Inevitable Fate [Indonesia]

Kau Tak Boleh Menyesali Ini



Kau Tak Boleh Menyesali Ini

0Hold me down and make me scream (Tahan aku dan buat aku berteriak)     
0

Turn me on and take me out (Rangsang aku dan bawa aku keluar)     

Make me beg for more (Buat aku memohon lebih banyak)     

- Flesh by Simon Curtis -     

=========     

Akeno berbaring tenang di atas kasur dengan Itachi berada di belakangnya, memeluk dirinya. Mereka sudah melakukannya hampir semalaman penuh, dan ini sudah jam 3 pagi ketika mereka berhenti karena lelah.     

"Kau tak boleh menyesali ini, Akeno," bisik Itachi di belakang telinga Akeno.     

"Tsk, bukankah aku sudah berkata padamu tentang itu? Memangnya kenapa kalau aku menyesal, sih?" Akeno melirik sedikit ke belakang meski tidak bisa menemukan wajah Itachi yang menempel di tengkuknya.     

"Akan aku buat kau menangis jika menyesalinya," bisik Itachi.     

"Kau ini sungguh pria pengancam, Itachi-san! Menyebalkan!"     

"Benarkah aku menyebalkan? Tapi … bukankah kau sangat menyukaiku?"     

Akeno kali ini benar-benar berniat menoleh ke belakang melihat tampang Itachi yang menatap tajam ke arahnya. "Kau begitu percaya diri, Itachi-san!"     

"Tentu saja! Mana mungkin wanita yang kerap menatapku diam-diam di kantor, lalu … memiliki fotoku di meja nakas, dan menjadikan fotoku sebagai wallpaper ponselnya … dia tidak menyukaiku, hm?"     

Ucapan Itachi membuat Akeno terperanjat. Kalau mengenai foto di meja nakas mungkin memang berhasil dipergoki lelaki itu, namun … memandang diam-diam di kantor dan wallpaper pada ponsel? Bagaimana bisa lelaki itu mengetahuinya?     

"Kenapa? Apa kau terkejut atas penemuan orang bodoh ini, hn?" Itachi menatap meledek dan meremas payudara Akeno dari belakang.     

"Arnhhh! Tsk, Itachi-san …."     

"Kau masih ingin memanggil dengan cara itu?"     

"Heh?" Akeno termenung.     

"Kau tidak sadar beberapa hari ini aku tidak lagi menggunakan sufiks untuk memanggilmu? Kau pikir kenapa aku hanya memanggilmu Akeno saja akhir-akhir ini, hm?" Itachi sambil memilin pucuk payudara Akeno.     

"Ermmhhh … itu … itu …." Akeno berusaha memintal ulang ingatan dia. Dan kemudian, matanya pun membelalak. Ya, Itachi benar. Lelaki itu ternyata memang tidak lagi menggunakan sufiks –san seperti sebelumnya ketika memanggil dia beberapa hari ini. Bahkan sepertinya sebelum perjalanan bisnis mereka.     

Astaga! Kenapa Akeno sampai tidak sadar mengenai ini!     

"I-Itachi-s … mmhh, Itachi, kau … kau … sejak kapan kau tahu aku … aku …."     

"Jika aku yang bodoh ini saja bisa mengetahuinya, maka bayangkan manusia cerdas lainnya."     

Mau tak mau, Akeno berbalik memutar tubuhnya menghadap Itachi dalam rebah mereka. "Tak usah menyindirku lagi, Itachi. Baiklah, aku mengakui, kau pintar, kau cerdas, kau tidak bodoh. Nah, kapan kau tahu aku mengamatimu diam-diam di kantor?"     

"Hm … mungkin sekitar sebulan lalu." Itachi menatap tak berkedip ke wajah cantik Akeno di depannya.     

"Sebulan lalu—" Rasanya Akeno ingin mencakar-cakar wajah tampan Itachi begitu lelaki itu mengakui demikian. Sebulan lalu dan lelaki itu masih juga bersikap dingin dan kaku padanya! Padahal dia sudah menangis darah berulang kali karena merasa nyaris putus asa!     

Lelaki ini! Harus diapakan dia?!     

"Hmph! Oke, lalu … bagaimana dengan wallpaper ponselku? Kenapa kau bisa mengetahui itu? Kapan?" Akeno penasaran akan yang satu ini. Tentunya ponsel dia selalu berada di dekat dia, tidak pernah satu kalipun dia meninggalkan ponsel itu di dekat Itachi atau siapapun.     

"Ketika kau sedang demam dan aku terpaksa mengompresmu." Itachi menjawab lugas. "Ponselmu mendadak menyala di meja nakas di kamar itu ketika ada pesan masuk entah dari siapa dan aku melihat sekilas wallpapermu."     

"Itu … bukankah itu kemarin-kemarin saja waktu kita di Sapporo?" Akeno memicingkan mata.     

"Betul. Saat kau sedang menyusahkan aku."     

