This is Your Baby, Mr. Incubus! [BL]

Kapan Giliran Kita?



Kapan Giliran Kita?

0"Selamat!"     
0

"Kami menunggu kedatangan adik kecil selanjutnya!"     

"Wuhuu!"     

Ledakan confetti memekakkan telinga, menggema di tengah taman bunga luas di Bukit Herme.     

Taman bunga itu telah dipenuhi dengan meja dan kursi, meja panjang berisi makanan, dan sebuah altar yang dihiasi penuh bunga dan dekorasi khas pernikahan lainnya. Di atas altar itu, terdapat sebuah meja dan di baliknya duduk Ioan dan Steve yang masih memiliki jejak keterkejutan.     

Tuxedo putih membalut tubuh Steve yang tegap, memperlihatkan lekukan yang indah sementara Ioan mengenakan gaun pengantin dengan pola sederhana yang elegan.     

"Kalian … ini …." Ioan tidak bisa menyelesaikan kalimatnya. Wajahnya merah padam oleh karena berbagai perasaan yang bercampur aduk di dalam dirinya.     

Ketiga putranya ini, entah apa yang mereka pikirkan, telah membuat sebuah pesta pernikahan sederhana untuk Ioan dan Steve.     

Berbeda dengan Ioan, Steve sudah lebih tenang. Ia sangat terharu oleh kebaikan hati dan perhatian ketiga putranya hingga ia sempat meneteskan air mata ketika mengucapkan sumpah pernikahan.     

Matanya sekarang tidak bisa melepaskan sosok Ioan yang terlalu indah.     

"Kau sangat cantik! Sangat keren! Uahh! Indah sekali!" Pujian tidak henti-hentinya keluar dari mulut Steve hingga Ioan harus menutup mulut Steve.     

Namun, dengan menutup mulutnya pun, Steve tidak menyerah dan terus bergumam tidak jelas.     

Ketiga putranya tidak bisa berhenti tertawa melihat itu. Para hadirin lainnya yang terdiri dari Silver, para pelayan, dan Luca juga tidak berhenti tertawa dan menggoda pasangan pengantin. Luca bahkan berhasil membuat Steve sangat terganggu olehnya hingga mengusir Luca agar lepas dari godaan pria itu.     

Mihai tersenyum sangat lebar, sangat senang dengan kesuksesan rencana mereka, juga bagaimana perkembangan pribadi Luca yang semakin kaya akan ekspresi.     

"Sepertinya perasaanmu mulai kembali. Bukankah kau merasakannya juga?" Mihai mendekati Luca yang telah diusir ke sudut taman bunga lalu duduk di sampingnya sembari menyandarkan kepalanya di atas bahu Luca. Kedua tangannya memeluk Liviu.     

"Da!" Liviu juga berseru setuju.     

"Benarkah?" Luca tidak begitu menyadarinya tapi jika Mihai mengatakan begitu, ia juga ikut senang. Jika perasaannya bisa kembali dengan lancar, ia yakin ia bisa membahagiakan keluarganya lebih dari ini.     

Mihai dan Liviu mengangguk kuat.     

"Benar!"     

"Da!"     

Menatap dua pasang mata yang berbinar bahagia, hati Luca menghangat. Dengan gemas, ia mengacak rambut keduanya lalu memasukkan mereka ke dalam pelukan. Kehangatan menjalar dari punggung Mihai yang menempel erat pada dada bidang Luca menuju seluruh tubuhnya.     

Luca mendaratkan kecupan ringan pada bibir Mihai lalu pada pipi Liviu.     

"Da!" Liviu bersikeras ingin membalas ciuman itu jadi Luca mendapatkan sebuah kecupan di pipi juga.     

Senyuman Mihai menjadi semakin lebar hingga tidak mungkin melebar lebih dari ini lagi. Ia benar-benar sangat bahagia sekarang.     

Memikirkan keadaannya beberapa saat yang lalu, apa yang terjadi sekarang terasa sangat tidak nyata. Namun, ketika ia mencubit dirinya sendiri, ia bisa merasa sakit jadi seharusnya ini benar adalah sebuah kenyataan.     

