This is Your Baby, Mr. Incubus! [BL]

Tidak ada Ketiga Kali



Tidak ada Ketiga Kali

0Udara malam musim gugur yang menggigil menari-nari melalui pintu masuk di tepi halaman kediaman Luca, mengalir menuruni tangga batu menuju penjara bawah tanah.     
0

Bau lembap dan busuk sudah sangat menusuk. Ketika udara berhasil masuk, bau busuk itu semakin tak tertahankan. Bara api obor yang menerangi area itu ikut bergetar, menghasilkan bayangan kabur sesosok half-beast yang terikat pada kursi dengan kepala tertunduk dalam, memberikan nuansa horror.     

Tak! Tak!     

Bunyi sol sepatu yang bertemu dengan tangga batu menggema. Telinga sosok itu tersentak.     

Ketika bunyi tersebut semakin keras, sosok itu mengangkat wajahnya. Bola mata abu-abu terbelalak, merefleksikan bayangan pria jangkung yang belakangan ini telah menggetarkan hatinya sedang berdiri di depannya dengan wajah suram. Satu tangan pria itu mengeluarkan bola api lembut sebagai penerangan.     

Sosok half-beast itu, Shikida Toma, membuka mulut tapi tidak ada kata-kata yang keluar. Sorot matanya yang sejak kemarin selalu dipenuhi penyesalan tiba-tiba memiliki secercah kerinduan, begitu jelas hingga Vasile refleks mengalihkan pandangannya. Ia takut hatinya goyah.     

Keheningan melanda keduanya untuk beberapa saat.     

Udara dingin menerpa Toma yang berpakaian tipis, membuatnya menggigil tapi sorot matanya tetap tidak berubah, tetap terfokus pada Vasile. Mulutnya terbuka dan tertutup berkali-kali penuh keraguan tapi seluruh tubuhnya tegap dan penuh tekad kuat yang tak tergoyahkan. Sinar matanya bahkan sangat terang hingga Vasile yang sudah memalingkan wajahnya pun masih dapat menangkap binaran tersebut dari sudut matanya.     

Melihat Toma menggigil beberapa kali walaupun pria serigala itu telah berusaha menutupinya, Vasile tidak bisa lagi berpura-pura buta.     

Apa pun yang terjadi antara Toma dan keponakannya serta seberapa banyak kali ia menyuruh dirinya untuk melupakan Toma, pada akhirnya, Vasile masih memegang perasaan cintanya dengan teguh. Sulit baginya untuk melepas perasaan yang telah tumbuh begitu lama, jauh sebelum yang ia sadari, hanya dalam waktu beberapa hari.     

Kakinya melangkah mendekat. Dengan dua gerakan besar, jas yang membalut tubuh Vasile dengan rapi telah membungkus tubuh Toma. Aroma jeruk yang selalu menempel pada tubuh Vasile berbondong-bondong memasuki area penciuman Toma, memberinya kehangatan yang telah ia rindukan. Sudut matanya memerah.     

"Sudah … berapa hari berlalu?" Toma tidak ingin mempertanyakan hal ini. Ada banyak hal yang lebih penting untuk ia bahas tapi pada akhirnya, mulutnya hanya sanggup mengucapkan empat kata itu.     

Vasile tertunduk dalam, tidak sanggup menatap wajah Toma sehingga Toma tidak bisa melihat ekspresinya dengan baik. "Lima hari. Sudah lima hari …." Mendengar kesedihan di ujung ucapannya, Toma menyadari bahwa Luca belum kembali sadar.     

Toma tidak tahu harus mengatakan apa.     

Ia ingin menghibur Vasile tapi walaupun ia berada di bawah kontrol orang lain, semua saksi mata telah menyaksikan Toma menusuk Luca berkali-kali. Ucapan menghibur Toma hanya akan membuatnya terdengar arogan dan tak tahu malu.     

Setelah berpikir cukup lama, pada akhirnya Toma hanya bisa mengucapkan, "Maaf."     

"Katakan itu kepada Luca secara langsung." Nada suara Vasile tiba-tiba menjadi dingin.     

Dalam keremangan, Toma melihat tangan Vasile yang terkepal erat hingga bergetar. Sepertinya ucapannya hanya akan memberi Vasile lebih banyak luka.     

Toma segera menutup mulutnya rapat-rapat. Hanya matanya yang menatap Vasile dengan sorot sakit.     

