Inevitable Fate [Indonesia]

Harum Maskulin Dadamu



Harum Maskulin Dadamu

0yeojeonhi hemaeneun You naega han bal gakkai dagaga ooh (you who're still lost, I'll take one step closer to you, ooh)     
0

maleopshi wechineun neoye moksorireul naega deureo julge (I'll listen to your silent cry)     

- Silent Cry by Stray Kids -     

===========     

Reiko terkejut. Apakah dia begitu kentara baru saja menangis lama sejak tiba di apatonya sampai akhirnya tertidur karena begitu lelah mental dan fisik.     

"Kenapa tidak bercerita padaku mengenai apa yang membuatmu menangis?" Nathan Ryuu merundukkan pandangannya ke bawah sambil tangannya menaikkan dagu istrinya agar tatapan mereka bisa bertautan.     

Reiko jatuh dalam dilema. Patutkah dia menyampaikan pada Nathan Ryuu bahwa dia dipecat di Magnifico? Bukankah itu akan menyakiti suaminya yang sudah susah payah mencarikan dia pekerjaan?     

Karena istrinya tidak juga menjawab pertanyaannya, Nathan Ryuu mengecup bibir Reiko dan berkata, "Aku mengecup bibirmu agar bibir ini memiliki keberanian mengatakan apapun hal yang saat ini ada di benakmu, sayank. Aku sungguh berharap bibir ini bisa jujur padaku, tanpa menutupi apapun."     

Hati Reiko serasa meledak. Suaminya adalah lelaki yang sangat baik, sangat lembut padanya, selalu melindungi dia, selalu mengupayakan semua yang terbaik untuknya, selalu berusaha membuat segala hal nyaman baginya. Dan kini dia harus memaparkan hal memalukan itu.     

Namun, Reiko tersentak ketika suaminya mengecup bibirnya dengan harapan dia bisa jujur berbicara pada sang suami.     

Tak bisa menahan rasa haru dan cinta yang meluap di hatinya untuk sang suami, air mata Reiko tak bisa dibendung lagi. Sudah berapa kali dia selalu saja menjadi hal yang merepotkan Nathan Ryuu? Ia tak berguna. Sungguh tak berguna!     

Reiko menangis tersedu-sedu di dada Nathan Ryuu. "Maafkan aku, Ryuu ... hiks! Maafkan aku ... aku sungguh payah, hiks! Sungguh tak berguna, hiks! Maafkan aku ...."     

Nathan Ryuu mendekap sang istri di dadanya sambil mengelus rambut panjang Reiko, mengecup berulang kali kepalanya, dan berkata, "Kenapa harus meminta maaf padaku? Apakah kau berselingkuh?"     

Reiko lekas mendongak dan menggeleng. "Tentu saja aku tak mungkin berselingkuh darimu, Ryuu! Itu mustahil!" Ia menggeleng berulang kali.     

Melihat respon istrinya, Nathan Ryuu tersenyum dan mengecup ujung hidung istrinya, berkata, "Kalau memang seperti itu, kenapa harus minta maaf? Kau hanya boleh minta maaf ketika melakukan kesalahan sangat berat seperti berselingkuh dariku, atau membunuh seseorang."     

Reiko menghentikan isakan tangisnya dan menggeleng beberapa kali lagi. Mana mungkin dia membunuh seseorang? Itu jauh lebih tak mungkin ketimbang berselingkuh. "Aku mana punya keberanian melakukan kedua hal itu, Ryuu."     

"Nah, kalau begitu, tak perlu meminta maaf, yah!" Jemari Nathan Ryuu menjepit ringan dagu istrinya dan ibu jarinya memulas bibir bawah Reiko.     

Akhirnya, Reiko pun menceritakan mengenai apa yang terjadi hari ini di Magnifico. Dari hari dia yang terasa tenang dan menyenangkan, tiba-tiba menjadi badai tanpa bisa dicegah. Yah, harusnya dia memang mencurigai ketenangan yang terlalu damai itu.     

Nathan Ryuu mendengarkan semuanya dengan tenang meski beberapa kali napasnya terasa berat. "Hm, ternyata ada kejadian seperti itu, yah!"     

Reiko mengangguk. "Aku ... selain aku sudah terlanjur menyukai pekerjaan di Magnifico, aku juga tak enak pada Akeno-san dan Yuza-kun." Ia tertunduk dan menenggelamkan wajahnya lagi pada dada suaminya yang berbau harum maskulin. Bau yang selalu bisa menenangkan Reiko.     

"Jadi ... kau ingin bekerja lagi di sana?" Nathan Ryuu mengelus rambut istrinya.     

"Yah, kalau memang aku diberi kesempatan, aku ingin mencoba yang terbaik di sana. Aku akan dengan patuh melakukan apapun agar bisa mencapai hasil terbaik. Tapi, aku masih juga tidak enak dengan Akeno-san dan Yuza-kun. Aku tak ingin mereka dipecat karena aku." Ia mengusap-usapkan ujung hidungnya ke dada suaminya yang masih terbungkus kemeja.     

