Inevitable Fate [Indonesia]

Meracau Mengungkapkan Perasaan



Meracau Mengungkapkan Perasaan

0Hon'no ippo sae mo fumi hazuseba ochiru naraku (Satu kesalahan langkah saja bisa membuatku terjatuh ke dalam jurang)     
0

Osoreru kokoro wa naze mata ikiyou to suru (Tapi kenapa hati yang takut masih mencoba untuk terus hidup?)     

- Koufururon (Alasan Untuk Menyerah) by Yuu Miyashita - OST. Platinum End -     

=========     

Itachi melangkah ke kamar Akeno dan membuka pintunya, melihat Akeno masih memunggungi pintu dan tampak tenang.     

Apakah Akeno baik-baik saja? Itachi bertanya-tanya. Mungkin dia harus menghampiri wanita itu untuk memastikannya. Apakah demamnya sudah turun?     

Ketika Itachi tiba di tepi ranjang Akeno, wanita itu sepertinya terlelap. Tangan Itachi terjulur ke kening Akeno.     

Astaga! Demamnya bertambah tinggi! Namun keringatnya membanjir!     

Itachi panik, tidak menyangka Akeno akan mengalami demam tinggi begini dikala dia tidak memiliki kemampuan apapun merawat orang sakit, dan juga ada badai salju.     

Sekali lagi, Itachi hanya bisa mengandalkan kompres saja. Ia mengganti air dengan yang lebih hangat suam-suam kuku dan mulai mengompres kening Akeno.     

Wanita lajang itu mengerang lirih ketika tubuhnya diputar menghadap ke atas. Matanya masih terpejam, tapi napasnya mulai berat. "Itachi … kau kejam …."     

Mendengar perkataan Akeno, Itachi diam tidak merespon dan tetap bergerak lincah mengompres kening Akeno.     

"Kau lelaki kejam, Itachi, hiks! Apa susahnya bila kau memberikan kata-kata penyemangat atau kalimat penghiburan untukku, sih? Hiks! Lebih baik aku mati ketimbang mendengar ucapan kejammu itu, Itachi …." Akeno terus meracau.     

Sepertinya demam tinggi membuat Akeno tidak sadar akan apa yang dia ucapkan.     

"Aku tidak kejam padamu, Akeno." Itachi tidak kuat hanya diam dan menjawab. Meski dia tahu bahwa bisa saja Akeno meracau karena sedang demam tinggi, namun dia masih ingin menimpali perkataan Akeno. "Jika aku kejam padamu, untuk apa aku bersusah payah bersikeras menyewa motor ski untuk mengejarmu, hm?"     

"Menyewa motor ski? Kau bohong. Kau hanyalah lelaki dingin yang kejam, lidahmu tajam, setajam Shokudaikiri Mitsutada[1], tidak hanya menebas hatiku, tapi juga semangatku."     

"Aku tidak memaksamu untuk mempercayaiku. Aku hanya menyampaikan fakta apa yang terjadi saja." Itachi tidak memerdulikan ceracauan Akeno dan terus mengompres.     

"Kalau kau perduli, kenapa kau tidak menolongku ketika aku hendak dilecehkan Julian di klub? Hiks, Itachi, kau sungguh dingin tidak berperasaan. Aku membencimu!"     

"Aku membiarkanmu malam itu agar kau bisa belajar bahwa lelaki tidak bisa sembarangan kau beri harapan jika kau memang tidak menginginkan mereka. Ya, aku memang dingin, aku sudah sering mendengar itu dari banyak orang, tak usah repot-repot mengingatkan aku lagi mengenai itu."     

"Hiks, Itachi … apakah kau tidak pernah mengasihi seseorang dalam hidupmu? Hiks, betapa merananya aku, betapa menyedihkannya aku sudah sejauh ini, hiks!"     

"Apakah menurutmu apa yang aku lakukan sekarang ini tidak kau hitung sebagai mengasihi sesama manusia? Kau sakit dan aku kelimpungan mencarikan upaya kau diperiksa dokter, tapi ini badai salju dan aku tidak tidur sejak tadi hanya untuk mengurusmu. Itu tidak kau hitung, hm?"     

"Tidak perduli! Kau tetap saja kejam, dingin, tidak berperasaan, tidak peka, tidak membantu wanita yang hendak dilecehkan … pokoknya kau sialan, Itachi! Aku membencimu! Hiks … hu hu huuu …."     

"Sudah, jangan banyak bicara, tidur saja dan berharap besok tidak ada badai agar aku bisa membawamu ke rumah sakit."     

Air mata Akeno masih saja mengalir meski dia memejamkan mata dan diam berbaring sembari keningnya terus dikompres Itachi.     

-0-0—00—0-0-     

"Ermmghh …." Akeno mengerang lirih ketika dia membuka matanya dan menyadari ini ternyata sudah pagi. Bahkan dia harus menyipitkan mata karena sinar matahari menerpa ranjang dia.     

