Inevitable Fate [Indonesia]

Bukankah Itu Artinya ....



Bukankah Itu Artinya ....

0Beautiful morning with you (pagi yang indah bersamamu)     
0

itsumo kanjitai na (aku ingin selalu merasakan)     

Beautiful morning with you (pagi yang indah bersamamu)     

kimi to deaeta koto (nyatanya aku bertemu denganmu)     

- Beautiful Morning With You by The Pillow - OST FLCL -     

==============     

Shingo merasakan intimidasi halus dari Nathan Ryuu melalui ucapannya meski itu disampaikan secara rendah hati.     

Karena itu, mana mungkin Shingo membiarkan dirinya ditekan pria Onodera itu. Ia pun secara rela mengambil kursi lainnya dan duduk di sisi lain ranjang Reiko, berseberangan dengan Nathan Ryuu.     

"Maaf jika merepotkan Shingo-san sampai kau harus menjengukku di sini." Reiko bertutur penuh kesopanan.     

"A-ahh, tidak apa-apa! Aku kebetulan sedang senggang dan baru saja membeli sayuran di tempat Chiyo-obaasan." Shingo mengusap gugup tengkuknya. Mengobrol dengan Reiko dengan mata Nathan Ryuu terus lekat ke arahnya, meski lelaki itu tersenyum, bukankah itu membuat seseorang bisa gugup?     

"Ohh! Kau dari tempat nenek." Reiko mengangguk kecil.     

"Reiko, buahmu." Nathan Ryuu menyodorkan buah pir yang telah dia kupas ke dekat mulut Reiko. Gadis itu tidak punya pilihan selain membuka mulutnya.     

"Terima kasih, Ryuu." Reiko pun menerima buah itu. Sebagai seseorang yang kerap tak enak hati dengan kebaikan orang lain, mana bisa Reiko menolak?     

"Ahh, ini bukan apa-apa. Tentu saja aku harus terus memperhatikanmu agar kau lekas sembuh. Itu sudah tugasku." Pemuda Onodera itu tersenyum penuh kasih ke Reiko.     

Melihat adegan itu, Shingo semakin merasa canggung. Sepertinya dia harus menyesali kedatangan dia ke sini. "Aku ... aku sepertinya harus pulang, Reiko-san." Ia berdiri dari kursinya.     

"Ehh? Pulang sekarang? Secepat ini?" Reiko menuntaskan kunyahannya dan berbicara usai menelan buah itu.     

"Ya. Aku harus mengurus sayuranku untuk nanti malam." Jelas itu hanyalah alasan saja karena Shingo sudah tak tahan dengan tatapan Nathan Ryuu. Jangan terkecoh dengan senyuman lelaki itu, namun makna di balik tatapan itulah yang harus diperhatikan dengan seksama.     

Lagipula, itu senyuman atau seringai? Shingo merasa tengkuknya merinding.     

Reiko pun tak bisa mencegah kepergian Shingo dan membiarkan pemuda itu pergi dari ruangan itu. Kemudian, gadis itu kembali fokus pada buah yang disodorkan padanya.     

"Ryuu, apakah kau tidak ingin pulang dan beristirahat?" tanya Reiko usai menelan buahnya.     

"Pulang? Sepertinya aku harus tetap di sini atau akan ada banyak yang ingin mengganggumu." Pria itu tersenyum sambil menyodorkan potongan selanjutnya dari buah yang ia kupas.     

Reiko tidak sepandai Shingo dalam menganalisis wajah dan ucapan seseorang. Dia justru heran dan bertanya, "Banyak yang ingin menggangguku? Siapa?"     

"Siapapun!" jawab enteng Nathan Ryuu sambil terkekeh pelan.     

.     

.     

Di sore harinya, Reiko kembali bertanya ke pria Onodera itu, "Kau tidak ingin pulang, Ryuu?"     

"Tidak, aku nyaman di sini." Tuan muda Onodera menjawab santai sambil menyandar pada kursi dan satu kaki ditumpangkan ke kaki satunya.     

Nyaman di sini? Reiko ingin terbatuk saking herannya. Pria itu memiliki hunian pribadi yang sangat indah dan lapang. Bagaimana bisa dia malah menyatakan bahwa berada di rumah sakit ini justru lebih nyaman dibandingkan di rumahnya sendiri?     

"Lalu, kapan kau istirahat?"     

"Aku senang kau perhatian seperti itu padaku."     

"A-aku tidak bermaksud begitu, Ryuu. Aku ... hanya tak ingin kau jatuh sakit."     

"Nah, aku semakin bahagia mendengarnya."     

"Astaga, Ryuu!" Reiko kehabisan kata-kata balasan. Pemuda itu malah terkekeh.     

Dan pada sore harinya itu, Bu Chiyo datang bersama Pak Ebizo. Yuza tak diperbolehkan ikut karena harus mengurus dagangannya atau neneknya akan melaporkan tingkah Yuza ke ayah pemuda itu.     

