This is Your Baby, Mr. Incubus! [BL]

Aku Paham Sekarang



Aku Paham Sekarang

0Dalam tidurnya, Luca kembali memimpikan kejadian 7 tahun yang lalu, detik-detik di mana ia kehilangan pujaan hatinya, sumber oasis dan kebahagiaannya, dan dimulainya mimpi buruk yang terus menghantuinya.     
0

"!!"     

Luca terbangun dengan peluh membasahi sekujur tubuh, bagaikan ia baru dicebur di dalam kolam. Jantungnya berdegup kencang dan otaknya masih linglung. Hanya satu hal yang ia pikirkan, yaitu pergi ke ruangan pribadinya, mengambil potret Emilia, dan meminta maaf.     

Namun, tidak ia duga, di balik meja kerjanya, anak yang menjadi penyebab seluruh penderitaan dan penyesalannya sedang duduk santai di kelilingi berbagai benda miliknya.     

Otaknya langsung berkabut. Seluruh hal di sekelilingnya menjadi kabur dan ia hanya fokus pada anak itu.     

Benci. Ia sangat membenci anak ini.     

Ia selalu berpikir, jika anak ini tidak ada, semua penderitaan ini tidak akan terjadi.     

Di saat yang bersamaan, ia juga membenci dirinya yang tidak mampu membinasakan anak ini. Padahal anak ini sangat mungil dan rapuh. Dengan satu tekanan kuat di leher saja, anak ini akan kehilangan nyawanya.     

'Mengapa aku tidak bisa melakukan hal yang begitu mudah?'     

Apakah karena hatinya terlalu lembut? Namun, ia bisa membayangkan berjuta-juta kali bagaimana ia membunuh anak ini di dalam benaknya. Ia bukanlah seseorang yang sebaik itu.     

'Lalu mengapa?'     

"Apa yang kau lakukan di sini?" Suara Luca sedalam jurang tak berdasar. Aura membunuh menguar jelas dari tubuhnya.     

Anak itu, Mihai langsung tersentak kaget. Ketika menyadari keberadaan Luca, wajah anak itu memucat.     

Luca hendak membentaknya dan menegurnya karena telah memasuki ruangan pribadinya tanpa ijin tapi matanya langsung jatuh pada bingkai foto yang dipegang Mihai.     

Amarah langsung meledak. Kabut di otaknya semakin pekat.     

Ia tidak lagi tahu apa yang ia lakukan. Seluruh kontrol dirinya hilang.     

Padahal ia sadar anak ini ketakutan. Ia sadar anak ini terluka ketika ia menarik bingkai itu secara paksa. Seharusnya ia segera mengobati tangan itu.     

Namun, amarah dan kebenciannya terlalu pekat untuk dirinya memiliki waktu mempertimbangkan hati nuraninya.     

Matanya menatap potret gadis pujaannya. Di dalam potret itu, Emilia tersenyum lebar, penuh kebahagiaan.     

Ya … gadis ini selalu periang. Selalu menjadi mataharinya di pagi dan siang hari serta menjadi bulannya di malam hari.     

'Aku tidak bisa melihat senyumnya lagi di dunia ini ….'     

Semuanya karena mixed blood ini dan anak ini masih berani-beraninya memperlihatkan wajahnya di depan potret Emilia.     

'Dasar tidak tahu malu!'     

"KAU TIDAK PANTAS MEMPERLIHATKAN WAJAHMU PADANYA! KAU INGIN MEMBUNUHNYA BAHKAN SETELAH IA MENJADI ROH?!"     

Tepat setelah Luca selesai berteriak, kabut di otaknya menghilang.     

Luca tertegun. Ia bisa melihat Mihai yang berlinang air mata dan mulai berlari pergi melewatinya sambil menangis tersedu-sedu.     

'Apa yang aku ….'     

Seharusnya ia tidak mengatakan hal tersebut. Mihai masih sangat kecil.     

Walaupun Emilia mulai kehilangan kebahagiaannya sejak Mihai lahir tapi Mihai juga lahir bukan karena keinginan anak itu sendiri. Semua karena kesalahan makhluk hidup yang telah duluan bertumbuh dan berkembang di dunia ini, yang telah begitu gegabah melakukan tindakan.     

