Inevitable Fate [Indonesia]

Pergulatan Hati Rurika



Pergulatan Hati Rurika

0Rurika malah sedikit membuka kisah nelangsa dia semasa kecilnya pada Reiko ketika mereka sedang berdua saja di ruang makan.     
0

Reiko tidak mengira akan ada anak yang mengalami penolakan oleh orang tuanya sendiri. Ia pun menyentuh bahu Rurika, berkata, "Kalau memang mereka sudah terlalu lelah karena bekerja, yah biarlah, tak perlu memaksa. Kau bisa bermain dengan yang lain. Kau bisa bermain dengan kami!"     

Kepala Rurika terangkat sambil menatap Reiko. "Kenapa kau bisa begitu positif? Dunia ini kejam, apa kau tak tahu?"     

"Ya, benar. Dunia ini sangat kejam, dan aku mempersiapkan hatiku untuk itu. Kalau satu orang memalingkan pandangan darimu, maka kita hanya perlu mencari orang lain yang akan menatap padamu." Reiko tersenyum. "Yang penting, kita lakukan yang terbaik dan berteman dengan orang-orang yang tepat, yang tidak akan membuat kita kecewa. Yah, aku sendiri memang kadang menemukan teman yang salah, tapi … aku jadikan itu sebuah pelajaran hidup saja. Selama orang itu tidak membahayakan hidupku, maka aku tak perlu menjauhi orang itu."     

Reiko berkaca pada hubungan dia dengan Erina sebelum ini. Saat dia tahu Erina bersikap tak baik padanya, Reiko masih mencoba sabar dan terus berteman dengannya. Namun, ketika ternyata langkah Erina semakin jauh dan membahayakan dia, dari itulah Reiko memilih untuk menjauh dari Erina dan gerombolannya, tidak ingin mencari masalah.     

Begitu pula antara dia dan Bu Sayuki. Ketika awal dia merasa Bu Sayuki terus saja menjahati dia dengan tingkah ketus dan marah-marah, Reiko masih bersabar. Namun, ketika Bu Sayuki sudah menusuk dadanya, itulah alarm bagi Reiko untuk menjauh dari wanita itu.     

Begitu pula dengan Tomoda. Selama mereka tidak sampai membahayakan dirinya, Reiko tidak keberatan tetap berteman dengan mereka.     

"Aku … rasanya aku tidak bisa sepertimu, Reiko." Rurika menggeleng, pandangan matanya sudah mulai melunak, tidak sesangsi tadi.     

"Tidak perlu mencontoh diriku. Cukup jadilah pribadi yang kau kehendaki, yang bisa menjalin hubungan baik dengan sekitarmu." Reiko menepuk-nepuk punggung tangan Rurika di pangkuan.     

Rurika terdiam, ingin menyanggah lagi, tapi sanggahan apalagi?     

"Apakah kau bisa berlatih dan melanjutkan jadwal hari ini?" tanya Reiko sambil mulai bangun dari kursinya dan mengambil mangkuk kosong dan gelas kosong pula di depan Rurika.     

"Um." Rurika mengangguk. Dia sudah pulih. Setidaknya sudah jauh lebih baik ketimbang tadi. Dia akui, tekanan Nyonya Revka memang mengguncang jiwanya.     

Reiko mencuci mangkuk dan gelas di bak cuci piring. Rurika mendekat dan mengamati tingkah Reiko.     

"Apakah mencuci piring itu susah?" tanya Rurika.     

"Ehh? Ohh, tidak. Kita bahkan bisa bermain air dan sabun, ha ha ha!" Reiko menyerahkan gelas ke Rurika. "Kau mau coba?"     

Tak lama kemudian, Rurika sudah memainkan gelas di tangannya yang berlumuran sabun cuci plus sponsnya juga.     

Setelah mereka selesai mencuci bersama, Reiko mengajak Rurika kembali ke ruang latihan. Ternyata, sesi latihan dance sudah usai.     

"Mereka sudah masuk ke ruang latih vocal. Ayo!" Reiko menarik pelan tangan Rurika dan mengajak ke arah ruang yang dimaksud.     

Di ruang latihan vocal, sudah duduk dengan tenang ketiga member Synthesa lainnya.     

"Ayo, duduk sini, Ruri!" Aoi melambaikan tangan ke Rurika saat tangan satunya menepuk kursi di sebelahnya yang memang kosong.     

Reiko menunjuk ke kursi kosong di samping Aoi. "Duduklah di sana, aku akan duduk di sebelah Yuka."     