Mengucek mata sejenak, dia duduk dan menyadari dia sudah memakai piyama. Bukankah semalam dia hanya memakai pakaian dalam? Tapi kenapa sekarang berpiyama lengkap.     

Tunggu! Tapi … di balik piyama ini … tidak ada dalaman sama sekali! Mata Akeno yang masih ingin mengatup lagi, seketika membelalak lebar.     

Bagaimana bisa dia bergonta-ganti pakaian dari semalam? Bahkan, yang dia ketahui, sebelum tidur, dia memakai piyama merah muda, lalu tiba-tiba hanya memakai bra dan celana dalam saja, dan setelah itu … piyama biru tua.     

Sebentar! Sebentar! Bahkan ini bukan piyama miliknya! Ya! Ini bukan miliknya! Baju siapa ini?     

Akeno bergegas turun dari ranjang dan seketika kepalanya berdenyut tajam, membuat dia harus berpegangan pada penyangga tepi ranjang.     

Setelah merasa stabil, dia pun melangkah perlahan keluar kamar. Sepi. Ke mana Itachi? Tidak mungkin lelaki itu pergi tanpa dirinya, kan? Atau sedang tidur?     

Hei, ada suara dari dapur. Hm? Kenapa ada bunyi-bunyi di sana? Berjingkat pelan, Akeno pun melangkah ke dapur, membuka pelan pintunya.     

Matanya terbelalak ketika melihat di dapur sana berdiri Itachi memunggungi dirinya, memakai apron dan sedang berkutat di depan kompor. Sedang memasak apa lelaki itu?     

Krieett ….     

Ups! Pintunya berderit ketika Akeno membuka lebih lebar. Ini mengakibatkan Itachi menoleh ke belakang, memergoki Akeno yang tadinya hendak mengintip saja.     

"Ohh, kau sudah bangun. Duduklah kalau begitu, aku sudah hampir selesai membuat bubur untukmu." Demikian ujar Itachi dan kembali fokus pada kompornya.     

Apa lelaki itu bilang? Membuat bubur untuk dia? Akeno terperanjat di hatinya. Apa dia tidak salah dengar? Atau jangan-jangan ini masih dunia mimpi?     

Sepertinya dia harus menampar dirinya sendiri agar tahu apakah ini mimpi atau—     

"Ini, aku hanya bisa memasak ini dengan bahan yang ada di lemari dan kulkas. Semoga saja kau tidak cukup rewel untuk menolaknya." Itachi pun menyodorkan semangkuk bubur dengan toping sosis dan irisan wortel. Ada bau kaldu pula di kuah yang juga ditempatkan pada mangkuk kecil lainnya.     

"I-ini untukku?" Akeno bertanya dengan wajah keheranan.     

"Tak perlu berterima kasih, cukup makan sampai habis dan jangan protes andaikan rasanya buruk. Aku bukan chef, jadi jangan berharap tinggi mengenai rasa." Itachi memberikan peringatan dengan pandangan tajam.     

Ya ampun lelaki ini! Tidak bisakah dia berkata dengan lebih lembut dan menyenangkan hati? Setidaknya kata-kata yang bisa melegakan telinga! Akeno meluaskan lautan kesabarannya. Ya, ya, ya, lelaki ini memang sudah terkenal dingin dan tidak berperasaan, jadi wajar jika ucapan semacam itu meluncur dari mulut yang bagaikan gua salju.     

Akeno duduk tenang dan menyendokkan bubur yang masih mengepul ke mulutnya. "Urfhh!" Ia kembali mengeluarkan bubur dari mulut ke sendoknya.     

Itachi menatap tidak suka akan tindakan Akeno. "Aku tahu masakanku tidak sebaik masakan chef, tapi tak perlu kau ludahkan keluar juga, kan Akeno?"     

"Aku meludahkannya karena masih panas, Itachi … bukan karena tidak enak." Akeno menangis darah di hatinya.     

---------------     

[1] Shokudaikiri Mitsutada adalah pedang katana (bukan pedang samurai, yah! Samurai itu orang, bukan pedang) hasil tempaan Osafune Mitsutada di tahun 1238. Namanya diartikan "pemotong lilin" karena berdasarkan insiden ketika tuannya, Date Masamune, sedang membunuh seseorang dan juga mengenai serta memotong penyangga lilin di dekatnya (karena saking tajamnya?).     

Di anime Touken Ranbu, pedang Shokudaikiri Mitsutada diberi wujud humanoid dan disebut sebagai Dategumi (nama fandom yang diberikan karena dimiliki Klan Date) bersama rekan pedang lainnya: Ookurikara, Tsurumaru Kuninaga, dan Taikogane Sadamune. Itu semua nama pedang kuno Jepang, loh yah!     

==========     

lyrics source = Kazelyrics     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.