Anak ini hanya lahir dari tindakan gegabah itu.     

Alasan Emilia bunuh diri juga secara garis besar adalah kesalahan Luca yang telah memillih Mihai dibandingkan gadis itu.     

Dan Luca yang tidak sanggup membunuh Mihai.     

Seharusnya Luca tidak menyalahkan seluruhnya pada Mihai. Ia memiliki andil yang lebih besar dibandingkan bayi yang tidak bisa melakukan apa-apa selain mengucapkan 'a' dan 'da' saat seluruh kejadian malang itu terjadi.     

"Tch! Apa yang sudah kulakukan! Bodoh!"     

Luca yang telah membiarkan bayi ini hidup hingga sekarang dan ia juga yang sangat menyesali keputusan itu. Namun, ia juga tidak sanggup membunuhnya seberapa besar pun penyesalan meraung-raung di dalam hatinya.     

Itulah mengapa Luca membuat jarak dengan Mihai.     

Ia tidak ingin tiba-tiba menerjang Mihai ketika otaknya sedang tidak jernih seperti sekarang ini.     

Walaupun ia membenci Mihai, ia ingin anak ini hidup tanpa beban. Biarkan Luca yang memikul beban itu sendiri hingga maut menjemputnya.     

Luca berlari keluar dari rumah, mengikuti jejak kecil kaki Mihai yang tertinggal di tanah ….     

*****     

Mihai terus berlari dan berlari.     

Pandangannya buram oleh air mata tapi ia tidak berhenti. Berkali-kali ia tersandung akar pohon yang menonjol tapi ia segera bangun dan berlari lagi, tidak peduli apakah ia terluka atau tidak, apakah lukanya perih atau tidak.     

Ia hampir kehabisan napas. Paru-parunya sesak dan kakinya menjerit untuk berhenti tapi Mihai tidak ingin berhenti berlari.     

'Kakak tidak akan pernah menyukaiku. Aku adalah sumber penderitaannya ….'     

Hati Mihai sakit.     

Ia sangat menyukai Luca. Alasannya apa, Mihai tidak tahu tapi sejak ia tersadar, ia sudah sangat menyukai pria itu.     

Bagaimana pun ia diperlakukan, ia tetap akan menyukai Luca. Tidak ada yang bisa menggantikan posisi Luca di dalam hatinya.     

Namun, jika keberadaannya hanya akan menyiksa pria yang ia sukai ….     

Mihai secara tidak langsung tahu bahwa jika seseorang mengeluarkan terlalu banyak darah dan jantungnya berhenti berdetak, ia akan mati. Dan kematian berarti ia akan sirna dari dunia ini, dari hadapan Luca.     

'Apakah lebih baik aku ….'     

"Mihai!"     

Sesuatu dengan kuat melingkari dada Mihai, menariknya ke atas hingga ia tidak lagi merasakan pijakannya.     

Mihai tersentak kembali ke kenyataan. Pandangannya yang kabur menangkap sebuah cekungan sedalam 2 meter yang memiliki lebar sekitar 3 meter. Itu adalah bekas sungai tapi sekarang sudah kering dan berisi bebatuan dan akar yang tajam.     

Hampir saja Mihai jatuh ke dalamnya.     

Sekarang ia melayang di udara, terbungkus di dalam pelukan hangat seseorang.     

Orang itu terengah-engah, sepertinya telah berlari dengan sekuat tenaga.     

Tidak perlu menoleh. Mihai sudah tahu siapa itu dan ia tidak punya wajah untuk menatapnya.     

"Ketika berlari, lihatlah apa yang ada di depanmu! Bahaya!" tegur Luca, orang yang telah menghentikan Mihai.     

Untung saja ia menemukan Mihai tepat pada waktunya. Jika sampai Mihai terjatuh ke dalam cekungan yang penuh dengan benda tajam, Luca tidak dapat membayangkan apa yang akan terjadi pada anak ini.     

Telinga Mihai terkulai lemas dan kepalanya tertunduk dalam.     

"Seharusnya Kakak biarkan aku jatuh saja."     

Luca tidak bisa mempercayai pendengarannya. Saat itu juga amarahnya kembali meledak.     

