Inevitable Fate [Indonesia]

Membawa Kabur Mangsamu



Membawa Kabur Mangsamu

0Mengabaikan hal lainnya, Reiko pun membawa Yuka ke ruangan dimana di sana ada sofa panjang tempat mereka biasanya duduk bersantai melihat panorama kota sambil mengobrol.     
0

"Yuka, aku lihat sepertinya kemampuan dance kamu sudah sangat meningkat, loh!" Reiko memulai pembicaraannya.     

"Benarkah?" tanya Yuka dengan wajah kurang yakin.     

Reiko menganggukkan kepalanya. "Ya, kau sudah jauh lebih baik dari sebelumnya. Oleh karena itu, rasanya … um, menurutku, aku sudah tidak perlu lagi setiap hari berlatih dance di malam hari seperti yang kau biasa lakukan."     

Sebenarnya, Reiko memaksudkan agar Yuka tidak perlu menghadapi hantu atau apapun itu yang menjadi sumber ketakutan di ruangan itu. Ia memberikan dorongan semangat mengatakan skill dance Yuka sudah berkembang lebih baik dari sebelumnya, dan itu memang benar!     

Maka dari itu, agar Yuka tidak perlu terlalu keras pada dirinya sendiri, Reiko mengatakan seperti tadi.     

"Ta-tapi … aku belum tahu hasil evaluasi minggu ini." Yuka termenung, menatap ke lautan beton berbagai bentuk di luar sana.     

"Aku yakin hasilnya akan lebih baik dari hasil sebelumnya, percayalah. Kau sudah bekerja sangat keras beberapa minggu ini, dan tidak perlu menyiksa dirimu dengan terus berlatih setiap malam, oke?" Reiko menyentuh lengan Yuka.     

Merasakan kelembutan sikap Reiko padanya, Yuka teringat akan sosok kakak perempuannya yang sudah meninggal. Tanpa bisa dicegah, ia pun mulai menangis.     

"E-ehh!" Reiko panik ketika Yuka menangis. "Apakah aku salah bicara?" tanya Reiko sambil berusaha menghapus air mata Yuka yang terus mengalir ke pipi. "Aku minta maaf kalau ada kata-kataku yang salah, aku tidak bermaksud—"     

"Tidak ada yang salah! Kau tidak salah! Terima kasih, Reiko. Aku justru berterima kasih padamu karena kau begitu baik padaku yang seperti ini. Hiks! Huu huuuu …." Yuka makin keras menangis. Ini makin membuat Reiko kebingungan.     

Merasa ada yang tidak beres, Reiko pun bertanya sambil menatap wajah Yuka lekat-lekat. "Yuka, apakah kau mengalami kesulitan?" Dia teringat waktu dimana Yuka pernah membentak dia. Intuisi Reiko berkata Yuka melakukan itu karena stress.     

"Aku … aku …." Yuka menatap Reiko sambil wajahnya berlumuran air mata.     

"Ya?" Reiko menunggu penuh antisipasi.     

"Aku …." Terjangan dilema itu makin kuat di hati Yuka. Seakan di batinnya sedang terjadi tarik menarik. Bicara atau bungkam selamanya dan menerima saja yang terjadi.     

"Yuka, katakan ada apa. Aku akan berusaha menolongmu." Reiko secara asal saja menjanjikan itu. Namun, jika dia teringat akan suaminya yang penuh akan kuasa, dia yakin sang suami akan bisa membantunya jika dia hendak menolong Yuka.     

"Aku … tolong bawa aku ke rumahmu, hu huuuu …." Yuka menenggelamkan wajahnya pada pelukan Reiko. "Tolong bawa aku ke rumahmu, Reiko. Bawa aku malam ini, hu huhuuu …."     

Reiko pun bengong seketika mendengar itu. Hal demikian kah yang diharapkan Yuka darinya? Kini, ganti Reiko yang diterjang dilema.     

.     

.     

"Silahkan masuk, Yuka. Jangan sungkan, yah! Ini … ini rumah …." Reiko sudah membawa masuk Yuka ke penthouse.     

"Halo!" Tiba-tiba saja, Nathan Ryuu muncul dari balik tembok ruang tamu penthouse.     

Yuka terkejut melihat munculnya seorang lelaki begitu saja. Reiko langsung menepuk gemas lengan suaminya. "Maaf, Yuka. Suamiku memang terkadang bertingkah kekanakan begini." Ia sambil melotot ke suaminya yang terkekeh.     

"Su-suami?" Yuka terkejut mendengar pernyataan dari Reiko.     

"Hai, kenalkan, aku suami perempuan cantik menawan ini, Nathan Ryuu." Onodera muda itu mengulurkan tangannya ke Yuka dengan senyum ramah memenuhi wajahnya.     

