This is Your Baby, Mr. Incubus! [BL]

Keputusan yang Logis



Keputusan yang Logis

0Luca merasa tubuhnya mendingin seketika.     
0

Tepat di hadapannya sekarang, berdiri di atas cabang pohon yang kokoh, sesosok incubus berambut putih bersih menatap Luca dengan pandangan yang dalam. Luca tidak dapat membaca apa yang sedang dipikirkan wanita itu sekarang.     

Menelan ludah dengan susah payah, Luca menjadi panik. Bola matanya berayun ke sana kemari, berpikir untuk kabur dari sana tapi sudah terlambat. Ecatarina sudah berdiri di hadapan dirinya yang tanpa penyamaran sama sekali. Luca juga tidak tahu sejak kapan Ecatarina berada di sana. Kemungkinan besar, wanita itu telah mendengar percakapannya dengan Mihai. Luca sadar bahwa ia telah tertangkap basah dan tidak dapat mengelak.     

'Kalau begitu ….' Luca menenangkan pikirannya dengan menarik napas dalam-dalam. Kakinya membentuk kuda-kuda kokoh dan kedua tangan terkepal erat, siap menyerang jika Ecatarina meluncurkan tinjunya. Luca tidak tahu apakah ia dapat melawan kekuatan sihir yang dimiliki Ecatarina tapi Luca tidak gentar. Matanya memicing tajam penuh ancaman.     

Bagaikan ancaman itu tidak terasa, Ecatarina dengan santai meloncat dan mendarat pada batang pohon yang Luca pijak. Dedaunan pada batang itu bergoyang ke atas-bawah beberapa kali sebelum kembali tenang.     

Ecatarina membalas tatapan Luca dengan santai. Keduanya bertatapan cukup lama hingga Luca tidak lagi menghitung berapa lama waktu berlalu.     

Jantung Luca berdetak kencang. 'Apa yang sedang ia pikirkan?'     

Walaupun Ecatarina tidak bergerak sama sekali, Luca tetap tidak mengendurkan kewaspadaannya. Sebaliknya, kepalan tangannya semakin erat, siap kapan saja untuk meluncur jika wanita itu memperlihatkan pergerakan yang mencurigakan.     

"Mm." Tiba-tiba, Ecatarina bergumam. Kakinya mulai memperlihatkan pergerakan.     

'Dia akan menyerang!' Luca refleks mengayunkan tinjunya.     

Akan tetapi, tinjunya berhenti di atas kepala Ecatarina. Bukan karena tinju Luca meleset, melainkan wanita itu telah duduk di atas batang pohon dengan kedua kaki berayun riang.     

Tidak menghiraukan Luca yang mematung dalam pose tinjunya, Ecatarina mendongak. Ia tersenyum tipis sembari menepuk-nepuk tangannya pada tempat kosong di samping. "Duduklah," ucapnya lembut.     

Luca melirik Ecatarina. Kedua pandangan kembali bertemu.     

Ecatarina dapat melihat keraguan di mata Luca tapi wanita itu hanya melebarkan senyumnya dan mengulang kata 'duduklah.'     

Setelah merenung beberapa saat, akhirnya Luca duduk. Seluruh tubuhnya tetap tegang, penuh kewaspadaan.     

Di mata Ecatarina sekarang, Luca terlihat seperti kucing yang menemukan benda asing. Penuh kewaspadaan ditambah sedikit ketakutan tapi tetap penuh penasaran sehingga tidak bisa menghentikan dirinya untuk sedikit demi sedikit mendekat untuk mengetahui benda tersebut. Ecatarina merasa Luca terlihat lucu dan langsung tertawa.     

Sebaliknya, punggung Luca langsung menegap ketika Ecatarina tertawa. Sinar matanya memancarkan keraguan, kebingungan, ketakutan, dan kewaspadaan yang bercampur menjadi satu dengan sangat jelas.     

Melihat itu, Ecatarina hampir kehilangan kontrol tawanya tapi ia memutuskan untuk tidak menggoda Luca lebih dari ini. Berdehem kecil, Ecatarina mengembalikan fokusnya pada topik penting. "Aku sedikit sakit hati kau tidak memberitahuku rencanamu yang sebenarnya tapi aku rasa keputusanmu logis."     

Alis Luca merajut, masih tidak dapat memutuskan apakah Ecatarina musuh atau bukan dari ucapannya.     

"Lauren mencurigaimu. Bahkan sampai sekarang, ia masih sulit mempercayaimu seluruhnya sampai menugaskanku untuk mengawasimu malam ini."     

Wajah Luca menggelap tapi ia tidak terkejut. Ia sudah tahu Lauren tidak mempercayainya tapi mengetahui bahwa Lauren tetap tidak mempercayainya setelah percakapan mereka di balkon penginapan, Luca tahu ia harus mempercepat rencana mereka.     

"Ayolah jangan begitu tegang," ucapan Ecatarina menarik Luca kembali ke kenyataan.     

Luca tidak menyadari bahwa tubuhnya tidak bergerak sedikit pun dari tadi bagaikan ia adalah patung yang telah dipahat oleh pengrajin handal.     

Ecatarina melembutkan tatapannya. Ini pertama kalinya bagi Luca melihat ekspresi yang begitu tulus tanpa kelicikan ataupun tipu muslihat di wajah Ecatarina. Sebaliknya, Luca merasakan kehangatan seorang ibu di sana.     