Empat orang itu berbincang nyaman selama hampir satu jam sebelum mereka pamit pulang dan pergi dari ruangan Reiko.     

"Aku mandi dulu, yah!" Nathan Ryuu berkata ke Reiko dan gadis itu mengangguk. Dengan pria itu menginap di sini semenjak semalam, Nathan Ryuu sudah mempersiapkan barang-barangnya dengan baik. Baju ganti, bahkan laptop kerja sudah diangkut ke kamar tersebut.     

Reiko ingin agar pria itu tak perlu melakukan sejauh itu hanya untuk menunggui dia, namun gadis itu yakin akan keras kepalanya Nathan Ryuu jika dia menyampaikan itu.     

Apakah ... pria itu benar-benar menyukai dia seperti yang diduga oleh Runa? Reiko masih setengah percaya dan setengah tidak mengenai itu. Baginya, selama pria itu tidak mengucapkan dengan lugas, maka dia belum ingin memercayainya.     

Di malam hari, tak ada siapapun yang menjenguk Reiko, membuat Nathan Ryuu bisa bernapas lega. Mana mungkin dia tidak bisa menangkap sinyal khusus yang diluncurkan Yuza dan juga Shingo kepada Reiko?     

Sebagai sesama pejantan, mana mungkin mereka tidak saling memahami intensi satu sama lainnya? Itulah kenapa Nathan Ryuu ingin menjagai gadisnya ini dengan ketat sebelum disambar pejantan lainnya.     

Usai Reiko makan malam dan disuapi Nathan Ryuu, lelaki itu menyampaikan sebuah ide padanya.     

"Bagaimana bila kau kembali ke Tokyo saja, Reiko? Di sana aku rasa kau lebih aman dari Bu Sayuki atau komplotannya. Beberapa bulan lagi sepertinya Tomoda akan bebas, dan jika dia berperilaku baik di sana, mungkin malah akan lebih cepat dia keluar dari penjara," usul Nathan Ryuu.     

Dan juga, dengan Reiko berada di Tokyo, akan lebih memudahkan bagi Nathan Ryuu melindungi dan menjaga gadis itu, ya kan? Namun itu hanya disimpan dalam benak saja oleh Onodera ini.     

"Kembali ke Tokyo?" Reiko mengulang ucapan Nathan Ryuu menggunakan nada tanya. Ia terdiam sejenak memikirkan mengenai apa yang baru saja disampaikan pemuda Onodera itu.     

"Bagaimana? Kau setuju?" Pria Onodera menatap penuh harap ke Reiko.     

"Hm, bagaimana, yah? Aku ... aku tak enak jika meninggalkan Yuza dan juga nenek serta kakek begitu saja." Reiko mempertimbangkan itu. "Apalagi Ru-chan."     

"Ya ampun, Reiko, kau tidak hendak pindah negara! Kau hanya berpindah prefektur saja, tidak sejauh itu." Gemas sekali rasanya Nathan Ryuu mendengar alasan gadis itu. Sebenarnya itu hanya alasan yang dibuat-buat Reiko saja untuk menolak dia atau memang gadis itu merasa seperti itu?     

"Umh ... iya, sih! Hanya berpindah prefektur saja," jawab Reiko sambil merenung.     

"Bahkan masih satu regional dengan Tokyo!" imbuh Nathan Ryuu.     

"Ya, aku tahu. Tapi ... rasanya aku berat meninggalkan nenek, kakek, Yuza-kun, Shingo-san, Ru-chan. Aku ... sudah terbiasa dengan kebersamaan mereka di sekitarku." Mata Reiko menampilkan tatapan cemas membuat Nathan Ryuu marah.     

"Aku bisa pindahkan mereka semua ke Tokyo supaya kau merasa tidak berpisah jauh dari mereka."     

"Jangan! Jangan melangkah sejauh itu demi aku, Ryuu!" Reiko geleng-gelengkan kepalanya.     

"Hm, baiklah, kita simpan dulu saja pembicaraan ini untuk nanti." Nathan Ryuu menyerah untuk saat ini.     

-0-0-0-0-     

Pada pagi harinya, Nathan Ryuu bangun dari ranjang khusus penunggu pasien dan berjalan ke arah Reiko, gadis itu masih terpejam lelap dalam tidur. Sudah jam berapa ini? Ahh, baru jam setengah lima pagi lebih sedikit, pantas saja di luar masih cukup temaram.     

Ia bergerak perlahan duduk di kursi sebelah Reiko, tidak ingin membangunkan gadis itu.     

Namun, sepertinya Reiko menyadari ada gerakan di dekatnya, ia pun membuka matanya. "Ohayou (selamat pagi), Ryuu," sapanya dibarengi senyum ke pria di sisinya.     

"Ohayou, Reiko." Nathan Ryuu membalas senyum itu sebaik mungkin dan melanjutkan, "Rasanya aku ingin setiap hari terbangun dengan kau ada di dekatku begini, Rei."     

Reiko mematung. Bukankah itu artinya ....     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.