Inevitable Fate [Indonesia]

Menemukan Ketentraman



Menemukan Ketentraman

0eoje oneul naeildo .. haengbokeul chatneun naui moheomilgi     
0

(kemarin, hari ini, besok .. aku mencari kebahagiaan)     

- Happiness by Red Velvet -     

==============     

Mata tua ibu itu semakin sayu menatap iba ke Reiko. Di hati Beliau, ada dugaan bahwa Reiko mungkin memiliki permasalahan berat dalam hidupnya sampai berlari dan tidur di makam orang tuanya seperti itu.     

"Tinggallah sementara di sini. Ibu hanya berdua saja dengan Bapak. Rumah kami memang kecil, tapi asalkan Nona tidak keberatan, Nona bisa menginap di sini." Ibu tua itu menawarkan demikian kepada Reiko.     

Mendengar tawaran tulus dari ibu tua itu, Reiko merasakan matanya basah. Saat ini dia benar-benar tidak berdaya. Selain tidak memiliki cukup uang untuk bertahan hidup, juga tidak memiliki sanak keluarga yang bersedia membantu, dan tak mungkin mengatakan pada Runa mengenai kondisi dirinya.     

Maka, dengan dua anggukan kepala beserta tangis yang luruh, Reiko pun menjawab, "Iya, Bu. Terima kasih, sungguh terima kasih kepada Ibu dan juga Bapak yang begitu baik padaku. Hiks!" Reiko sampai menurunkan lututnya menyentuh lantai.     

"Sudah, sudah, jangan terlalu formal begitu." Ibu tua itu membantu Reiko bangun dari sujudnya. "Ibu hanya mencoba menolong sebisa Ibu. Maaf kalau rumah kami kecil dan mungkin kurang nyaman untuk orang muda sepertimu."     

"Tidak begitu, Bu." Reiko terharu sembari menggeleng. "Ini sudah lebih dari cukup untukku, Bu. Aku justru meminta maaf sudah mengganggu kalian dengan kedatanganku."     

"Jangan terlalu formal padaku. Panggil saja aku Chiyo-baba, seperti cucu-cucuku biasa memanggilku." Ibu tua itu berkata sambil tersenyum. "Atau baa-chan juga tak masalah."     

"Ehh? Apakah tidak apa-apa?" tanya Reiko.     

Sufiks -baba atau -ba adalah panggilan singkat dan akrab yang berasal dari kata Baa (nenek) dan menjadi Oba-chan (ada juga yang menulis Obaa-chan). Tentu saja Reiko tidak berani selancang itu memanggil demikian karena dia belum akrab dengan Bu Chiyo.     

Apalagi Bu Chiyo menyebutkan dengan 'bachan', dimana itu biasanya digunakan oleh anggota keluarga sendiri, karena penggunaan sufiks 'chan.     

Apabila untuk nenek orang lain, bisa digunakan oba-san atau oba-sama (untuk lebih menghormati).     

"Tentu saja tidak apa-apa." Bu Chiyo tertawa sambil menepuk lembut lengan Reiko. "Dia adalah Kakek Ebizo. Kau bisa panggil dia Ebi-jiji, atau ojii-chan pun tak apa." Beliau menunjuk ke suaminya yang sedang memperbaiki peralatan di sudut ruangan.     

Sufiks -jiji atau -jii digunakan pada kakek, dari kata Jii (kakek atau lelaki tua). Jika untuk keluarga sendiri, seringnya memakai 'ojii-chan' atau 'jii-chan', sedangkan untuk kakek orang lain, bisa memakai panggilan 'ojii-san', 'jii-san' atau 'ojii-sama'.     

Reiko tertegun, memanggil mereka dengan panggilan kasual bagai cucu sendiri, bukankah ini artinya mereka menganggap Reiko seperti cucu mereka sendiri? Tak lupa, dia juga memperkenalkan dirinya pada mereka dengan sikap sopan.     

"Boleh aku panggil kamu Reiko-chan?" tanya Bu Chiyo.     

"Tentu! Tentu saja boleh!" Reiko langsung mengangguk beserta senyumnya menyertai. "Baa-chan. Ojii-chan." Ia begitu senang dan bahagia. Apakah ini artinya langit mulai memperlihatkan persahabatan dengan dirinya?     

Maka, dengan kebaikan pasangan tua itu, Reiko pun menumpang hidup di rumah kecil nan sederhana itu. Ternyata, selain Pak Ebizo menjadi penjaga dan pengurus makam di dekat rumah, Bu Chiyo mempunyai kebun sayuran yang cukup luas di belakang rumah.     

Reiko dengan senang hati membantu ibu tua itu berkebun merawat tanaman di sana. Ada kubis, bawang, wortel, dan lobak. Kata Bu Chiyo, biasanya akan ada orang yang akan secara rutin membeli hasil sayuran kebun mereka.     