Vasile tidak menyadari sorot mata tersebut karena ia masih tertunduk dalam, menahan segala emosi yang bercampur aduk hingga membuatnya mual. Kepalanya pusing karena terlalu banyak pikiran yang berputar di dalamnya.     

Lima hari ini, ia bahkan belum tidur sedetik pun. Jika ruangan ini tidak gelap, Toma pasti sudah menyadari kantung mata yang tidak kalah gelapnya dengan milik Lonel.     

Entah berapa lama berlalu.     

Vasile akhirnya berdiri dari posisi jongkoknya di depan Toma lalu mundur beberapa langkah. Setelah meremas kedua tangannya beberapa kali, kepalanya pelan-pelan terangkat. Sepasang mata merah gelap ragu-ragu bertemu pandang dengan Toma.     

Toma telah berhasil menutupi seluruh perasaannya – berpikir bahwa memperlihatkan apa yang ia rasakan hanya akan menyakiti Vasile – sehingga Vasile tidak tahu apa yang sedang Toma pikirkan. Hanya saja, entah mengapa, Vasile yakin Toma tidak sedang dalam keadaan bahagia setelah misi membunuh Luca berhasil.     

Pikiran ini membuat Vasile sedikit bingung.     

"Kau tidak tersenyum lebar? Bersorak bahagia?"     

Toma mengernyit. "Untuk apa?"     

"Kau telah berhasil melakukan misimu."     

Bukannya tersenyum lebar, wajah Toma memucat. "Dia … Tuan Luca … meninggal?"     

"TIDAK MUNGKIN!" Jantung Vasile hampir berhenti berdetak. Hal yang paling tidak ingin ia bayangkan untuk terjadi pada Luca saat ini terucapkan dari mulut Toma, membuat dadanya sakit. Ketakutan yang sudah ia tekan dengan susah payah kembali menghantuinya.     

Di sisi lain, Toma menghela napas lega.     

Menangkap helaan lembut tersebut, keadaan emosional Vasile yang belum stabil kembali terprovokasi. "Apa yang kau pikirkan? Seharusnya kau kesal bukan? Misimu sudah gagal! Atau apa? Kau berani membunuh orang tapi setelah itu kau menjadi takut? Aku tidak tahu kau orang yang seperti itu."     

Vasile menyesali mulutnya yang tidak dapat dikontrol.     

Sekarang, Toma mengernyit dalam, kembali memiliki sorot mata kesakitan. Vasile juga ikut merasa sakit melihatnya dan hal ini membuatnya gila.     

Ia ingin membenci Toma karena telah melukai Luca. Ia ingin membuang perasaannya, membuang Toma dari sini. Ia tidak ingin melihat wajah Toma lagi. Ia terus meyakinkan dirinya selama lima hari ini bahwa ia membenci Toma, tidak lagi menyukainya tapi pagi ini ketika Silver mengatakan bahwa ia akan membawa Toma untuk diadili jika Vasile berkehendak, Vasile tanpa sadar, bahkan dengan sangat terburu-buru menangkap tangan Silver, menghentikannya secepat mungkin. Vasile bahkan tanpa sadar berlutut dan ketika ia kembali tersadar, ia tidak lagi dapat mengelabui dirinya sendiri.     

Tanpa pikir panjang, ia berlari keluar dari kediaman dan berhenti di hadapan Toma.     

Toma sendiri tahu ia akan mendapatkan kebencian setelah segala perbuatannya tapi setelah melihat Vasile yang masih mau membungkus tubuhnya dengan jas, Toma tidak bisa menghentikan dirinya untuk menumbuhkan sedikit harapan. Harapan itu pada akhirnya dihancurkan dalam sekejap mata.     

"Aku … lupakan! Aku ingin mengatakan hal lain," ujar Vasile pada akhirnya. Napasnya sudah kembali tenang.     

Toma tidak mengatakan apa-apa, hanya menunggu.     

"Ketika Luca siuman, aku akan menerima hukuman apa pun yang Luca ingin berikan kemudian pergi dari kediaman ini setelah memutuskan seluruh hubungan dengan Luca."     

"Ka—kau tidak perlu melaku—"     

"Aku!" sela Vasile, suaranya sangat tidak terkontrol. Setelah kembali menenangkan dirinya untuk beberapa saat, ia berkata, "Aku punya janji yang harus dipertanggung jawabkan. Aku sudah meyakinkan Luca bahwa aku akan merubah pikiranmu dan tidak akan membawa bahaya dengan membawamu ke dalam kediaman. Tapi, aku tidak berhasil. Kau tetap melakukan misimu dan membahayakan Luca. Aku tidak menepati janjiku dan sesuai kesepakatan aku harus pergi dari sini."     

