Inevitable Fate [Indonesia]

Menjemput Runa di Apato Yuza



Menjemput Runa di Apato Yuza

0sumaneun stars sumaneun dal (bintang tak terhitung, bulan tak terhitung)     
0

jilmune supsogeul hemaedeon na (aku berkeliling di hutan pertanyaan)     

eodum soge jeo bicheul ttarawasseo (aku mengikuti cahaya di kegelapan)     

- Given Taken by ENHYPEN -     

==========     

Reiko diantar Benio ke apato milik Yuza. Rupanya lelaki itu masih berada di Ikebukuro. Ia bertanya-tanya, apa yang kini dikerjakan Yuza dan Shingo usai keluar dari Magnifico? Sudah sekitar seminggu lebih sejak itu, kan?     

Ia merasa bersalah karena malah tidak menghubungi kedua pria itu setelah peristiwa itu. Nanti dia akan meminta maaf dengan benar terkait hal tersebut.     

Setiba di depan gedung apato Yuza, Reiko naik ke lantai tempat unit Yuza berada. Mengetuk pintunya, dan Runa yang membukakan pintu.     

Lekas saja dua wanita itu saling menyeru dan berpelukan erat.     

"Ahh! Rei-chan!"     

"Ru-chan!"     

Tak berapa lama, Yuza dan Shingo muncul dari belakang Runa. Mereka menyapa Reiko. Yuza tentu saja dengan wajah berseri-seri, sedangkan Shingo tetap tenang meski hatinya bergemuruh melihat Reiko.     

Mereka semua masuk dan menutup pintu.     

"Yuza-kun, Shingo-san." Reiko membungkuk ojigi ke dua pria itu dan berkata, "Aku sungguh minta maaf karena tidak menghubungi kalian usai kejadian itu. Aku sungguh keterlaluan, maafkan aku."     

"Eh? A-ah, Reiko-chan! Untuk apa berkata begitu? Aku sama sekali tidak menganggapmu keterlaluan, kok!" Yuza malah tak enak hati melihat tindakan Reiko.     

"Benar, Reiko-san. Jangan begitu. Kami mengerti kondisimu pasca kejadian itu." Shingo menambahkan.     

"Apakah ini terkait dengan apa yang terjadi di Magnifico seperti yang tadi kau ceritakan padaku, Yu-chan?" Runa menoleh ke Yuza.     

Astaga! Bahkan Reiko juga terlupa menceritakan mengenai insiden itu pada Runa! Sahabat macam apa dia ini?     

Ketika Reiko meminta maaf pada Runa, si sahabat malah menjawab, "Aku bisa memaklumi itu, kok Rei-chan. Karena pasti akan sangat sulit menceritakan hal semacam itu. Tak apa, tak apa." Runa tersenyum sambil menepuk lembut pipi Reiko.     

Mereka pun mulai duduk bersama di lantai beralas tatami di ruang paling luas di apato itu. Karena itu adalah apato kecil yang sederhana berjenis studio, tak heran apabila tidak menemukan sofa atau barang-barang besar lainnya di sana.     

"Oh ya, apa yang kalian kerjakan seminggu ini?" tanya Reiko pada Yuza dan Shingo.     

"Aku dan Ossan mencoba cari pekerjaan di konbini dan restoran, siapa tahu mereka menerima pekerja untuk cuci piring atau pelayan." Yuza menjawab.     

"Ya, kami mendapat beberapa pekerjaan paruh waktu. Lumayan." Shingo menyambung.     

Ini semakin membuat hati Reiko tidak nyaman. Kedua pemuda itu sampai melepaskan pekerjaan bagus mereka di Magnifico demi dia dan kini keduanya malah luntang-luntung tanpa pekerjaan tetap.     

"Aku … aku sungguh merasa bersalah. Karena aku-"     

"Reiko-chan! Jangan salahkan dirimu begitu! Kami berdua tidak merasa dirugikan sama sekali olehmu." Yuza bersemangat.     

"Umh!" Shingo mengangguk tegas. "Kami tidak menyesal sudah membelamu di Magnifico. Jadi, jangan merasa bersalah."     

Runa menatap ketiganya lalu memeluk Reiko. "Nah, kau sudah dengar sendiri betapa mereka menyayangimu, Rei-chan, sama sepertiku."     

"Ohh, lalu … kau sendiri, apa yang kau kerjakan seminggu ini, Reiko-san?" Shingo bertanya.     

Mata Yuza meneliti baju Reiko dan bertanya, "Kau memakai baju senam di jam seperti ini?"     

Runa pun ikut memperhatikan Reiko dan ia baru menyadari penampilan sahabatnya memang sedikit aneh. Memakai atasan senam yang ketat dan celana panjang spandex serta ada jaket tipis dan sepatu kets.     

