Inevitable Fate [Indonesia]

Jangan Pergi, Kumohon Jangan Pergi



Jangan Pergi, Kumohon Jangan Pergi

0eotteoke naega hal su itkenni .. please don't leave me baby (bagaimana bisa aku berkata aku akan melupakanmu .. tolong jangan tinggalkan aku, sayank)     
0

- A Fool's Only Tears by Big Bang -     

==========     

Rurika baru saja kembali menari selama belasan menit ketika ada seseorang masuk ke ruang itu.     

Ronin.     

Ia tak mengira lelaki itu akan mendatanginya di ruang latihan begini ketika dia sedang berlatih sendiri saja. Segera, Rurika menghentikan latihannya dan mengecilkan suara musik.     

"Untuk apa ke sini? Apa kau ingin kita disangka yang tidak-tidak di sini?" tanya Rurika dengan napas tersengal dan peluh masih membanjiri tubuhnya.     

"Aku ingin tahu satu hal darimu, Lulu." Ronin berdiri diam di dekat Rurika, tak berani melangkah terlalu dekat. Memang akan sangat beresiko apabila nanti ada orang lain masuk ke ruangan ini dan berprasangka tidak-tidak jika dia terlalu dekat.     

"Apa?" tanya Rurika sambil menyeka keringat menggunakan handuk kecil yang baru dia ambil dari tasnya.     

"Kau mencintai aku, kan Lulu?" tanya Ronin dengan wajah penuh harap. Dia sebenarnya tak begitu yakin Rurika bersedia menjawab ini, tapi dia tetap saja bebal dan ingin bertanya langsung pada yang bersangkutan daripada pikirannya terus saja didera penasaran.     

Rurika terdiam beberapa saat sebelum dia menghela napas dan berkata, "Tidak. Aku tidak mencintaimu. Nah, kau sudah mendapatkan jawabannya, sekarang pergi dan jangan ganggu aku berlatih."     

"Lulu, kau bohong. Kau berdusta padaku dan pada dirimu sendiri." Ronin belum ingin ini berakhir, makanya dia belum ingin beranjak dari tempat itu.     

Rurika yang baru saja memunggungi Ronin, bersiap melanjutkan latihannya lagi, mau tak mau menoleh ke Ronin dengan pandangan kesal. "Mulai sekarang, jangan lagi panggil aku dengan nama itu. Nama yang sungguh kekanakan. Dan, aku beritahu padamu, aku sudah tak perduli padamu lagi, oke? Aku hanya ingin perduli pada karir idolku, kau mengerti?"     

"Lulu …."     

"Pergi! Aku benar-benar ingin kau pergi!" Rurika kini menaikkan suaranya, menghardik Ronin sambil satu tangan teracung ke pintu, mengusir pria itu secara terang-terangan dan tegas.     

"Tapi, Nyonya Revka mengatakan padaku bahwa kau mencintaiku, Lulu!" Ronin belum ingin menyerah dan melemparkan kalimat tersebut dengan harapan Rurika mau mengakui dengan lebih jujur.     

"Huh! Dia berkata begitu padamu?" Wajah Rurika mendadak saja menyeringai mengejek Ronin. "Kau sudah kena tipuan dia, kasihan sekali."     

"Lu—"     

"Kalau kau tak mau pergi, baiklah aku yang pergi saja. Kau benar-benar mengganggu!" Rurika hendak meraih tasnya.     

"Baiklah, baiklah!" Ronin mengalah. "Aku akan pergi. Baiklah, lanjutkan latihanmu, maafkan aku yang sudah mengganggu ini." Lalu, lelaki itu pun balik badan dan pergi keluar dari ruangan itu.     

Melihat Ronin pergi, mata Rurika mulai panas dan tak berapa lama, ada yang meleleh turun ke pipinya dengan bunyi isakan lirih darinya.     

"Maafkan aku, Ron. Maafkan aku." Rurika susah payah membisikkan itu sambil luruh ke lantai untuk kemudian dia menangis.     

Dia tidak ingin seperti ini. Dia ingin berteriak pada Ronin agar lelaki itu kembali agar dia bisa merengkuhnya dalam pelukan agar hatinya tenang.     

Dia memang telah mengakui seluruh perasaannya kepada Ronin di depan Nyonya Revka saat di rumah sakit dan Nyonya Revka sama sekali tidak menghalangi dia jika memang dia ingin bersama Ronin.     

Hanya, Nyonya Revka memberikan gambaran akan seperti apa dia sibuknya nanti ketika dia sudah menjadi idol dan kesibukan itu hanya akan menjadi sesuatu yang menyakitkan bagi Ronin di kemudian hari ketika mereka akan susah bertemu dan bertegur sapa.     

