Inevitable Fate [Indonesia]

Kisah Mengenai Rurika



Kisah Mengenai Rurika

0Sepeninggal Tami, Reiko duduk menyebelahi Rurika. "Apakah kau ingin yang lainnya? Misalkan susu cokelat hangat atau sejenis itu. Aku bisa membuatkanmu itu."     
0

Rurika menatap Reiko dengan pandangan tegas dan bertanya, "Kenapa kau baik padaku?"     

"Hee?" tanya Reiko dengan wajah bingungnya. Dia tak menyangka akan mendapatkan pertanyaan semacam itu dari Rurika.     

"Kenapa kau baik padaku?" Rurika mengulangi pertanyaannya. "Padahal aku tidak pernah baik padamu. Aku bahkan berulang kali jahat padamu, aku bahkan berusaha menyingkirkanmu agar nilaiku bisa paling atas."     

Wajar jika Rurika bertanya semacam itu pada Reiko, karena dia tidak pernah diajarkan sama sekali mengenai konsep berbuat baik secara tulus seperti yang Reiko lakukan. Dia tidak pernah mengenal apa itu kebaikan tanpa pamrih.     

Bagi Rurika yang hidup di tengah kerasnya perlombaan untuk bertahan menjadi yang paling atas, kebaikan hanya diselimuti dengan kepentingan tertentu. Kalau tidak menguntungkan, untuk apa berbuat baik pada yang lain?     

Dia diajarkan untuk mengambil keuntungan sebanyak mungkin dari pihak lain dan membalas dengan lebih buruk pada siapapun yang berani melakukan hal buruk padanya.     

Maka dari itu, melihat cara Reiko meladeni dia dengan tulus seperti itu, dia tak paham. Bahkan, di hatinya terselip sedikit kecurigaan apakah Reiko memiliki motif tertentu untuk mengambil keuntungan darinya?     

Reiko tersenyum menahan geli setelah dia terdiam sesaat, dan berkata pada Rurika yang masih menatap lekat padanya. "Apakah berbuat baik pada orang lain adalah sebuah kesalahan?"     

"Di duniaku, itu iya. Berbuat baik harus mendapatkan keuntungan, kalau tidak, untuk apa?" Rurika menatap lurus ke Reiko.     

"Yah, mungkin seperti itu di duniamu, Rurika. Keluargamu dari kalangan pebisnis, kan? Yah, aku paham dengan prinsip keluargamu. Tapi menurutku, berbuat baik hanyalah sebuah perbuatan yang aku lakukan dengan biasa saja, bahkan aku tak tahu apakah yang aku perbuat tergolong baik atau tidak. Aku hanya ingin membuat nyaman orang di sekitarku, membantu mereka semampuku, dan melakukan yang terbaik yang aku sanggup untuk teman-temanku." Reiko menjelaskan dengan suara pelan dan tidak tergesa-gesa.     

"Tapi, bukankah teman bisa menusuk dan berkhianat?"     

"Ya, memang. Teman memang bisa melakukan hal buruk pada kita. Namun, yang terpenting adalah diri kita saja. Maksudku, jika mereka ingin berbuat jahat, ya sudah itu pilihan mereka, asalkan kita tidak perlu mengikuti langkah mereka."     

"Jadi, kau tidak ingin membalas siapapun yang berbuat jahat padamu?"     

"Hm … sepertinya aku jarang begitu. Bukannya aku sok atau apa, Rurika, namun, jika hidup ini hanya berisi pembalasan dan pembalasan saja, bukankah itu melelahkan?"     

"Kau tidak pernah dijahati begitu mendalam oleh siapapun?" Mata Rurika memicing tak percaya. "Kau tidak merasakan sakit ketika dijahati?"     

Ingatan Reiko melayang ke beberapa insiden. Dengan pemilik konbini, dengan Tomoda, dengan Bu Sayuki, dengan Erika dan gengnya, dengan beberapa orang di Magnifico dulunya, dengan peleceh tak dikenal. Ia tersenyum mengingat mereka semua.     

"Aku memang merasa kecewa dan sakit ketika mereka melakukan itu padaku, tapi … aku berusaha memaafkan mereka. Dan aku memilih untuk menghindari mereka saja jika memang mereka tidak ingin menjadi temanku. Selama mereka masih bisa aku gapai, maka aku gapai. Namun, jika mereka tidak ingin, aku tidak memaksa."     

