Inevitable Fate [Indonesia]

Lari!



Lari!

0Reiko malam itu hendak pulang ke penthouse seperti biasanya meski dia agak lambat dari waktu biasanya. Tapi dia yakin, suaminya yang sangat pengertian dan lembut itu tidak akan marah jika dia terlambat beberapa belas menit saja tiba di rumah.     
0

Maka dari itu, Reiko pun mulai berjalan gontai ke arah lift, dia melewati ruang dance, berpikir, 'Yuka sangat bekerja keras selama ini, aku ingin menengoknya dulu sebelum pulang.'     

Dikarenakan niat baiknya itu karena Reiko mulai merasakan adanya kedekatan antara dia dan Yuka sebelum ini, ia pun ingin menyapa Yuka dulu dan memberinya kalimat penyemangat layaknya sahabat.     

Pintu ruangan latihan dance dibuka oleh Reiko, namun anehnya, di sana hanya ada musik terdengar dari pengeras suara ruangan itu tanpa ada keberadaan Yuka di ruangan tersebut.     

Ini tentu saja membuat Reiko sedikit heran dan mulai mengernyitkan dahinya. "Yuka?" Dia memanggil nama gadis lugu dan pendiam itu.     

Tidak ada jawaban apapun.     

"Yuka? Apa kau masih di sini?" Usai bertanya demikian, Reiko langsung tersadar bahwa pertanyaannya sungguh konyol. Bagaimana jika Yuka ternyata keluar ruangan sebentar untuk ke kamar mandi atau apa?     

Tapi, entah kenapa, intuisi Reiko meminta dia untuk terus memanggil Yuka. Maka, itulah yang dilakukan Reiko. "Yuka? Yuka? Apa kau masih di sini?" Ia bahkan mulai masuk ke ruangan tersebut lebih dalam.     

Masih tiada jawaban dari sosok yang diharapkan. Reiko pun putus asa dan menganggap, mungkin memang benar Yuka sedang pergi ke kamar mandi di luar dan belum selesai berlatih dance. Mungkin sebentar lagi Yuka akan masuk ke ruangan dan meneruskan latihannya.     

Kaki Reiko pun mulai bergerak memutar balik kanan, melangkah pergi mencapai pintu.     

Cklaakk!     

Reiko terkejut mendengar suara di belakang dia dan lekas menoleh, ternyata itu dari gagang pintu yang dibuka tergesa-gesa. Yang lebih membuat dia terkejut, ternyata pelakunya adalah Yuka itu sendiri.     

"Reiko! Reiko! Tunggu! Tunggu aku!" Yuka berteriak padanya.     

"Yuka!" Reiko menyambut Yuka yang setengah berlari ke arahnya. "Kau dari gudang?"     

"I-iya." Yuka terlihat kacau rambutnya dan wajahnya beraut aneh.     

"Untuk apa kau ke gudang?" tanya Reiko dengan kening berkerut heran.     

"Ta-tadi ada tikus di ruang ini dan aku … aku hendak mencari sapu di gudang untuk mengusirnya." Yuka agak terbata-bata menjelaskan alasannya.     

"Tikus? Itu buruk sekali! Ayo kita ambil sapu dan cari tikus itu bersama-sama, yah!" Reiko bersiap melangkahkan kaki ke arah gudang untuk mengambil sapu.     

"Ja-jangan!" Tangan Yuka lekas memegangi lengan Reiko. "Jangan … ti-tidak usah! Tidak usah! Aku mohon!" Ia sambil menggeleng dengan wajah mulai memucat.     

Ini menimbulkan kecurigaan pada benak Reiko.     

Namun, belum sempat Reiko memberikan kalimat selanjutnya, Yuka sudah mendahului dengan ucapan, "A-ayo, ayo kita keluar saja, oke!"     

Dengan tubuh gemetar dan wajah pucat panik, Yuka mematikan music player di ruangan itu dan menarik tangan Reiko lalu mematikan lampunya.     

Di luar ruangan, Reiko masih heran luar biasa akan tingkah aneh Yuka. Yang dia ketahui, Yuka adalah orang yang sering terlihat tidak perduli apapun dan pandai menyembunyikan perasaannya, sehingga dia seakan gadis tanpa ekspresi.     

Tapi, kenapa kali ini sikap Yuka seperti … ketakutan berlebihan?     

Ohh, jangan-jangan, Yuka bertemu hantu di gudang tadi makanya tubuh gadis itu gemetar dan wajahnya pucat dengan sikap panik menyertai pula.     

Baiklah, Reiko tidak ingin memaksa Yuka untuk menanyakan mengenai pengalaman seram apapun yang dialami Yuka jika memang itu masih menimbulkan rasa trauma tersendiri.     

