Inevitable Fate [Indonesia]

Membicarakan Seorang Lelaki



Membicarakan Seorang Lelaki

0My hands steady .. I feel ready     
0

But my legs heavy .. I don't get it     

- Never Give Up by NEFFEX -     

============     

Tiba di kamar, Runa dan Reiko tidak langsung tidur. Meski lelah, terutama Reiko, namun mereka masih ingin mengobrol sebentar sebelum memejamkan mata.     

"Rei-chan, aku benar-benar minta maaf atas ibuku malam ini, yah!" Runa sampai tak enak hati sudah menyusahkan sahabatnya.     

"Ahh, tidak apa-apa, Ru-chan. Aku menganggap ini sebagai pengalaman dan wawasan baru, jangan khawatir." Reiko tersenyum. Memang, tubuhnya serasa remuk dan tulangnya bagai sedang dilolosi dari tempatnya usai dipukuli palu. Yah, sedramastis itu memang rasanya.     

"Besok, aku akan bicara dengan ibuku untuk tidak semena-mena padamu yang adalah tamu di sini."     

Ehh, jangan, Ru-chan! Aku tidak apa-apa, kok! Sungguh! Aku justru senang bisa mengetahui banyak hal mengenai ayam goreng dan cara memasak."     

"Yang benar?"     

"Iya!"     

"Bukankah tadi kau nyaris pingsan karena lelah?" Mata Runa menyipit tak percaya. Yang dia yakini, bahwa sahabatnya ini orang yang susah mengatakan tidak pada orang lain. Reiko merupakan jenis orang yang mudah merasa tak enak hati apabila menolak permintaan orang lain.     

Yah, karakter macam ini memang banyak hinggap di orang-orang Jepang, terutama para perempuan Jepang, namun jaman semakin modern, dan sudah banyak orang Jepang yang mulai berani berkata tidak apabila tidak sesuai dengan hati nurani.     

"Iya, lelah sih, tapi aku bisa memetik hikmah dan pelajarannya, kok! Tenang saja. Aku akan berhenti jika memang sudah tidak sanggup." Reiko mencubit lembut pipi Runa. Dia paham sahabatnya ini orang yang suka berkata gamblang dan sering mengkhawatirkan dirinya sejak dulu.     

"Um, baiklah. Tapi kau harus berjanji akan berhenti jika memang sudah tidak kuat."     

"Oke, aku berjanji padamu."     

"Rei, Rei, bagaimana menurutmu Yuza tadi?" tanya Runa usai obrolan-obrolan ringan lainnya.     

Mata Reiko membulat dengan kedua alis terangkat tinggi-tinggi mendengar pertanyaan Runa. "Yuza? Maksudmu Ichinose-kun?"     

"Iya. Sudah, panggil saja dia menggunakan nama kecilnya, tak apa." Runa mengibaskan telapak tangan seakan sedang menyepelekan sesuatu.     

Di Jepang, biasanya orang lebih sering memanggil dengan nama marga atau nama keluarga kepada orang lain, kecuali kita sudah sangat dekat dan akrab, barulah kita bisa memanggil dengan nama kecil.     

Seperti halnya saat dulu pertama kali Nathan Ryuu berjumpa dengan Reiko, dia sering memanggil Reiko dengan Nona Arata, karena itu memang sudah adat kesopanan di sana. Dan hanya memanggil nama kecil ketika sudah akrab dan sering bertemu.     

"Yuza? Apa aku boleh memanggil begitu pada dia?" Reiko takut dianggap tidak sopan jika langsung memanggil nama kecil.     

"Tidak masalah, tenang saja! Percayalah padaku!" Runa menegaskan. "Dia justru akan suka jika dipanggil Yuza ketimbang Ichinose-kun atau Ichinose-san, hi hi hi! Dia itu benar-benar parah narsis dan percaya dirinya!"     

"Ohh ...." Reiko menatap cara Runa berbicara mengenai Ichinose Yuza, dan dia pun berceletuk, "Ru-chan, apakah kau menyukai Ichi-umm ... Yuza?" todongnya.     

Wajah Runa seketika kaku dan sedikit merona. "Aku? Menyukai dia? Unghh! Tentu saja tidak! Aku takkan tahan jika jadi pacarnya. Dia itu playboy, dia genit dan suka menggoda perempuan. Makanya tadi dia langsung mengajak bicara kamu, ya kan?"     

"Ehh? Dia playboy?"     

"Iya! Makanya, Rei-chan, kau harus berhati-hati padanya, jangan sampai terpikat atau kau hanya akan makan hati saja nantinya!"     

"Woiii! Diaamm!" seru Tomoda di sebelah. "Aku harus tidur, sialan!" Dan kemudian terdengar bunyi benda dilempar mengenai dinding tipis pembatas kedua kamar.     

Reiko dan Runa tersentak kaget. Tapi Runa yang sudah terbiasa dengan tingkah kasar kakaknya, membalas, "Kalau mau tidur, yah tidur saja, sana! Jangan repot-repot mengganggu obrolan kami!" serunya. "Dasar kakak sialan, kakak tolol!" umpat Runa dengan nada pelan.     

"Ya sudah, Ru-chan, ayo kita tidur saja, oke?" Reiko menengahi agar tidak perlu terjadi huru-hara tak perlu dini hari begini. "Lagi pula, aku juga sudah mengantuk." Dan lelah, batin Reiko.     

"Oke, ayo kita tidur cantik! Kau tadi sudah pakai krim malamku, kan?"     

"Sudah, terima kasih dan maaf malah merepotkanmu."     

"Aiyayaya ... tak apa! Hanya krim malam saja, kok!"     

Tak berapa lama, suasana pun hening.     

-0-0-0-0-     

Esok harinya, Reiko terbangun karena alarm di ponselnya. Sudah jam 6 pagi. Ketika dia melirik ke samping, ada Runa yang masih terlelap. Apakah dia harus bangun sendiri?     

Terkadang beginilah tak enaknya apabila tinggal di rumah orang lain, tidak bisa bangun seenaknya di jam suka-suka.     

Yah, tak apalah bangun lebih dulu dari Runa. Mungkin dia bisa melakukan sesuatu yang berguna di rumah ini agar Bu Sayuki bisa lebih ramah dan sering tersenyum padanya.     

Ketika Reiko mencoba bangun dari rebahnya, dia mengaduh tanpa bisa ditahan saat seluruh otot dan persendiannya terasa ngilu. Ini memang efek dari pekerjaan dia semalam suntuk.     

Menahan sakit, Reiko tetap memaksakan diri untuk bangun pelan-pelan agar tidak mengganggu Runa yang masih lelap.     

Ia keluar dari kamar dan hawa masih cukup dingin di luar. Tapi ia sudah bertekad ingin bangun agar pantas dilihat oleh empunya rumah.     

Tiba di halaman samping, Reiko bertemu dengan Bu Sayuki yang sedang memegang sapu. "Nah, kebetulan. Reiko, sapu halaman ini, yah! Ibu harus mempersiapkan sarapan pagi sebelum mengurus bahan-bahan untuk nanti malam."     

"A-ahh, iya, Bu."     

Reiko tak bisa menolak. Selain dia ingin dianggap berguna di rumah tempat dia menumpang ini, dia juga ingin membangun keakraban dengan Bu Sayuki yang terkenal galak, keras dan tegas.     

Menggenggam gagang sapu lidi panjang, Reiko pun mulai menyapu halaman itu. Tak jauh darinya, ada Tomoda yang baru bangun dan mengamati Reiko.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.