"Kau sungguh tidak nyata." Rurika memandang remeh ke Reiko, masih tak yakin dengan jawaban Reiko. Mana ada di dunia ini orang yang diam saja ketika disakiti dan tidak ingin membalas?     

"Keinginan membalas mereka itu memang tentu ada, tapi itu hanya sekilas saja terbersit dan kemudian, setelah aku bisa tenang, aku hanya cukup melanjutkan hidupku dan tidak perlu memaksakan diriku untuk menawarkan pertemanan dengan mereka." Reiko mengingat-ingat dan sepertinya dia hanya sekali saja menginginkan sebuah pembalasan, yaitu kepada Luis karena pria itu sudah terlalu jahat.     

Yah, selama ini Reiko tidak pernah mengetahui pembalasan yang dilakukan suaminya. Dia hanya mengira sang suami hanya mengirim mereka ke penjara saja dan biarkan hukum yang memberikan pembalasan sesuai dengan peraturan yang ada.     

"Sungguh, aku tidak bisa membayangkan aku melakukan seperti yang kau lakukan." Rurika menggelengkan kepala, masih dengan tatapan sangsi.     

"Aku justru yakin kau akan bisa melakukannya asalkan kau memiliki niat. Terutama, ketika dirimu berniat untuk menjalin pertemanan dengan orang sekitarmu."     

"Aku tidak ingin dikhianati."     

"Apakah kau yakin kau tidak pernah mengkhianati siapapun?"     

Rurika tercengang dengan pertanyaan Reiko. Dia … berkhianat. Benarkah dia tidak pernah berkhianat? Kepada siapapun?     

"Rurika, kalau kau tidak ingin dikhianati, maka mulailah dengan tidak melakukan itu terlebih dahulu. Sama halnya dengan jika kau tak mau disakiti, maka usahakan untuk tidak menyakiti terlebih dahulu. Kalaupun kau dikecewakan saat kau sudah berbuat baik, maka anggap saja kau sudah melakukan yang terbaik dan biarkan alam yang akan membalas kekecewaanmu. Tetaplah lanjutkan langkahmu dan carilah teman sebanyak mungkin."     

Rurika terdiam mendengar ucapan panjang dari Reiko. Ada yang berdenyut-denyut di batinnya, seakan itu adalah suara hati dia. "Aku sudah terbiasa dikecewakan sejak kecil."     

"Hm?" Reiko tak yakin dengan yang dia dengar, tapi sepertinya Rurika mengatakan sesuatu yang penting. "Di … kecewakan sejak kecil?"     

Rurika menundukkan kepalanya dan berkata sambil dia meremas jemari di pangkuannya. "Aku sering dikecewakan orang tuaku. Saat aku sudah menjadi anak manis di rumah, dan berharap mereka akan menemani aku ketika mereka kembali ke rumah, mereka justru menyuruh aku bermain lagi dengan para pelayan dan mereka beralasan mereka lelah. Itu … itu sangat sering terjadi."     

Gadis itu mengingat kembali masa kecilnya yang dirasa pahit dan hambar. Yang dia ucapkan memang nyata terjadi di hidupnya. Dia memang berkelimpahan harta dan fasilitas kelas atas, namun sebenarnya yang dia inginkan adalah pelukan sayang dari ibu dan pujian dari ayah ketika dia berbuat manis.     

Tapi, yang kerap dia terima hanyalah ucapan, "Ibu sedang lelah, Rurika. Main dulu dengan pelayanmu." Atau … "Ayah baru saja dari luar negeri, Rurika, apa kau tidak lihat? Sana pergi ke kamarmu atau undang saja teman-temanmu ke sini."     

Oleh karena itu, kedua orang tua Rurika bahkan tidak mengetahui ketika putri kecil mereka dilecehkan salah satu pelayan pria di rumah mereka selama bertahun-tahun, hingga pria itu meninggal karena sakit jantung dan Rurika pun tumbuh menjadi gadis yang memiliki kelainan hasrat.     

Rurika menjadi orang yang haus pujian, haus pengakuan, dan haus belaian dari orang sekitarnya. Jika dia tidak mendapatkan itu dari orang tuanya, maka dia akan mencari sendiri, bagaimana pun caranya.     

Tak heran jika dia berambisi agar semua pria tertarik padanya saja dan dia juga sangat puas ketika kekasih teman sekolahnya berhasil dia rebut secara diam-diam.     

Itu pula sebabnya Rurika tidak mengijinkan Luis untuk membantu gadis lain saat ada dia. Ia ingin menjadi pusat perhatian di segala tempat. Ia ingin diakui keberadaannya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.