Hati Toma terasa ditusuk oleh ribuan panah. Ia buru-buru menggeleng kuat. "Kau tidak perlu! Aku … jika aku mengatakan bahwa kau telah berhasil menepati janjimu, apa kau percaya?"     

Toma tahu ucapannya sekarang terdengar bodoh.     

Vasile pun merespons seperti yang Toma pikirkan. 'Siapa yang ingin kau bodohi?' tertulis jelas di wajah Vasile tapi Toma tidak membual!     

Ia pergi menemui Daigo Tudor untuk menolak misi itu. Ia tidak ingin menyakiti Vasile dengan melukai orang berharganya! Vasile sudah berhasil. Hati Toma sudah luluh untuk pria ini dan Toma tidak lagi memikirkan pembalasan apa pun.     

Hanya saja, Toma yang terlalu naif. Ia tidak tahu Tudor yang selama ini dipandangannya adalah sesosok yang mulia, yang memikirkan kesejahteraan kaumnya lebih dari apa pun, bisa membohongi Toma dan menjebaknya seperti ini.     

Jika ada yang perlu mendapatkan hukuman, cukup Toma saja yang menerima hukuman itu.     

Air mata yang telah ia bendung tidak lagi bisa ditahan dan langsung jatuh bebas. Kilauannya terpantul oleh kobaran api obor, tertangkap pandangan Vasile.     

Alis Vasile mengernyit dalam. Hatinya semakin sakit. Di saat yang bersamaan, Vasile ingin menertawakan dirinya sendiri. Bagaimana mungkin ia bisa membenci Toma jika hanya dengan melihat setetes air mata jatuh dari bola mata abu-abu itu saja telah membuat sakit di hatinya tak tertahankan, membuat tangannya ingin cepat-cepat menghapus air mata itu dan mendorong bibirnya untuk mengucapkan kata-kata penghiburan agar dapat menghentikan Toma dari merasakan sakit. Terlepas dari kenyataan bahwa Toma merupakan sosok yang telah menyakiti orang berharganya.     

Setelah membaca begitu banyak novel dan menonton begitu banyak drama, Vasile tidak menyangka ia akan merasakan salah satu pergolakan emosi yang menjadi favorit dari drama-drama tersebut.     

Memikirkannya membuat Vasile merasa dirinya begitu konyol. Ia tidak pernah membenci sifat setianya. Sebaliknya, selama ini ia bangga akan sifatnya yang satu itu.     

Begitu setia hingga dikhianati dua kali dalam kehidupan yang berbeda …. Vasile merasa dirinya sangat menyedihkan.     

Toma tidak tahu apa yang dipikirkan Vasile. Ia hanya tidak ingin menyerah dan kembali berucap di tengah isakannya, "Aku … jika aku mengatakan … bukan aku yang melukai Tuan Luca … apa—"     

Kekecewaan terpancar jelas dari pandangan Vasile, membuat ucapan Toma tercekat di tenggorokan.     

Toma ingin mengatakan bahwa ia tidak berbohong tapi Vasile sudah menyelanya, "Walaupun kau menyakiti orang yang aku sayangi, setidaknya aku tetap berharap kau berkata jujur." Kekecewaan yang ia rasakan sangat kuat hingga teresap di dalam setiap kata yang ia ucapkan.     

Toma ingin menyangkal. Ia ingin berkata bahwa ia jujur tapi Vasile telah membalikkan badannya.     

"Aku akan meminta Luca membiarkanmu lepas. Setelah semuanya selesai, aku akan membawamu keluar dan setelah itu …." Vasile menarik napas dalam-dalam. "Mari kita berpisah."     

"Va—"     

Vasile tidak ingin mendengarkan ucapan Toma. Ia tidak ingin kembali goyah.     

Sudah waktunya ia melepas perasaan ini. Tidak akan ada ketiga kali bagi dirinya untuk merasakan rasa sakit dari orang yang sama lagi.     

Langkah kaki yang terburu-buru menaiki tangga batu menggema di dalam penjara bawah tanah, meninggalkan Toma yang tertunduk dalam, menyalahkan kebodohannya,     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.