Yah, pengalaman bertemu dengan hantu, mana mungkin itu tidak menimbulkan trauma tersendiri, kan? Reiko masih berasumsi demikian.     

Maka, sebagai orang yang mulai dekat dengan Yuka, Reiko pun membawa Yuka ke dekat tempat minum umum di sana, menyodorkan segelas air mineral. "Minum dulu, Yuka."     

"Te-terima kasih, Reiko." Yuka menerima cangkir plastik tadi dan mulai meneguk air di dalamnya sambil matanya terlihat melirik ke arah belokan tempat ruang latihan berada.     

Reiko memergoki lirikan mata itu dan bertanya-tanya, seberapa menakutkannya hantu di sana yang ditemui oleh Yuka sampai gadis itu sepertinya sangat ketakutan. "Yuka, kau mau kuantarkan ke dalam kamarmu?"     

"Umh!" Yuka mengangguk dan ia memang diantarkan Reiko ke kamar dorm. "Reiko, terima kasih."     

"Iya, sama-sama." Reiko tersenyum. Namun, pergelangan tangannya lekas ditangkap Yuka, menghentikan langkahnya dengan segera saat dia hendak berbalik pergi. "Ada apa, Yuka?"     

"Aku … itu … tolong dengarkan aku." Yuka terlihat ragu dan masih bingung. Apalagi gadis itu berbisik lirih ke Reiko.     

"Bicaralah, Yuka." Reiko tersenyum sambil menepuk lembut tangan Yuka yang masih ada di pergelangan tangannya.     

"Itu … tolong jangan menoleh lagi ke tempat latihan dance kalau kau pulang nanti, yah!"     

"Hm? Ohh, un, baiklah."     

"Pokoknya, kau mendengar suara atau bunyi apapun dari ruang itu, tolong jangan menegok atau bahkan masuk ke sana lagi malam ini."     

"Hanya malam ini?"     

"Y-ya, umh, tapi … kau boleh memasukinya kalau bersama-sama member lain, tidak apa-apa, jangan masuk sendirian di sana."     

Reiko merasa trauma Yuka akan 'hantu' tadi sepertinya sangat besar sampai gadis itu begitu serius memberikan peringatan padanya seperti itu. "Hn, yah, baiklah, aku tidak akan berada di sana sendirian saja kalau begitu."     

Setelah Reiko mengucapkan itu, Yuka terlihat lega. "Jaga darimu, Reiko." Ia melepaskan genggaman tangannya pada pergelangan tangan Reiko.     

"Oke, kau lekaslah mandi air hangat dan cepat tidur, oke?" Reiko pun memberikan nasehat pada Yuka sebelum pergi. Yuka mengangguk.     

Sementara itu, Tami dan Aoi masih sibuk sendiri-sendiri dengan ponsel mereka. Aoi mendengarkan musik dengan headset, sedangkan Tami sedang bertelepon dengan keluarganya di sudut kamar.     

Reiko pun pergi dari dorm dan hanya melirik saja ke arah ruang dance yang sudah gelap, tanpa menyadari bahwa ada sepasang mata mengawasi dia di dalam kegelapan itu.     

Mata itu terlihat lapar ketika melihat ke Reiko. Itu memang mata Luis. Dia masih bertahan di dalam ruangan gelap itu dan menunggu hingga Reiko lewat untuk pulang.     

Tadi, dia sempat terkejut ketika sedang 'mengerjai' Yuka, dia mendengar suara Reiko yang terus memanggil Yuka di ruangan dance. Tangannya lekas membekap mulut Yuka agar tidak bersuara.     

Ia sempat berbisik pada Yuka, "Wah, sepertinya jika kita bermain bertiga dengannya, akan sangat seru dan mengasyikkan, betul? Kau pasti setuju, kan manisku?"     

Mendengar desis kalimat menjijikkan dari Luis itu, Yuka membelalakkan mata dan menggeleng. Tidak, dia tidak ingin Reiko juga dimangsa oleh Luis bajingan ini! Dia tidak rela bila Reiko yang begitu baik padanya, akan menjadi mangsa Luis selanjutnya.     

"Bagaimana jika kau memancing dia kemari, manisku?" bisik Luis sambil terkekeh.     

Mendengar rencana busuk tersebut, Yuka tak tahan lagi dan bergegas melepaskan diri dari Luis sambil membenahi pakaiannya meski tak sempat merapikan rambutnya.     

Melihat kucing kecilnya melarikan diri, Luis hanya terkekeh dan menunggu kesempatan untuk keluar ruangan.     

-0-0—00—0-0-     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.