Inevitable Fate [Indonesia]

Yuka Berani Membentak



Yuka Berani Membentak

0Beberapa hari ini, Yuka lebih murung dan pendiam dari biasanya. Hari biasa saja dia sudah sedemikian pendiam, apalagi saat ini.     
0

"Yuka, kau tidak ambil makanan?" tanya Reiko ketika melihat Yuka hanya berdiam diri di kasurnya saja dan tidak ikut pergi keluar kamar untuk makan pagi."     

Yuka menggeleng. "Tidak lapar." Itu saja yang dia ucapkan sebagai jawaban.     

Reiko menghampiri kasur Yuka dan duduk di tepinya. "Yuka, di agensi ini tidak memberlakukan diet ketat pada kita. Dan juga, kita tidak diwajibkan kurus kering seperti idol di negara lain. Jadi, jangan melewatkan makan, yah! Yuk, kita makan! Tentu kau lapar karena kita baru saja berlatih fitness, iya kan?"     

Tidak merespon apapun, Yuka menggeleng meski tangan Reiko sudah terulur padanya.     

"Yuka, nanti kau sakit. Kau harus—"     

"Tinggalkan aku sendiri!" bentak Yuka, mengejutkan Reiko.     

Tami yang sedang berada di luar kamar pun terkejut dan segera masuk ke kamar, menjumpai Reiko yang sedang melongo dan Yuka yang tertunduk seolah sedang marah. "Ada apa ini?"     

"A-ahh, tidak ada apa-apa. Aku hanya mengajak Yuka makan pagi saja." Reiko memaksakan senyumnya keluar meski dia masih syok karena kaget mengetahui Yuka juga bisa bersikap keras seperti itu.     

"Yuka, kau tidak mau makan?" Tami menatap lekat ke Yuka.     

"Sudah! Kalian kalau ingin makan, yah sana makan saja, tak usah repot-repot mengajakku!" seru Yuka tanpa mengangkat kepalanya dari lutut yang ditekuk ke atas.     

"Yuka!" Tami memandang tidak percaya akan apa yang dia dengar. "Yuka, kenapa kau harus berteriak seperti itu?" Meski terkejut akan respon dari Yuka, namun Tami tidak memberikan suara keras atau tajam. Dia terus menggunakan suara lembut dia.     

"Hei, ada apa sih ini?" Aoi pun masuk. "Kalian lama sekali di sini, aku sampai pegal menunggu." Lalu perhatiannya tertuju pada Yuka. "Kenapa dia? Kok begitu?"     

"Jangan ganggu aku! Tinggalkan aku!" teriak Yuka lalu dia makin tenggelamkan wajahnya di atas lutut.     

Mendengar bentakan dari Yuka, tentu saja Aoi berang. Ia langsung berkacak pinggang dan menghardik Yuka, "Kau pikir kau siapa di sini? Kau hanyalah sesama trainee seperti kami, kau hanya member seperti kami, maka jangan sok berperilaku ala tuan putri Rurika! Huh! Pada tuan putri seperti dia saja aku tidak gentar, kok!"     

Sebagai anggota Synthesa paling lugas dan frontal mengemukakan pendapat, Aoi memang paling 'cabe rawit' lidahnya meski tubuhnya paling mungil.     

"Aoi, jangan begitu!" Reiko menyentuh lengan Aoi sambil menggelengkan kepalanya.     

"Dia sendiri yang cari penyakit, membentak kita, memangnya dia tuan putri dari mana sampai berani melakukan itu? Kita di sini sejajar, sama nasib sama visi misi, jadi aku tak ingin ada yang merasa spesial di sini, mengerti?" Aoi seakan sedang meluapkan apa yang sudah berkubang di pikirannya sejak lama.     

"Aoi, berhenti bicara jika kau hanya marah-marah saja, sana tenangkan dulu dirimu. Pergilah ke ruang makan lebih dulu." Tami sebagai leader merasa ini adalah tanggung jawab dia untuk melerai siapapun yang bertengkar.     

"Huh!" Aoi pun berbalik dan pergi ke ruang makan.     

"Rei?" Tami menatap ke Reiko.     

"Kau dulu saja, aku akan menyusul." Reiko menyahut.     

"Hm, baiklah, tapi aku harap kalian tidak perlu bertengkar lagi, oke! Kita di sini adalah satu kesatuan, kita sudah menjadi satu, yaitu Synthesa, jangan terpecah hanya gara-gara hal sepele seperti salah paham, mengerti?" Tami menasehati dengan suara lembutnya.     