"Hm, baiklah, sayank. Serahkan itu padaku." Nathan Ryuu perlahan melepaskan pelukannya pada Reiko.     

Lekas saja mendengar itu, Reiko menggapai suaminya yang hendak beranjak dari tempat tidur. "Ryuu! Ryuu! Aku mohon, jangan memecat siapapun! Jangan memberi kesusahan pada siapapun, yah! Jangan sakiti siapapun, aku mohon!" Ia terus menggeleng dengan pandangan takut.     

Reiko kini sudah paham seperti apa suaminya jika sedang terprovokasi oleh masalah. Ia tidak ingin ada pihak lain yang disakiti Nathan Ryuu, siapapun itu. Bahkan Takeda Ayumi sekalipun. Jangan!     

"Sayank, bukankah kau ini terlalu baik?" erang Nathan Ryuu sedikit tak berdaya menghadapi istrinya yang dia nilai terlalu lembut hatinya.     

"Bukan begitu, Ryuu! Aku hanya tidak ingin menyakiti siapapun! Kalaupun kau ingin melakukan sesuatu, cukup biarkan aku tetap di sana bersama Yuza-kun dan Akeno-san. Itu saja pintaku kalau memang kau hendak berbuat sesuatu mengenai ini." Di benak Reiko, dia menyampaikan apa yang memang dia inginkan.     

Ya, dia memang memiliki musuh di Magnifico, namun dia yakin kebencian orang akan reda dengan sendirinya jika dia tidak meladeni ataupun bertingkah tak menyenangkan di sana. Ia yakin jika dia tetap rendah hati dan tidak berusaha mencolok, maka semuanya akan baik-baik saja.     

"Hm ...." Nathan Ryuu membelai pipi istrinya yang sedang menatap penuh memohon pada dirinya.     

.     

.     

Ketika Jyuto sedang giat-giatnya menghentak Akeno tanpa pengaman, wanita lajang itu sudah terus memberontak, karena dia tidak ingin hamil ketika Jyuto masih menjadi suami orang. Itu akan terlalu bodoh dan juga menyedihkan!     

"Jyuto, hentikan! Kau brengsek! Berhenti, stop!"     

Tapi, Jyuto malah terus menghentaknya sambil menyeringai. Baginya, penolakan Akeno merupakan bahan bakar untuk semangatnya. "Katakan kau hanya akan bekerja padaku saja, Akeno. Katakan itu dan aku akan segera pakai pengaman!"     

"Tidak mau! Kau apa-apaan! Kenapa harus memaksaku? Aku sudah memutuskan tidak akan bekerja lagi di tempatmu!"     

"Maka ini adalah keputusan yang aku buat berlandaskan keputusanmu, he he he!"     

"Jyuto! Hentikan! Ini sakit!"     

Drrtttt! Drrrttt! Drrrttt!     

Getar ponsel Jyuto di meja nakas dekat ranjang terus saja berdengung keras. Awalnya Jyuto tak menggubris, namun karena khawatir itu adalah hal penting dari klien, ia pun meraih dengan wajah bersungut-sungut, "Siapa sih yang menggangguku?!"     

Tapi, matanya mendadak mendelik ketika dia membaca nama si penelepon. Ia lekas menyingkir dari tubuh Akeno untuk menerima telepon itu di balkon luar, agar Akeno tak perlu mendengar.     

Akeno memanfaatkan kesempatan ini untuk lekas memakai pakaian lengkap, kaos dan jins panjang. Ia benar-benar tidak sudi mengandung anak Jyuto jika status mereka masih begini-begini saja. Bukan berarti Akeno ingin Jyuto melepas Ayumi.     

Seusai menerima telepon, Jyuto kembali ke kamar kekasih gelapnya dan mengerutkan kening melihat sang kekasih telah memakai pakaian lengkap dan duduk menyesap minuman panas.     

"Kalau kau masih memaksaku lagi tanpa memakai pengaman, aku siram kau dengan ini!" ancam Akeno sambil mengacungkan gelas yang masih mengepulkan asap. Matanya mendelik agar Jyuto yakin dia serius dengan ancamannya.     

"Hghh ... iya, iya, aku takkan memaksamu lagi." Jyuto menyerah. Lagi pula, gara-gara telepon itu dia juga telah kehilangan libidonya. Ia mendekat ke Akeno yang berada di sofa. "Sayank, kau kembali ke Magnifico besok, yah! Yah!" pintanya dengan wajah memelas.     

Akeno menggeleng. "Aku sudah membuat keputusan. Aku sudah kapok dengan kelakuan istrimu. Cukup sekali saja aku ditampar di depan bawahanku oleh orang yang bukan bosku tapi berlagak seperti bosku."     

Malam itu, Jyuto berusaha membujuk Akeno. Si penelepon menegaskan agar dia mengembalikan 3 nama ke Magnifico: Reiko, Yuza dan Akeno.     

========     

lyrics source: Color Coded Lyrics     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.