Rurika akan berkutat dengan banyak jadwal padat dan akan membuat Ronin menunggu dan menunggu dirinya yang entah kapan memiliki waktu luang untuk bermesra dengannya.     

Penantian semacam itu tentunya akan menyakitkan bagi Ronin, Rurika tak mau itu terjadi. Maka, meski dia kini mencintai lelaki itu sebesar dia mencintai dirinya, namun dia tidak bisa secara egois meminta Ronin menunggu dirinya.     

Dia tidak ingin terlalu banyak mengecewakan Ronin setelah apa yang terjadi sebelum ini. Dia harus membebaskan Ronin meski hatinya pasti akan sakit luar biasa.     

Sungguh sebuah ironi kejam bagi Rurika, ketika dia sudah mencintai seseorang dengan benar dan tulus, namun saat itu juga dia harus melepaskan orang itu demi tidak menyakiti orang tersebut.     

Padahal, betapa dia ingin bisa bermanja lagi pada Ronin seperti dulu, dimana dia bisa dengan mudah mendapatkan perlakuan manis dari lelaki itu.     

Namun, itu harus dihapuskan dari daftar angan-angannya. Mungkin dia akan mampu mencintai dengan lebih baik lagi ketika dia memutuskan selesai sebagai idol saja.     

Dia sudah berdarah-darah selama bertahun-tahun demi mencapai impiannya menjadi idol. Dia tak bisa seenaknya saja membuang apa yang telah dia gapai dengan susah-payah.     

Tapi ….     

Ya ampun, astaga! Betapa Rurika ingin memanggil lelaki itu, betapa dia ingin menjerit 'Ron, kemarilah dan peluk aku! Jangan tinggalkan aku!' saat lelaki itu melangkah keluar ke pintu.     

Mungkin, jika tadi Ronin memaksa memeluk Rurika, mungkin saja pertahanan gadis itu runtuh dan dia akan nekat menjalani keegoisan ini dengan Ronin.     

Sayang sekali, Ronin berbalik dan pergi. Ini pun membuat hatinya runtuh, namun dia terus menyerukan di batinnya bahwa ini memang yang terbaik untuk dia dan juga untuk Ronin. Untuk mereka.     

Hanya … kenapa rasanya sesakit ini? Kenapa senelangsa ini melihat punggung orang yang dicintai berjalan menjauh?     

Rurika terus terisak sambil terduduk di lantai, dengan wajah ditenggelamkan ke dua tapak tangannya.     

"Ruri! Ruri! Kau kenapa?" Tiba-tiba, Reiko sudah ada di dekatnya.     

Kepala Rurika terangkat melihat Reiko dengan wajah cemasnya. Ia pun berucap sambil menangis dengan air mata terus meleleh turun, "Rei, apakah patah hati memang sesakit ini?"     

"Hah?" Reiko tak menyangka akan diberikan pertanyaan semacam itu oleh Rurika. Mengetahui bahwa gadis itu menangis akibat patah hati, dia pun lekas memeluk kepala Rurika dan gadis itu menangis lebih lepas di pelukannya.     

.     

.     

"Ini." Reiko menyodorkan secangkir cokelat hangat ke Rurika sambil mereka duduk bersebelahan di ruang makan yang sepi, hanya mereka berdua saja. Ia juga menyerahkan sekantong kecil plastik berisi es batu.     

Rurika sudah lebih tenang dan tidak lagi menangis meski matanya terlihat masih sembab. Dia menerima cokelat hangat itu dan juga kantong berisi es batu untuk mengompres matanya agar tidak terlalu bengkak.     

Gadis itu menyeruput sedikit demi sedikit cokelat hangat buatan Reiko sambil satu tangannya menaruh kantong es ke area matanya. "Ini enak."     

"Benarkah? Syukurlah kalau kau menyukainya." Reiko tersenyum.     

"Kau pintar memasak dan membuat sesuatu, yah Rei. Aku iri padamu." Rurika mendadak saja mengatakan hal semacam itu. Sungguh jarang dalam hidupnya dia mengakui orang lain apalagi memuji.     

Tapi, kini karena dia sudah mulai dekat dengan Reiko dan mempercayai Reiko sebagai temannya, ia mulai berinteraksi dengan baik pada Reiko.     

"Aku bisa mengajarkannya padamu kalau kau mau. Oh iya, aku masih punya janji membuatkan macaron untukmu, ya kan? He he, nanti aku akan beli bahannya dulu, yah! Atau mungkin akan lebih praktis jika aku membuatnya di rumah lalu kubawa ke sini." Reiko menimbang-nimbang hendak membuatnya di dorm atau rumah.     

"Rei, apakah kita sebagai idol tak boleh merasakan cinta?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.