"Aku tidak akan memberitahu Lauren tentang hal ini jadi kau bisa tenang saja."     

"Kau … yakin?" Mata Luca membulat kaget.     

"Mengapa aku harus tidak yakin?"     

"Bukankah kau bawahan Lauren?"     

"Siapa yang bilang aku bawahannya?" Ecatarina mendengus. Sebelah alisnya mengernyit dalam, penuh cemoohan. "Aku mendapatkan kekuatan darinya dengan bayaran yang sangat mahal. Kedua anakku tidak akan bisa bertumbuh dewasa selamanya karena kekuatan itu. Apa aku harus mematuhinya lebih dari ini? Aku tidak punya hutang apa pun kepadanya. Mungkin jika dia orang yang bijak, aku akan membantunya tanpa pikir panjang tapi …."     

Pandangan Ecatarina menggelap. "… aku tidak akan mengambil sisi seseorang yang dapat membunuh anak kecil tanpa ada keraguan sedikit pun."     

Luca melirik Ecatarina penuh pertimbangan. Dalam pengamatannya, Ecatarina tidak terlihat berbohong. Seluruh ekspresi Ecatarina sangat tulus dan jujur, terlihat sekali berasal dari lubuk hati wanita tersebut. Akan tetapi, Luca tidak bisa menghilangkan kemungkinan bahwa Ecatarina memiliki kemampuan akting yang luar biasa.     

"Hmm …." Ecatarina mengangkat sudut bibirnya semakin tinggi ketika menyadari isi pikiran Luca. Ia hanya mengedikkan bahu lalu kembali berdiri.     

Sambil menyapu debu dari roknya, ia berkata, "Kau bisa mengamatiku selama beberapa hari ini. Jika kau yakin bahwa aku tidak membual, libatkan aku dalam rencanamu. Aku mendapatkan kekuatan dari Lauren tapi bukan berarti kekuatan ini tidak bisa digunakan untuk menyerang pemberinya."     

Luca pada akhirnya hanya mengangguk. Keraguan belum hilang seluruhnya tapi ia memutuskan untuk mengikuti perkataan Ecatarina untuk mengamati wanita tersebut beberapa hari ini.     

Ecatarina mengangguk puas. Setelah melirik singkat pemandangan langit malam itu, ia berucap, "Sudah waktunya kembali …."     

*****     

Malam itu, setelah kembali dari pengamatan dan mendiskusikan semuanya, mereka akhirnya memutuskan untuk menyerang Kota Besar yang terletak paling jauh dari Kota Hanju terlebih dahulu.     

Keputusan telah diambil, mereka pun mulai mengirimkan surat-surat kepada beberapa kelompok pemberontak yang berada di dekat area Kota Besar tersebut untuk bersiap-siap. Mereka akan memulai penyerangan dua hari dari sekarang.     

Ketika seluruh pekerjaan selesai dan mereka dapat berbaring di atas tempat tidur, hari sudah berganti.     

Tubuh mereka telah bekerja begitu keras sehingga kebanyakan dari mereka langsung tertidur pulas ketika bersentuhan dengan tempat tidur tapi itu tidak terjadi pada Luca.     

Terlalu banyak hal yang terjadi hingga ketika gong yang dibawa oleh petugas berdentang tiga kali – menandakan bahwa waktu telah menunjukkan pukul 3 subuh, Luca belum dapat larut dalam alam mimpi.     

'Lupakan! Aku butuh udara segar.'     

Luca turun dari tempat tidur lalu berjingkat-jingkat menuju lemari (sejak setahun lalu, ia mulai tidur satu kamar dengan Steve untuk menghemat biaya), tidak ingin membangunkan sahabatnya yang tidur di tempat tidur sebelah. Setelah mengambil mantel tipis, ia keluar dari kamar menuju balkon.     

Celingak-celinguk memastikan tidak ada orang lain di sekitarnya, Luca menaiki pagar balkon lalu meloncat ke atas atap genteng. Tangannya memegang sebotol alkohol yang ia beli tanpa pikir panjang di sebuah toko beberapa hari lalu.     

Setelah mendapatkan posisi duduk yang nyaman, ia menuangkan alkohol di cangkir lalu meneguk habis isinya dalam satu pergerakan. Berdesah puas, matanya menatap bulan sabit yang masih tergantung terang di atas langit.     

Udara lembap musim panas menyapu wajah Luca. Kesegaran udara tersebut memberinya sedikit kelegaan. Meskipun efeknya tidak bertahan lama.     

Entah berapa lama waktu telah belalu untuk Luca menatap langit malam sambil meneguk alkoholnya, tenggelam dalam pikiran yang kembali mengusik.     

Tak! Tak!     

Bunyi sandal kayu yang bertemu dengan permukaan genteng menarik Luca kembali dari lamunannya.     

"Apa yang sedang mengganggumu?" tanya suara pria yang lembut.     

Luca mengalihkan pandangannya, menangkap sosok Steve yang sedang memposisikan dirinya agar dapat duduk nyaman di atas atap. Wajahnya yang menoleh sedikit ke arah Luca terhias oleh senyum lembut.     

"Jika kau mau, aku bisa menjadi pendengar."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.