This is Your Baby, Mr. Incubus! [BL]

Persembunyian di Bukit Herme (1)



Persembunyian di Bukit Herme (1)

0"Aku akan menggambar desain baru kemasan ramuan setelah ini. Besok pagi aku akan menyerahkannya padamu," ujar Victor setelah Albert dan Lonel menjelaskan hasil percakapan mereka dengan utusan dari Organisasi Cross.     
0

Wajah keduanya masih memiliki sisa-sisa makeup penyamaran. Keduanya merupakan utusan dari Pemburu Half-beast untuk berkomunikasi dengan para pembeli. Oleh sebab itu, agar tidak ditemukan identitas aslinya, keduanya harus selalu mengenakan makeup penyamaran sebelum bertemu dengan klien. Yang membuat bahan makeup tersebut adalah Albert – agar sehat bagi kulit walaupun digunakan cukup lama, dan Victor lah yang mengenakan makeup ke wajah mereka. Victor cukup lihai dengan tangannya jadi hasilnya sangat bagus hingga tidak ada yang bisa mengenal bahwa kedua orang tersebut adalah Lonel dan Albert.     

Luca mengangguk. "Aku serahkan padamu."     

Ucapan itu menandakan mereka semua bisa bubar. Satu per satu dari mereka pun berjalan keluar dari kamar Luca untuk beristirahat di kamar mereka masing-masing.     

Ecatarina harus menghadapi kedua anaknya yang berseru mengenai ketidaksabaran mereka untuk memasuki permandian air panas yang dimiliki penginapan tersebut. Vasile menyatakan selamat malam sebelum keluar sambil menyeret Lauren pergi, jika tidak Lauren pasti akan bersikeras untuk tinggal di kamar Luca dan merecoki Luca dengan lebih banyak hal lagi tanpa mempedulikan Luca yang telah berwajah lelah. Albert dan Lonel saling memandang satu sama lain sengit sebelum membuang muka lalu berjalan menuju pintu keluar. Namun, karena tubuh Albert yang besar, keduanya tersangkut di kusen pintu masuk yang kecil.     

"Aku keluar dulu! Kau minggir!" pinta Lonel setelah berdecak kesal.     

Albert tersinggung dengan decakan itu dan bersikeras untuk keluar duluan.     

Setelah keduanya bergabung dengan kelompok Luca, ketidakakuran mereka semakin jelas terlihat. Mungkin karena Lonel yang membentuk racun telah melanggar prinsip Albert sebagai seorang dokter. Namun, karena mereka berdua harus bekerja sama untuk beberapa produk, walaupun keduanya saling bermusuhan, Albert dan Lonel harus menahan desakan untuk memuntahi wajah satu sama lain dan bekerja sama.     

Victor yang akhirnya kesulitan untuk melerai keduanya.     

Sebelum pergi, Victor berjalan kembali kepada Luca lalu membungkuk hingga mulutnya cukup dekat pada telinga Luca.     

"Dia akan mengobservasi," bisik Victor.     

Mendengar itu, Luca mengangguk paham. "Terima kasih untuk kerja kerasmu."     

Victor mengangkat tangannya tinggi-tinggi, meregangkan otot-ototnya yang kaku hingga menghasilnya bunyi-bunyi gemeretak. Senyum tersungging di wajahnya. "Tidak masalah. Aku sudah bersedia mengerjakan semua ini ketika memutuskan mengikutimu."     

Luca tersenyum tipis, tidak bermaksud mengucapkan apa pun sebagai balasan. Pandangannya beralih pada jendela yang telah Vasile buka sebelum pergi, menatap langit musim panas yang sedikit mendung. Udara lembab memasuki jendela, membelai wajah Luca yang memerah.     

Benaknya menyelami lautan ingatan, berhenti pada sebuah rumah kecil di area kiri Bukit Luito. Seorang anak kecil yang tertawa-tawa sambil berlari di sekitar rumah, tersenyum lebar kepadanya.     

Bulu mata Luca bergetar sembari terpejam erat. Ia menggigit bibir bagian bawahnya pelan dan jantungnya berdetak semakin kencang.     

,Besok aku bisa ….,     

Hembusan angin menggelitik pipinya, memainkan helai-helai rambut panjangnya yang terikat satu ke belakang ….     

Victor hanya menatap atasannya itu sedikit heran sebelum diam-diam berjalan keluar dari kamar, tidak ingin mengganggu Luca yang terlihat lebih bahagia dari biasanya ….     

*****     

Berkas-berkas cahaya matahari menyelinap melalui sela-sela jendela kamar, mengusik tidur Luca. Ia buru-buru bangun, mencuci mukanya, lalu mengenakan pakaian baru yang bersih: sebuah kemeja dan celana kain hitam, dibalut luaran berlengan lebar berwarna hijau tua.     

Hari baru saja berubah menjadi pagi tapi ketika Luca menuju ruang makan penginapan di lantai dasar, ia menemukan semua teman seperjuangannya telah duduk di sana. Beberapa masih terbalut baju tidur, beberapa telah rapi.     

"Kau sudah siap untuk pergi ke sana?" tanya Vasile ketika menyadari Luca yang sedang menuruni tangga.     

Luca hanya mengangguk singkat. Ia memesan sarapan ringan lalu duduk di hadapan sang paman.     

"Hati-hati," pesan Vasile singkat, kontras dengan tatapan matanya yang penuh dengan arti dan pesan panjang. Vasile buru-buru mengubah sorot matanya ketika Lauren berjalan mendekat dari belakang Luca.     