Ia memutar tubuh Mihai hingga keduanya bertatapan. "Apa kau paham apa yang ka—" Tegurannya tercekat, terlalu terkejut melihat Mihai yang tiba-tiba sesenggukan.     

"Habisnya, lebih baik aku tidak ada biar Kakak bahagia! Kalau ada aku, Kakak tidak akan bahagia!" Mihai mengucapkannya di sela-sela tangisannya dan setelah menyelesaikan ucapannya, ia kembali menangis tersedu-sedu. Bulir-bulir air mata yang besar terus jatuh membasahi wajahnya yang kotor dan lecet. Rasa perih dari luka lecetnya terus terasa setiap kali bersentuhan dengan air mata tapi rasa sedihnya terlalu kuat hingga ia tidak lagi terusik oleh rasa sakit tersebut.     

Luca terkejut. Ia tidak pernah membayangkan akan mendengarkan kalimat seperti itu dari mulut anak yang baru berusia 7 tahun ini.     

Di sudut hatinya, ada bagian dari dirinya yang menyetujui kata-kata Mihai.     

Jika ia tidak menghentikan Mihai dan membiarkan anak itu kehilangan nyawanya, Luca tidak akan lagi dihantui mimpi buruk. Bukankah itu yang ia inginkan selama ini?     

'Tidak! Bukan itu!'     

Luca merasa ingin menonjok dirinya yang begitu brengsek dan pada akhirnya ia benar-benar melakukannya.     

Tangisan Mihai terhenti. Ia terlalu terkejut dan ketika melihat kulit pipi Luca yang robek, ia telah melupakan segalanya dan buru-buru merobek kain pakaiannya untuk mengusap darah itu. Namun, ia telah jatuh terlalu banyak kali dan seluruh pakaiannya kotor termasuk bagian kain yang ia robek.     

Ia berusaha mencari kain lain tapi tidak ada yang bisa menggantikannya. Kekhawatirannya semakin menjadi-jadi.     

"Air … juga tidak ada. Sapu tangan, sapu tangan …."     

Ia tidak menyadari Luca yang mematung di tempat, hanya mengamati kesibukan dan kepanikan Mihai dengan mata membulat lebar.     

Sosok dirinya 7 tahun yang lalu muncul kembali di dalam benak Luca. Hari-harinya yang menyenangkan bersama bayi kecil itu. Bagaimana karena bayi itulah ia masih bisa memiliki kebahagiaan walaupun dipenuhi kecemasan akan keadaan Emilia. Bagaimana bayi itu selalu mencemaskannya dan memperhatikannya bahkan ketika Luca ingin membunuhnya.     

[Mengapa kau begitu baik?]     

Luca paham sekarang.     

Ia memang membenci bayi ini karena keberadaannya lah yang membuat Emilia menderita hingga akhir hidupnya. Namun, di saat yang bersamaan, ia menyayangi bayi ini karena ketika ia kesulitan, bayi inilah yang menyemangatinya dan memberinya energi untuk menjalani hari baru lagi.     

Rasa sayangnya yang tidak menginginkan kematian anak ini dan walaupun ia tetap membenci mixed blood ini, rasa sayangnya tetap menginginkan Mihai untuk memiliki kehidupan tanpa penderitaan.     

"Haa … merepotkan sekali."     

"Eh? Kakak, aku …."     

"Mihai." Luca memanggilnya, lembut dan hangat membuat jantung Mihai berdetak kencang.     

Entah mengapa, air mata kembali jatuh membasahi wajah Mihai.     

Luca mengusap air mata itu dengan lembut sekaligus membersihkan tanah yang mengotori wajahnya. "Maafkan aku. Lupakan apa yang aku katakan. Kau harus hidup dan hiduplah dengan bahagia."     

Sepasang mata bulat emas berkedip-kedip, menatap Luca dengan bingung. 'Mengapa Kakak tiba-tiba jadi lembut dan baik?'     

Bahkan Luca yang ada di hadapannya sekarang memiliki senyum tipis di wajahnya.     

Luca tidak bermaksud menjelaskan apapun. Ia hanya mengacak rambut Mihai dengan lembut.     

"Ayo kita pulang."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.