"Tsk! Aku tidak minta kau mengompresku, kok!" sahut Akeno sambil menjulurkan lidah.     

"Sudah merepotkan diri merawatmu pun aku masih dibilang dingin dan tidak berperasaan, kan? Apalagi jika aku membiarkan kau begitu saja? Sebutan macam apa yang akan aku terima, hm?" Telunjuk Itachi mendorong-dorong ujung hidung Akeno di depannya.     

"Oh ya, bagaimana ceritanya hingga aku menemukan handuk kompres berada di selangkanganku? Itachi, kau ternyata mesum!" tuding Akeno dengan kerlingan jenaka.     

Mendesah sejenak, kemudian Itachi pun mulai menceritakan kejadian malam itu. Akeno tertawa geli usai mendengarnya.     

"Hi hi hi! Ternyata si hebat dan cerdas Itachi bisa teledor juga dalam membaca artikel, yah!"     

"Hei, aku sedang panik gara-gara kau, tidak bisakah kau memakluminya?"     

"Tidak mau!" Akeno pun memutar badan memunggungi Itachi.     

"Ohh, tidak mau, yah?" Tangan Itachi merayap ke selangkangan Akeno dan mengusap-usap di sana.     

"A-aanghhh … Itachi! Kau cu-curang … hhmmhhh …." Desah napas Akeno mulai muncul berbarengan dengan elusan jari Itachi makin agresif di area lembap itu.     

Hingga kemudian, satu kaki teratas Akeno pun di angkat dan ditaruh pada pinggul Itachi sementara pusaka jantan lelaki itu sudah ditenggelamkan ke dalam liang hangat dari arah belakang.     

Mana mungkin Akeno menolaknya?!     

Sekali lagi, keduanya menghabiskan beberapa puluh menit berikutnya untuk menggapai puncak asmara. Tidak tergesa-gesa, tidak memburu seperti yang sebelumnya, seolah kali ini mereka benar-benar ingin menikmatinya secara syahdu.     

-0-0—00—0-0-     

"Unghh! Lihat! Itu temanku!" Reiko menunjuk ke layar televisi ketika acara survival show Yuza sedang ditayangkan.     

"Temanmu?" tanya Tami.     

Malam ini, Reiko masih berkumpul dengan rekan grupnya di ruang santai dan menonton televisi usai mereka makan malam bersama. Hanya Rurika saja yang tidak ada di sana.     

"Ya." Reiko mengangguk. "Itu teman baikku, dulu kami pernah sama-sama berjualan street food di Kamakura. Dia juga sempat beberapa bulan berlatih di Adora."     

"Wah, jebolan Adora, yah! Pantas saja bisa lolos audisi di Korea sana." Aoi menyahut. "Temanmu tampan sekali, Reiko-san! Kapan-kapan kenalkan aku dengannya, yah!"     

Reiko mengangguk. "Umh! Tentu! Nanti kalau dia sudah pulang ke Jepang, dan aku bertemu dengannya, aku akan kenalkan dia pada kalian!"     

"Hei, ngomong-ngomong … mana tuan putri Rurika?" Aoi bertanya sambil melihat berkeliling. "Bukankah tadi dia masih ada di meja makan bersama kita? Kenapa sekarang sudah menghilang? Dia siluman atau apa, sih? Cepat sekali menghilangnya, hi hi hi!"     

"Sstt, Aoi-san, tak boleh begitu!" tegur Tami meski dengan wajah jenaka.     

"Mungkin dia sudah pulang. Biarkan saja." Reiko menengahi. "Aku juga harus pulang sebentar lagi. Su—emh, keluargaku sudah menunggu."     

"Reiko-san … sesekali menginaplah di sini …," rengek Aoi. "Ini sepertinya sudah keseratus sekian aku memintamu begini."     

"Hi hi, maaf, maaf, aku akan pertimbangkan dulu mengenai itu, yah!" Reiko terkikik geli. "Waahh … Yuza-kun kini di peringkat 11? Bagaimana bisa?!" Wajah Reiko jatuh seketika melihat Yuza yang di minggu kemarin ada di peringkat 3, kini merosot begitu jauh ke peringkat 11.     

"Hm, semoga itu bukan karena permainan pemilik acaranya." Tami berkomentar.     

"Hghh, menyebalkan sekali kalau acara itu dicurangi!" Reiko bangkit berdiri, bersiap pulang. "Nah, aku pulang dulu, yah! Sampai bertemu esok!" Ia melambai ke semua rekan di ruangan itu. "Paipai!"     

Tami dan Aoi balas melambai ke Reiko, sedangkan Yuka mengangguk sambil tersenyum.     

Reiko pun melangkah keluar dari ruangan hendak ke lift, namun dia mendengar bunyi aneh dari ruang olahraga. Ia mendekat untuk memastikan telinganya tidak salah.     

"Aanghh … haanghhh … terusss … terusss di sana, aanghhh … Luis … aanghh …."     

Astaga, itu suara Rurika! Reiko hampir tersedak salivanya.     

=========     

lyrics source = Google     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.