Tidak memiliki pilihan lain, Rurika pun menghenyakkan pantatnya di kursi sebelah Aoi. Padahal, kalau dia bisa memilih, dia ingin duduk di sebelah Yuka saja ketimbang Aoi yang berlidah tajam.     

"Kau sudah sehat? Tadi kau pucat, loh!" Aoi yang cerewet dan lugas itu mengatakan apa yang ada di pikirannya. "Apa kau sekarang baik-baik saja?"     

Mau tak mau, mendengar celotehan Aoi, Rurika pun mengangguk. Ia agak heran dengan sikap Aoi padanya. Gadis itu tidak nyinyir padanya? Atau mungkin bisa saja Aoi senang ketika dia kesusahan? Tapi … kenapa justru Aoi terlihat khawatir?     

"Nah, karena sekarang kau sudah sehat lagi, ayo berlatih vocal, atau kau akan aku ungguli, loh! He he …." Aoi masih saja berkelakar.     

"Aoi, apa kau masih ingin mengobrol?" tanya pelatih vocal di depannya.     

"A-ahh! Maafkan aku, Sensei!" Aoi membungkuk sambil duduk dan tersenyum lebar ketika pelatihnya hanya memutar bola mata dan kembali melanjutkan pelatihannya.     

.     

.     

Di malam harinya, ketika Rurika sudah kembali ke rumahnya, dia mengurung diri di kamar. Dia benar-benar tak habis pikir dengan ucapan-ucapan dari Reiko.     

Bagaimana bisa ada orang seperti Reiko? Bukankah itu terlalu mengada-ada? Bukankah itu terlalu tidak nyata?     

Tapi … dia sudah merasakan sendiri kebaikan Reiko. Padahal, seharusnya Reiko tak usah melakukan itu. Dia sudah beberapa kali jahat pada Reiko dan bahkan melakukan banyak cara untuk menggeser Reiko dari berbagai aspek untuk debut mereka.     

Kemudian, dia lagi-lagi mengingat masa kecilnya. Itu sungguh masa kecil yang sangat pahit dan mengenaskan untuk jiwa lugu Rurika kecil.     

Ia bahkan mendapatkan efek samping berkepanjangan dari pelecehan yang dilakukan salah satu pelayan pria di rumahnya. Dia menjadi orang yang terus merasa haus perhatian dan haus pengakuan.     

Tidak heran jika dia mendapatkan tatapan sinis dan sikap bermusuhan dari banyak teman-teman di sekolahnya dulu ketika di SMP dan SMA. Mereka memang tidak berani melakukan perundungan padanya. Mereka tidak berani mem-bully dia karena mereka tahu siapa orang tuanya.     

Oleh karena itu, teman-teman sekolahnya dulu hanya bisa memandang sengit saja padanya. Orang yang berani mendekati dia pun hanya segelintir saja karena dia dirumorkan sebagai gadis kejam.     

Rasanya dia memang tak mungkin bisa bangkit dari kubangan penyakit mental yang dia derita ini, rasanya akan sangat sulit. Dia tak yakin dia bisa meredam hasrat dia untuk menjadi pusat perhatian.     

Dia bahkan ingin semua lelaki takluk padanya!     

Entah sudah berapa banyak lelaki milik orang lain yang sudah dia rebut hanya untuk sekedar pembuktian pada dirinya saja bahwa dia menarik dan mempesona melebihi siapapun.     

Oleh karenanya, dia berhasrat ingin menjadi idol. Dia pernah menjajal audisi di Korea dan hanya bisa bertahan selama beberapa bulan saja ketika menjadi trainee di Korea.     

Sebagai orang yang tidak suka dikekang, mana bisa dia kuat menjalani jadwal super ketat dari agensi Korea?     

Karenanya, dia kembali ke Jepang dan berharap saja dengan agensi Jepang. Pandangannya tertuju pada G&G karena merasa belakangan agensi itu yang paling cemerlang dan elit.     

Dengan penyakit mental seperti itu, bisakah dia sembuh? Atau … dia harus mulai menghubungi seorang psikiater?     

Rurika mengalami dilema di hatinya. Dia ingin tetap menjadi dirinya seperti biasa karena sudah nyaman akan itu, namun … ucapan-ucapan Reiko terus bergema di batinnya. Ditambah, ancaman dari Nyonya Revka yang tak boleh dia abaikan.     

Bagaimana ini?     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.