya dan itu sangat memotivasi diriku untuk bekerja dengan baik juga seperti Beliau."     

Zuko mendengus, "Huft, kalau aku, pasti aku sudah kejang-kejang karena bosan bekerja dengannya. Nona Runa, kau terlalu baik mengatakan hal seperti tadi mengenai dia. Kau harus tahu, dia itu pria kejam dan tidak berperasaan! Lebih baik kau tidak terlalu menjadikan dia role model atau kau akan sekejam dia nantinya."     

Runa terkikik lirih sambil tundukkan kepalanya. Dia pernah mendengar dari Akeno bahwa Zuko dan Itachi ini seperti cats and dogs relationship. Namun lebih ke frenemies alias teman tapi musuh, musuh tapi teman.     

Makanya, Runa merasa geli sendiri jika memikirkan hubungan dua pria ini yang menurutnya unik. Dia entah bagaimana, justru teringat mengenai hubungan sado-maso. Zuko pihak masokis dan Itachi sadistis. Zuko sudah mengenal bahwa Itachi kejam tapi masih juga sering menempel ke Itachi.     

Ohh, astaga! Pikiran macam apa ini! Runa lekas saja mengenyahkan pemikiran gila barusan sebelum semakin jauh memfantasikan hubungan Itachi dan Zuko. Ohh, tidak!     

"A-ahh! Aku sampai terlupa!" Runa lekas berdiri dari kursinya dan berkata, "Pak Zuko, ingin minum apa?" Ia teringat bahwa seharusnya dia menyediakan minuman ataupun cemilan pada Zuko karena lelaki itu bisa dianggap sebagai tamu, kan?     

"E-ehh? Tak usah repot-repot, Nona Runa! Tak perlu itu! Aku di sini hanya ingin melepas bosan saja sambil yah … mencari teman mengobrol." Zuko mengisyaratkan pada Runa untuk duduk lagi.     

Runa patuh dan kembali ke kursinya. "Tapi, jika Pak Zuko menginginkan sesuatu misalkan minuman hangat atau apa, tolong beritahu saya."     

"Ya, ya, tenang saja. Nanti aku akan beritahu Nona. Oh ya, apakah aku mengganggu jika kita mengobrol begini?" Zuko mempertimbangkan ini karena Runa tadi sedang bekerja.     

"Ahh, tidak masalah, Pak! Ini bukan tugas berat, jadi tak mengapa jika dikerjakan sambil mengobrol." Meskipun itu adalah tugas berat sekalipun, mana mungkin Runa mengatakan yang sesungguhnya. Tamu tetaplah tamu, apalagi Zuko sudah beberapa kali berbuat baik dan menyelamatkan dia. Rasanya pantas menghargai kehadiran Zuko saat ini, meski dia harus memecah konsentrasinya pada dua hal: pekerjaan dan obrolan dengan lelaki itu.     

"O-ohh ya, Nona Runa, apakah kau tahu ada menbakaichidai di dekat kantor yang sangat enak dan sedang hits belakangan hari ini?" tanya Zuko agar pembicaraan mereka tidak terhenti. Dia rasanya ingin sekali terus dan terus mengajak bicara Runa, apalagi mereka sudah tidak bertemu cukup lama.     

Maka dari itu, dia sampai membawa-bawa soal makanan untuk bahan obrolan setelah mengenai pekerjaan. Zuko menyebut mengenai menbakaichidai atau biasa disebut fire ramen, sebuah hidangan ramen yang disisipi pertunjukan lidah api sejenak di dalam mangkoknya ketika dihidangkan.     

"Ehh? Iyakah? Saya kurang mengerti mengenai tren semacam itu, Pak." Runa mengatakan hal jujur. Beberapa minggu ini, dia hanya langsung pulang usai bekerja.     

"Ya! Memang ada! Aku sudah pernah mencobanya. Itu sungguh tidak kalah dengan menbakaichidai di Kyoto. Nona harus mencobanya." Zuko bersemangat ketika mempromosikan singkat mengenai fire ramen tadi.     

"Iya, Pak. Nanti akan saya sambangi kedainya kalau ada waktu."     

"Ehh? Memangnya Nona Runa bekerja sampai larut malam kah? Aku akan lapor ke bos kalau Itachi sudah memperbudakmu hingga larut malam!" Zuko berapi-api.     

Runa panik dan menggoyangkan dua tangan di depan wajahnya sambil berkata, "Ti-tidak begitu! Bukan seperti itu yang aku maksud!" Ia tak ingin ada salah paham antara 2 pria itu lagi. "Saya … saya terbiasa langsung pulang begitu selesai jam kantor."     

"He? Benarkah?" Zuko cukup kaget juga mengenai ini. Karena, biasanya pegawai di Jepang akan mampir ke kedai untuk makan dan minum-minum santai dengan rekan sejawat atau ke tempat hiburan dulu sebelum pulang ke rumah.     

Ini sudah menjadi kebiasaan dari sebagian pekerja di Jepang. Daripada pulang lebih dulu dan keluar lagi untuk hiburan, itu sungguh tidak efisien dan membuang ongkos transportasi lebih banyak nantinya.     

Maka dari itu, sudah wajar apabila pekerja di Jepang akan mampir dulu ke kedai untuk minum-minum atau tempat semacam itu sebelum pulang dan mandi malam sebelum tidur.     

Jika pulang kerja langsung ke rumah, itu terdengar menyedihkan menurut Zuko. Apalagi Runa masih sangat muda, rasanya menyia-nyiakan masa muda saja apabila langsung pulang ke rumah.     

"Ya, Pak. Saya … saya biasanya memang begitu, he he …." Runa mengangguk sambil terkekeh ringan, cukup malu, karena terkesan hidupnya sungguh membosankan.     

"Wah, bagaimana apabila nanti kita ke kedainya?"     

"Ehh?"     

"Ya! Nanti sepulang kerja, Nona aku ajak makan di kedai menbaka, oke!"     

"Etto …." Runa bimbang.     

"Ayolah, Nona. Sesekali tidak langsung pulang, tak apa, kan?" bujuk Zuko.     

Melihat ketulusan di mata pria itu, Runa pun mengangguk menyetujuinya. Yah, dia percaya bahwa Zuko tidak akan berbuat macam-macam terhadapnya karena itu sudah terbukti di pertemuan sebelumnya.     

Jika lelaki itu memang tipe mesum, tentunya sudah sejak lama Runa dilecehkan olehnya ketika Zuko memiliki banyak kesempatan untuk melakukan itu di rumahnya bersama Runa.     

Maka dari itu, rasanya hanya dengan Zuko saja Runa tidak merasa was-was. Ini mirip seperti yang ia rasakan dengan Yuza. Dari Yuza, Runa tidak menemukan getaran mesum ketika mereka berada di satu kamar saat Runa menginap darurat di tempat Yuza.     

Ya, Zuko sama seperti Yuza.     

.     

.     

"Nah, bagaimana menurutmu menbaka ini, Nona? Apa kau pernah mencicipi menbaka di tempat lainnya?" Zuko sudah menyelesaikan fire ramen dia.     

Runa masih menyesap suapan terakhir fire ramen dia dan menutup sebentar mulutnya untuk mengunyah sebelum menjawab, "Saya pernah mencoba di dekat Marunouchi, namun sepertinya yang ini memang lebih enak." Ia mengangguk.     

"Nona belum coba yang aslinya di Kyoto?" tanya Zuko. Runa menggeleng lugu. "Kapan-kapan, aku akan ajak Nona ke sana, yah! Ke Kyoto!"     

Runa melongo.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.