Lauren menepuk punggung Luca pelan. "Jangan lupakan kata-katamu kemarin, Luca," pesannya. Tangannya mencengkeram bahu Luca erat, begitu kuat hingga membuat Luca hampir mengeluh tapi Luca bergeming, memasang wajah santai.     

"Aku selalu ingat kata-kataku. Tidak perlu khawatir."     

Walaupun Luca telah mengatakan kalimat tersebut, Lauren tetap tidak menghentikan ketidaksenangannya. Wajahnya muram hingga Luca menyelesaikan sarapan dan berpamitan.     

Sebelum pergi, ia berpesan kepada yang lainnya untuk tetap melaksanakan tugas mereka masing-masing seperti biasa, sesuai dengan rencana awal. Walaupun Luca mendapatkan tugas baru, bukan berarti rekannya yang lain juga harus berhenti dan mengerjakan tugas baru bersama Luca. Mereka tidak punya begitu banyak waktu untuk dibuang dan di sia-siakan.     

Seperti kemarin, suasana Kota Hanju tetaplah suram. Orang-orang yang melewati jalanan melangkah dengan terburu-buru seperti sedang dikejar hantu. Tidak ada yang merasa aman lagi untuk berjalan-jalan di tengah kota sehingga mereka yang terpaksa harus keluar terus berharap mereka bisa cepat-cepat pulang ke rumah dan berlindung di dalamnya.     

Hanya sedikit toko yang buka, itu pun kebanyakan hanya untuk beberapa jam sebelum ditutup kembali dengan terburu-buru. Hanya beberapa yang tetap beroperasi seperti biasa.     

Luca menatap ke kejauhan, menangkap puncak Bukit Herme yang hijau. Tanpa sadar, langkah kakinya menjadi semakin cepat hingga ia mulai berlari kecil. Ketika ia sampai di kaki bukit, napasnya sudah tidak keruan. Namun, ia tidak peduli.     

Dengan langkah kaki yang masih cepat dan tanpa mengatur kembali napasnya terlebih dahulu, Luca berjalan menaiki jalanan Bukit Herme yang telah tertutup oleh padatnya semak-semak. Bukit ini tidak sesubur Bukit Luito dan berada di tepi area yang dipenuhi kediaman kaum half-beast. Kaum half-beast tidak sudi untuk berkebun sehingga tidak mungkin ada yang mengunjungi Bukit Herme untuk memangkas semak-semak agar jalan masuknya menjadi lebih mudah. Lagipula, jangankan merawatnya, orang-orang yang mendekati bukit ini sangatlah sedikit, bisa dikatakan langka.     

Walaupun jalanannya sulit tapi bagi Luca yang telah tinggal di area berbagai bukit dalam kurun waktu yang begitu lama, ia tidak kesulitan untuk mencari arah yang diberitahukan Separo kepadanya.     

Luca menguak dedaunan yang menutupi pandangannya, terus maju dengan kecepatan tinggi. Jantungnya berdegup kencang – entah karena kecepatan langkahnya yang terlalu tinggi atau karena alasan lain – hingga telinganya dipekakkan oleh bunyi degupan jantungnya saja.     

Srek!     

"?!"     

"!!"     

Luca berhenti melangkah. Kedua matanya terbelalak lebar hingga bola matanya terasa akan keluar kapan saja.     

Di saat yang bersamaan, bunyi cipratan air menggema di tengah lebatnya pepohonan. Sinar matahari pagi yang lembut menyelinap melalui sela-sela ranting pohon, menyinari sebuah kolam danau yang tenang. Sesosok pria ramping berdiri di tengah kolam tersebut, berkulit bening dengan semburat merah di beberapa bagian tubuh. Bulir-bulir air jatuh menyusuri lekukan tubuhnya yang indah. Pantulan cahaya pada permukaan air danau membuat sosok tersebut berkilau bagaikan makhluk dari dunia lain.     

Terkejut akibat kemunculan seseorang secara tiba-tiba, telinga berbulunya berdiri tegak. Ekor berbulu coklat yang basah juga ikut bergerak naik, menghasilkan bunyi cipratan air sungai.     

Untuk beberapa saat keduanya saling bertatapan.     

Luca terpesona oleh sosok di hadapannya. Mulutnya terbuka tapi tidak ada kata-kata yang berhasil keluar darinya. Semburat merah menyebar di kedua pipi.     

Sosok itu juga ikut memerah. Kedua mata emasnya yang terbelalak sepintas berkilat penuh kerinduan.     

Baru setelah beberapa detik, keduanya tersadar bahwa sosok di dalam kolam itu tidak terbalut apa pun, murni layaknya bayi yang baru lahir.     

Sosok itu buru-buru menarik pakaiannya yang terletak di tepi kolam lalu membalut tubuhnya yang masih basah. Akibatnya, pakaian tipis itu menempel erat pada tubuhnya, membuat beberapa bagian kulitnya tampak jelas dari balik kain pakaian.     

Luca tanpa sadar menelan ludah. Sorot matanya melembut dan mulutnya hendak mengucapkan sesuatu tapi ….     

"Mengapa kau ada di sini? Bukankah aku sudah bilang, aku tidak mau melihat wajahmu lagi selamanya?!" Sosok mixed blood di hadapannya, Mihai, mendesis dengan sorot mata tajam.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.