This is Your Baby, Mr. Incubus! [BL]

Perasaan yang Berbalas



Perasaan yang Berbalas

0Di tengah udara awal musim dingin yang mulai menggigil, jalanan di sekitar area penginapan sangat sepi. Tidak banyak yang mengunjungi ibu kota di saat-saat sekarang karena tidak hanya suhunya yang membeku, tidak ada acara besar yang dapat menarik turis. Bisnis di penginapan pun tidak berjalan baik.     
0

Saat boss salah satu penginapan kecil yang sedang menghitung penghasilannya di meja resepsionis dengan wajah muram mendengar pintu penginapan dibuka, matanya berbinar. Ia segera menyingkirkan buku keuangannya, hendak mengangkat sudut bibirnya membentuk sebuah senyum tapi pergerakannya itu terhenti di tengah-tengah ketika menemukan tamunya adalah seorang incubus.     

Binaran mata boss itu langsung hilang, cemberut.     

Dengan ketus, ia berbicara kepada incubus berambut biru muda itu yang belum mencapai meja resepsionis. "Penginapan ini tidak gratis!" Tangannya melambai penuh ketidaksabaran untuk mengusir incubus itu.     

Di mata sang boss, semua incubus adalah budak yang melarat. Walaupun penginapannya terbilang kecil tapi harganya tetap bukan jumlah yang dapat dibayar oleh seorang budak.     

Akan tetapi, mengkhianati kepastian di hatinya, incubus itu tanpa basa-basi meletakkan kantong uang di atas meja.     

Tidak ada senyum di mata incubus itu dan bibirnya pun datar bagaikan seutas tali. "Satu kamar untuk satu malam."     

Ragu-ragu, boss penginapan mengambil kantong uang lalu menghitung isinya. "Ini … hanya cukup untuk kamar satu orang," ujarnya sembari melirik sesosok yang lebih pendek yang tertutup kain di samping incubus itu.     

Incubus itu hanya mengangguk, tampak sudah tahu.     

Melihat incubus ini benar-benar memberinya pemasukan kecil di tengah kemunduran bisnisnya, ekspresi wajahnya membaik. Dengan senyum lebar, ia buru-buru membawa kedua orang itu ke kamar di lantai dua. Kamar itu sudah dibersihkan tadi pagi jadi ia hanya membuka pintu, bergeser ke samping untuk mempersilahkan tamunya masuk lalu menyerahkan kunci kamar tersebut. "Jika perlu sesuatu, silahkan panggil aku di bawah." Setelah memberi pesan tersebut, boss penginapan menutup pintu rapat-rapat.     

Melihat boss itu sudah pergi, Yuki segera menyingkirkan kain itu dari tubuhnya. Alex masih dalam diam, mengunci pintu sembari mendengar bunyi langkah kaki boss penginapan, memastikan boss itu benar-benar sudah pergi jauh.     

Kontras dengan ketenangan Alex, Yuki dipenuhi kepanikan.     

Sebelumnya mereka masih berada di tempat terbuka, jadi Yuki menahan diri. Sekarang, setelah berhasil memasuki kamar, Yuki membuka mulutnya, ingin menjelaskan tapi Alex menyela.     

"Minum," ujarnya seraya membalik cangkir teh yang diletakkan di meja kamar lalu menuangkan teh hangat dari termos milik Alex.     

"A—"     

"Minum dulu."     

Tidak punya pilihan lain, Yuki meneguk seluruh isi cangkir itu. Cairan hangat mengalir turun dari kerongkongannya, menghangatkan perutnya.     

Setelah Alex menyalakan pemanas ruangan, pria itu menarik kursi lalu duduk berhadap-hadapan dengan Yuki.     

Yuki yang baru saja minum tiba-tiba merasa tenggorokannya kembali kering. Ia ingin berucap tapi tidak ada suara yang keluar.     