Sudah 2 hari ini Reiko tinggal di sana dengan damai, tanpa dilecehkan Tomoda, tanpa sikap sengit Bu Sayuki, tanpa bertemu pelanggan lapak yang genit padanya. Dia merasa sangat tentram saat ini. Apalagi dia juga bisa menempuh perjalanan singkat ke makam orang tuanya, kapanpun dia ingin.     

Meskipun dia tidak mendapatkan upah apapun dari pasangan tua itu karena membantu pekerjaan mereka di kebun, Reiko sama sekali tidak keberatan, karena dia sudah mendapatkan hidup tenang tanpa kekhawatiran apapun di situ.     

Terkadang, uang bukanlah segalanya. Jika hati tidak tentram, untuk apa uang berlimpah? Uang hanyalah sarana penunjang saja. Jadikan uang sebagai pendamping, bukan sebagai raja atau majikan. Ini pernah diungkapkan ayah Reiko dahulunya.     

Di malam hari, ketika Runa mengobrol dengannya di chat, Reiko sama sekali tidak menyinggung mengenai ulah Tomoda dan ibunya yang mengakibatkan kepergian dia dari rumah itu. Reiko masih menjaga rapat-rapat kisah pilu itu.     

Ia bersikap seolah dia baik-baik saja sehingga Runa tak perlu cemas dan gadis itu bisa tenang menjalani hari-hari di kampusnya.     

-0-0-0-0-     

"Reiko-chan, tolong ambilkan sekop di sana, Nak."     

"Iya, Baa-chan."     

Bergegas, Reiko bangkit dan setengah berlari ke arah gudang peralatan berkebun untuk mengambil benda yang diinginkan Bu Chiyo. Namun, ketika dia hendak kembali ke ibu tua itu, dia mendengar ada suara pemuda di kebun.     

Saat Reiko semakin mendekat, dia melihat sungguh ada seorang pemuda yang memunggungi dia dan sedang berbicara pada Bu Chiyo. "Baba, aku bersungguh-sungguh mengatakan bahwa oyaji ingin kau menerima ini."     

"Tidak perlu. Gunakan saja itu untukmu." Bu Chiyo menolak sesuatu yang disodorkan pemuda itu. "Ohh! Reiko-chan!" Beliau menyadari ternyata Reiko sudah berada di kebun dan perhatiannya sontak tertuju ke Reiko.     

"Um, ano ... sekopnya ...." Meski sebenarnya Reiko enggan mengganggu dua orang di depannya yang sepertinya sedang membicarakan urusan keluarga, namun dia sudah kepalang tanggung masuk ke kebun. Ia pun secara canggung mengangkat sekop di tangannya.     

Pemuda itu membalikkan tubuhnya untuk menghadap ke Reiko, dan keduanya sama-sama melotot kaget. "Reiko-chan?"     

"Yuza-kun?" Reiko tak kalah terkejutnya melihat siapa sebenarnya pemuda yang ada di depannya.     

"Baba, kenapa ada Reiko-chan di sini?" Ichinose Yuza balik badan kembali ke neneknya.     

"Memangnya dia tak boleh berada di sini?" tukas neneknya dengan nada ketus meski itu sebenarnya hanya berpura-pura saja.     

"Tapi ... dia ...." Yuza bingung bagaimana menjelaskan ke neneknya mengenai Reiko.     

"Dia kenapa?" tantang sang nenek.     

"Jadi Reiko-chan ada di sini selama ini? Pantas saja dia tidak ada di lapak sudah beberapa hari ini." Kini Yuza jadi paham kenapa dia tidak lagi melihat Reiko di lapak Bu Sayuki. Ternyata gadis itu berada di tempat kakek-neneknya. "Reiko-chan, kenapa kamu tidak berjualan di lapak lagi?"     

Reiko merasa canggung dengan situasi ini. Apalagi ketika Yuza menanyakan alasan kenapa dia tidak ada di lapak Bu Sayuki. Apakah dia perlu menjabarkan semua yang membuat dia lari ke makam orang tuanya dan akhirnya di rumah pasangan tua ini? "Um, aku ... aku hanya kurang cocok saja di sana."     

Demikianlah kalimat yang dipilih oleh Reiko untuk menjawab Yuza. Bagaimana pun, Bu Sayuki dan Tomoda adalah keluarga sahabatnya, Reiko tidak ingin membuka aib keluarga sahabatnya. Maka, jawaban seperti tadi merupakan jawaban paling tepat menurut Reiko.     

"Wah, kalau begitu, apa kau mau berjualan denganku di lapakku, Reiko-chan?" Mata Yuza berbinar.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.