"Oke, tenang saja." Reiko mengacungkan dua jari yang membentuk bulatan O sebagai gesture 'oke'.     

Tami pun pergi menyusul Aoi ke ruang makan, meninggalkan Reiko dan Yuka.     

Sepeninggal 2 lainnya, Reiko mulai bicara ke Yuka yang sedang terisak. "Aku tidak tahu masalah apa yang sedang mendera kamu saat ini, Yuka. Tapi, seperti kata Tami tadi, kita di sini sudah menjadi sebuah kesatuan, sudah bagaikan satu tubuh. Kalau satu bagian tubuh terasa sakit, nantinya pasti akan merembet ke bagian tubuh yang lain."     

"Hiks! Aku minta maaf. Aku minta maaf karena membentak kalian. Hiks!" Yuka mulai surut meski masih menyembunyikan wajahnya di lutut.     

Tangan Reiko menjangkau kepala Yuka dan mengelusnya. "Kamu, juga Tami dan Aoi, tinggal bersama di sini. Kalau kamu memiliki kesulitan, jangan ragu untuk mengatakannya pada mereka, atau padaku juga boleh. Mungkin kami tidak mampu memberikan solusi terbaik untuk masalahmu, namun, dengan kau membicarakannya pada orang yang kau percayai, beban itu akan terangkat sedikit. Memang tidak seluruhnya, namun sedikit terangkat dari hatimu pun sudah akan membuat kau lebih baik, aku yakin itu."     

"Aku … hiks … aku …." Yuka bingung. Dia masih teringat ucapan Luis semalam. Kalimat brengsek itu masih saja terngiang-ngiang di otaknya. Bahwa Luis juga menginginkan para gadis lainnya di dorm ini untuk menjadi budak seksnya demi memuaskan hasrat lelaki bajingan itu.     

Bayangan kawan-kawannya akan dijadikan pelampiasan napsu seperti halnya dia, betapa itu membuat takut Yuka. Dia ingin memberi peringatan pada mereka untuk selalu waspada pada Luis, namun bagaimana caranya.     

Inilah yang membuat Yuka terus berpikir hingga kehilangan selera makan sedari pagi buta, dan malah dia melampiaskan kebingungannya ke Reiko dalam sebuah bentakan dan marah. Padahal harusnya dia menyemburkan amarah itu ke Luis, tapi malah ke Reiko.     

Hal demikian lah yang membuat Yuka jadi merasa bersalah. Ia tidak seharusnya melampiaskan kekalutan dia pada Reiko. Padahal Reiko hanya bermaksud baik mengajak dia makan pagi agar dia tidak sakit.     

"Sudah, sudah, kalau kau belum bisa mengatakannya sekarang, tidak apa-apa." Reiko pun menjangkau Yuka dan memeluknya. Gadis itu makin terisak menangis di bahu Reiko. "Kalau kau nanti sudah siap, ketahuilah bahwa aku ada untuk kamu, oke! Aku pasti akan membantumu dengan sekuat tenaga semampuku."     

"Hiks! Terima kasih, Reiko. Hiks! Maafkan aku! Maafkan aku!" Yuka masih memeluk erat Reiko sambil terus terisak.     

"Iya, aku tahu kau tadi hanya tersulut emosi dikarenakan masih memiliki sesuatu yang membebani hatimu, aku paham itu, kok!" Reiko mengelus dan menepuk-nepuk lembut punggung Yuka.     

Akhirnya, Yuka pun bersedia diajak makan pagi oleh Reiko dan keduanya mendatangi ruang makan, disambut Tami dan Aoi yang tersenyum pada Yuka, bagai tidak ada apapun yang terjadi sebelumnya.     

Malam harinya, Yuka pergi ke ruang dance dan dia tahu Luis pasti sudah menunggu di dalam gudang untuknya. Menelan saliva, ia hanya bisa meneguhkan hatinya untuk menerima takdir kejam ini.     

.     

.     

Reiko masih bertahan di dorm meski waktu sudah menunjukkan ke angka 9 malam, tapi dia masih ingin mengobrol sebentar dengan yang lain di kamar dorm.     

Namun, ketika dia melihat ke jam bahwa ini sudah hampir jam setengah 10, dia pun segera pamit ke yang lain. "Paipai, sampai ketemu besok! Muah muah!" Seperti biasa, dia pamit begitu pada Tami dan Aoi yang ada di kamar.     

Dia melangkah ke lift dan melewati ruang dance, berpikir, 'Yuka sangat bekerja keras selama ini, aku ingin menengoknya dulu sebelum pulang.'     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.