"Mengapa kau tidak mencariku untuk membicarakan mengenai bayi ini?" Kontras dengan keraguan Yuki, Alex tidak berbasa-basi dan langsung mengucapkan inti kemarahannya.     

Alex sendiri berusaha untuk membicarakan mengenai malam itu tapi karena permasalahan Emilia, ia tidak pernah punya waktu untuk berdua saja dengan Yuki. Ia hanya bisa mengamati keadaan Yuki tapi karena ilusi yang Yuki gunakan, ia tidak pernah tahu bahwa Yuki sudah hamil. Memikirkan kesibukan selama tiga minggu ini dan bagaimana wajah Yuki semakin terlihat tidak sehat setiap harinya, awan hitam melapisi wajah Alex.     

Melihat pria itu tidak senang, Yuki mengira Alex tidak suka ia telah mengandung dan membiarkan janin ini berkembang. Meskipun hatinya tertusuk-tusuk, ia mempertahankan kedinginan di wajahnya dan berucap, "Kau tidak perlu khawatir. Aku akan membesarkannya sendiri jadi kau tidak perlu memberikan pertanggung jawaban."     

BAM!     

Alex tiba-tiba memukul meja dengan kepalan tangan.     

Yuki terperanjat kaget. Kedinginan di wajahnya sedikit retak, membiarkan kesedihan di hatinya kabur dari retakan-retakan itu.     

"Kau kira aku tidak menerima anak ini?" tanya Alex. Ketidakpercayaan terdengar jelas dari nada ucapannya.     

Yuki merasa hatinya tersayat-sayat ketika mendengar nada bicara Alex, seperti ia bisa merasakan kesedihan yang mendalam dan kesakitan darinya tapi Yuki yakin itu hanya halusinasi.     

Menggigit bibirnya sejenak untuk menghentikan gemetar di tubuhnya, Yuki mengembalikan topeng dingin di wajah. Namun, ia tetap tidak dapat menatap Alex lurus-lurus, takut topengnya akan kembali retak lagi jadi ia menurunkan pandangannya pada leher Alex. "Bukankah begitu?" balasnya dan seketika itu juga, ia merasa seluruh mulutnya pahit.     

Alex bergeming untuk beberapa saat. Yuki dapat melihat jakun yang bergerak naik turun tapi tidak tahu apakah itu adalah kemarahan atau kesedihan atau mungkin perasaan lainnya.     

Helaan napas berat kabur dari mulut Alex. Yuki refleks mendongak. Ia langsung di hadapkan dengan sepasang mata yang sedikit memerah, terlihat seperti akan menangis. Yuki mengerjap beberapa kali, mengira ia lagi-lagi berhalusinasi, tapi bagian putih dari mata Alex semakin memerah.     

Alex kembali menatap Yuki. Walaupun hanya sekejap tapi Yuki merasa bisa melihat bola mata itu bergetar.     

"Kau tahu apa yang aku pikirkan selama tiga minggu ini ketika melihatmu?"     

Yuki tidak menjawab tapi tanda tanya tergantung di kepalanya.     

Senyum tipis tersungging di wajah Alex tapi tidak menambahkan kebahagiaan di wajah itu melainkan kesedihan yang semakin pekat. "Aku sedikit kecewa karena aku tidak berhasil meninggalkan benihku di dalam dirimu."     

Yuki terbelalak lebar. Otaknya tiba-tiba berhenti bekerja membuat wajahnya terlihat bingung dan bodoh tapi terdapat kepolosan yang tidak pernah Alex lihat, membuat jantungnya berdesir.     

Tiba-tiba Alex merasakan harapan kecil. Ia berdiri, melangkah kecil mendekati Yuki. "Aku pikir jika kau mengandung keturunanku …."     