Meski bingung dan gugup, Yuka masih juga menjabat tangan Nathan Ryuu sebagai kesopanan yang pantas. "Yu-Yuka."     

"Namamu Yuyuka?" tanya Nathan Ryuu.     

"Yuka, Ryuu. Yuka!" Reiko mencubit pinggang suaminya. "Dia teman grupku."     

"Ohh, Yuka. Halo. Senang berkenalan denganmu. Apakah Rei di sana nakal?" Nathan Ryuu malah tersenyum jahil.     

"Ryuu!" Reiko cemberut.     

"Ha ha ha, iya, iya, baiklah, maafkan aku, Yuka." Nathan Ryuu pun melepaskan jabat tangan mereka.     

Reiko mengajak Yuka ke kamar tamu dan mempersilahkan Yuka mandi terlebih dahulu. Yuka patuh dan masuk ke kamar mandi tamu penthouse tersebut.     

Setelah Yuka masuk ke kamar mandi, Reiko duduk di tepi kasur kamar itu, menghela napas. Dia tidak menyangka akan membuat keputusan semacam ini setelah melihat wajah putus asa Yuka tadi di dorm ketika meminta ikut ke rumah dia.     

Batin Reiko menduga ada yang tidak beres, sampai Yuka yang pemalu bisa memberikan permintaan semacam itu. Dikarenakan karena adanya kejanggalan yang Reiko rasakan, makanya dia nekat membawa Yuka ke penthouse setelah dia pamit pada Tami dan Aoi hendak membawa Yuka ke rumahnya.     

Saat itu, Aoi ingin ikut juga, namun Reiko menggeleng sambil memberikan kode melalui mata pada Aoi bahwa ini bukan hendak bermain-main atau tur rumah. Untung saja Aoi patuh dan tidak memaksa ikut.     

Reiko menatap ke arah kamar mandi, bertanya-tanya di hatinya, kira-kira masalah seperti apa yang membuat Yuka sebegitu putus asanya. Apakah begitu berat?     

Tak lama kemudian, dia melihat Yuka sudah selesai mandi.     

"Reiko, kau tidak mandi?" tanya Yuka, sudah mengenakan piyama panjang.     

"Nanti dulu." Reiko menepuk ke tempat di sebelahnya, memberi isyarat pada Yuka agar gadis itu duduk di tempat yang dia tepuk.     

Yuka paham dia sudah tidak bisa lagi menghindar dan ia pun duduk. Tadi di dalam kamar mandi, dia sudah memutuskan akan mengatakan semuanya pada Reiko. Dia sudah tidak tahan dan ingin lepas dari cengkeraman Luis.     

"Aku yakin ada yang ingin kau ceritakan padaku, ya kan Yuka?" Reiko mengelus pipi Yuka dan mengambil alih handuk di tangan Yuka untuk menggosok pelan ke rambut Yuka yang masih agak basah.     

Rasanya pertahanan Yuka langsung runtuh begitu Reiko melakukan itu. Hal demikian kerap dilakukan mendiang kakak perempuannya dulu. Ia pun menangis dan mulai bercerita.     

"APA?!" Reiko sampai bangun dari duduknya ketika mendengar Yuka mengalami pelecehan seksual berat dari Luis.     

"To-tolong, Reiko, jangan sampai ini bocor! Aku mohon! Aku hanya … aku hanya ingin kau saja yang mengetahui ini, hiks!" Yuka memohon dengan wajah berlumur air mata.     

"Tapi dia sudah begitu jahat padamu, Yuka! Dia merugikanmu begitu banyak! Lelaki sialan itu!" Reiko geram bukan main. "Yuka, apakah kau percaya padaku?"     

Yuka mengangguk. "Kalau aku tidak percaya padamu, mana mungkin aku mau bercerita hal buruk begini padamu, Reiko?"     

"Maukah kau besok melaporkan ini pada Maida-san? Atau mungkin pemilik G&G sekalian!"     

"Tidak! Jangan! Itu terlalu beresiko! Terlalu memalukan! Aku tidak mau! Aku tidak mau ini menjadi besar! Tidak mau!" Yuka panik sambil kepalanya sibuk menggeleng.     

"Tapi …." Reiko merasa putus asa. Jika korban saja tidak mau speak up, bagaimana pelaku bisa diadili dengan pantas?     

"Aku hanya ingin bercerita padamu. Aku berharap, setelah bercerita begini, beban pikiranku bisa lebih ringan, Reiko, hiks! Aku mohon, jangan sampai publik tahu, hiks! Aku tidak ingin keluargaku tahu, ibuku jangan sampai tahu. Kasihan ibuku, hiks!"     

"Hghh … ya sudah, aku tidak akan buka ini ke siapapun. Tapi, bolehkah aku menceritakan ini ke suamiku?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.