"Aku … aku kembali ke sanggar Adora." Reiko pun menceritakan mengenai Adora.     

"Wah, sepertinya itu tempat yang menarik!" Mata Yuza berbinar cerah. "Apakah aku boleh ikut ke sana, Reiko-chan?"     

"Ehh? Yuza-kun ingin bergabung ke sana?" Reiko sedikit heran.     

"Masukkan aku pula." Shingo tanpa ragu menyambung.     

"Ehh?" Reiko makin heran karena Shingo pun ingin masuk ke Adora.     

"Aku pikir aku tidak buruk dalam hal menyanyi dan menari." Yuza mengangguk penuh keyakinan.     

"Hm, mungkin aku akan masuk ke divisi suara, tapi entahlah." Shingo manggut-manggut.     

"Ru-chan, kau tidak sekalian ikut ke sana?" tanya Yuza.     

"Aku? Ha ha, aku tidak pandai menyanyi, dan aku sungguh buruk dalam hal menari. Tidak, lebih baik tidak, ha ha! Daripada aku mempermalukan diriku sendiri, lebih baik tahu diri saja." Runa tersenyum kecut. Dia merutuki dirinya yang tidak memiliki talenta di bidang seni.     

Tak sampai satu jam dari itu, Reiko sudah membawa Runa keluar dari apato sederhana Yuza.     

"Besok aku akan menghubungimu kalau hendak pergi ke Adora, Reiko-chan!" Yuza tak lupa mengingatkan itu.     

"Umh! Tentu saja! Kalian harus menghubungiku sebelum ke Adora." Reiko mengangguk tegas sebelum membawa Runa dari sana.     

Masuk ke mobil, Runa takjub. "Woah, sekarang kau benar-benar mirip nyonya sosialita, Rei-chan. Hi hi!" Runa menggoda.     

"Jangan mengolokku begitu," sahut Reiko sambil mencubit ringan pinggang sahabatnya.     

Runa dibawa Reiko ke apato suaminya di Ginza. "Astaga, kalian tinggal di Ginza!"     

"Jangan begitu. Itu semua milik Ryuu, tak ada hubungannya denganku." Reiko tersipu.     

Tiba di penthouse, Runa masih takjub, baru kali ini masuk ke sebuah hunian bernama penthouse, apalagi jenis mewah seperti itu. Matanya sibuk berkeliling memandang sekitar dan mulutnya terus menganga takjub. "Rei-chan, kau benar-benar diberkahi ibu peri!"     

"Ru-chan apa sih?" Reiko mencubit lagi pinggang sahabatnya dan menggandeng Runa masuk lebih dalam ke hunian itu.     

"Wah, Runa-chan!" Nathan Ryuu bangkit dari duduknya dan melipat surat kabar di tangannya begitu melihat kedatangan istrinya membawa Runa.     

"Tuan Ryuu." Runa ojigi (membungkukkan badan tanda hormat) ke Nathan Ryuu. "Maaf merepotkan."     

"Tidak masalah, sama sekali tidak masalah." Nathan Ryuu secara ramah menyambut Runa. "Bawa Runa ke kamar tamu kalau kalian ingin bersantai. Balkon saat ini terasa sangat dingin, mungkin sebentar lagi salju turun."     

Reiko mengangguk dan mengajak Runa masuk ke kamar tamu. Keduanya duduk di tepi tempat tidur. "Nah, sekarang, katakan padaku, ada apa? Kenapa datang ke Tokyo di luar akhir pekan?"     

Runa meringis, sepertinya dia memang akan susah menyembunyikan apapun dari sahabatnya. Terlebih, ini terlalu mencolok untuk datang di luar akhir pekan, seperti kecurigaan Reiko. "Aku …."     

"Ya?" Reiko menatap lurus ke sahabatnya, menanti kelanjutannya dengan hati berdebar, merasa ada yang tidak beres.     

"Aku kabur dari rumah dan memutuskan berhenti kuliah." Runa berkata dengan satu hela napas.     

"Hah?" Reiko melongo mendengar ucapan sahabatnya. "Bagaimana tadi? Kabur dari rumah? Ber…henti kuliah?" Ia khawatir salah dengar karena Runa berkata dengan suara lirih.     

Runa mengangguk. "Ya, kau tak salah dengar. Aku memang kabur dari rumah dan memutuskan berhenti kuliah juga."     

"Ke-kenapa?" Reiko terlalu kaget sampai tergagap.     

"Um, yah … um … jadi …." Runa agak ragu mengatakannya, tapi dia tahu dia tidak bisa lagi menyembunyikan ini dari Reiko, karena dia sudah nekat datang ke Reiko, maka sudah sepatutnya mengatakan ini pada sang sahabat. "Aku dipaksa menikah oleh ibuku."     

=========     

lyrics source = Color Coded Lyrics     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.