Yuki refleks mendongak, mengikuti pergerakan Alex. Tubuh jangkung itu semakin dekat dan semakin dekat membuat otaknya semakin sulit bekerja. Tanpa sadar, ia ingin mundur tapi ia duduk di kursi yang memiliki sandaran dan jika ia ingin mundur, ia harus berdiri dan berpindah posisi dulu yang notabene tidak mungkin karena sekarang, Alex sudah berdiri di depannya tanpa meninggalkan sedikit jarak pun. Merasa itu tidak cukup, Alex membungkukkan badannya, menumpu kan kedua tangannya pada sandaran lengan kursi yang di duduki Yuki, mengunci pergerakan Yuki seluruhnya.     

Mata bertemu mata, mungkin ini pertama kalinya hati mereka benar-benar terbuka terhadap satu sama lain.     

"… aku pikir aku akan bisa menguncimu dalam genggamanku lalu aku akan membuatmu jatuh cinta padaku secara perlahan memanfaatkan keberadaan anak itu," lanjut Alex.     

Mata Yuki semakin membulat lebar. Jantungnya meloncat hingga terasa akan meloncat keluar dari mulutnya.     

Alex menurunkan pandangannya pada perut besar Yuki, mengulurkan tangannya untuk mengelus pelan. Senyum tipis di wajahnya semakin melebar. "Maafkan Ayahmu ini tapi kau harus bekerja sama dengan Ayah sehingga kita bisa punya keluarga yang bahagia."     

Seperti memahami Alex, bayi itu menendang perut Yuki dua kali.     

Yuki tertegun.     

Melihat pria yang ia cintai tidak marah, harapan Alex semakin besar. Ia bermaksud untuk bertindak lebih berani ketika Yuki menyambar pergelangan tangannya. Tidak menghiraukan kemungkinan menyundul wajah Alex, Yuki berdiri dengan heboh.     

Alex harus mundur dua langkah untuk menghindari Yuki. Wajahnya sedikit kelam.     

'Apa ini cara baru untuk memarahiku?' Berpikir hidungnya bisa saja patah dengan momentum pergerakan Yuki, harapan Alex mulai kembali pupus.     

Yuki tidak menyadari semua itu. Ia bergerak tanpa berpikir dan sekarang hanya kalimat Alex sebelumnya yang terus berputar kembali di dalam benaknya bagaikan kaset rusak.     

Ia menarik lengan Alex lebih kuat seraya mendongak, menatap Alex sedikit ragu tapi juga sedikit berharap. "A—apa yang kau katakan tadi?"     

Alex telah berbicara dua kalimat panjang dan ia tidak tahu yang mana yang dimaksud Yuki. Melihat binaran mata Yuki dengan heran, Alex menduga-duga, "Keluarga yang bahagia?"     

Yuki terpana. Binaran di matanya semakin terang dan senyum yang langka menghiasi bibirnya. "Lalu?" tanyanya penuh harap.     

Kecurigaan memenuhi Alex tapi ia ragu. Tidak mungkin semudah itu kan?     

Ragu-ragu, Alex membuka mulutnya, "Membuatmu … jatuh cinta padaku?"     

Alex tidak akan pernah melupakan ekspresi wajah Yuki saat itu. Begitu manis dan bercahaya, membuat jantung Alex hampir meledak.     

Entah apa yang merasuki Yuki tapi ia benar-benar terlalu bahagia untuk memikirkan rasa malu. Tanpa pikkr panjang, ia melingkarkan lengannya pada leher Alex, menarik paksa wajah itu untuk menunduk hingga bibir mereka bertemu.     

Alex tertegun. Matanya terbelalak lebar. Ia hampir mengira ini semua hanyalah mimpi indahnya tapi ketika ia menusuk telapak tangannya dengan menggenggam tangannya erat-erat, ia merasakan sakit.     

'Ini nyata! Ini nyata!'     

Alex melingkarkan satu lengannya pada pinggang Yuki sementara tangannya yang lain mendorong lembut belakang kepala Yuki ketika ia mulai memperdalam ciuman mereka ….     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.