'Semoga keluarga ini akan selalu bahagia! Tidak terpisahkan!'     

"Kapan giliran kita?" Tiba-tiba, Luca bertanya.     

"Eh? Giliran apa?"     

"Da?"     

Luca menunjuk ke arah altar pernikahan dengan dagunya. "Menikah."     

Otak Mihai kesulitan mencerna kata-kata itu. Matanya mengerjap dan seiring bertambahnya jumlah kedipan, semburat merah menjadi semakin pekat di wajahnya. Pada sentuhan terakhir, otaknya meledak, mengepulkan asap.     

"Daa!" Liviu buru-buru terbang ke kepala Mihai dan mengipasi asap itu.     

"Menikah? Menikah? Menikah?" Bagaikan kaset macet, Mihai hanya bisa mengulang satu kata itu saja.     

Liviu semakin khawatir dan tidak bisa berhenti ber-da bagaikan kaset macet juga.     

Kontras dengan keadaan itu, Luca malah tertawa.     

"Da! Dadaada! Daaa! (Mengapa Ayah malah tertawa?! Terjadi sesuatu pada Papa!)" protes Liviu. Bibirnya mengerucut dalam dan matanya mulai berkaca-kaca karena Mihai tidak kunjung memberikan respon kepadanya.     

Luca buru-buru memasukkan Liviu ke dalam pelukannya. Berdehem kecil untuk meredakan tawanya, ia juga menarik Mihai ke dalam pelukannya, menyentak pria itu kembali ke dunia nyata.     

"Maaf. Respons Mihai terlalu lucu, aku jadi tidak bisa mengontrol diri. sepertinya apa yang kau katakan benar Mihai. Perasaanku mungkin berangsur-angsur kembali."     

"Eh? Apa? Eh?"     

"Daa!" Liviu buru-buru memeluk leher Mihai, senang karena akhirnya Mihai bisa menjawab.     

"Eh?" Mihai yang sempat kehilangan kontak dengan dunia nyata tidak paham apa yang sedang terjadi tapi ketika ia mendongak, senyum tipis terpampang di depan pandangannya, menghiasi wajah Luca yang dingin.     

Mihai refleks menangkupkan wajah Luca dengan kedua tangan. Ia sudah melupakan masalah pernikahan, berseru dengan heboh, "Kau benar-benar tersenyum! Wuah! Ini kabar baik! Aku harus mengabarkannya kepada Paman Vasile!" Mihai buru-buru berdiri, mencari sosok Vasile.     

"Tunggu, tunggu." Luca masih ingin membicarakan tentang pernikahan tapi Mihai sudah keburu berlari pergi.     

Walaupun di atas kertas, Mihai dan Luca telah sah menikah – nama mereka bahkan sudah terdaftar di catatan sipil Kota Rumbell – tapi Luca ingin memiliki pesta seperti ini.     

Mereka juga tidak sempat mengucapkan sumpah pernikahan. Cincin pernikahan pun tidak ada.     

Jika hubungan mereka masih seperti dulu, Luca tidak akan mempermasalahkannya. Tapi sekarang, mereka sudah saling menyatakan perasaan dan begitu mencintai satu sama lain. Tidak mungkin Luca akan puas hanya dengan status pernikahan di atas kertas.     

Mihai sepertinya terlalu malu untuk membicarakan tentang pesta pernikahan. Tidak masalah. Luca juga punya ide lain.     

'Aku akan membuat surprise seperti yang Mihai dan kakak-kakaknya lakukan!'     

Luca bermaksud mengumpulkan para pelayannya setelah acara ini untuk membantunya mempersiapkan acara pernikahannya dengan Mihai juga.     

'Musim dingin sebenarnya bagus karena itu adalah musim kita bertemu tapi ….' Musim dingin masih jauh. Ia ingin melakukan acaranya sesegera mungkin.     

Otaknya penuh oleh rencana pernikahan. Sembari berpikir, ia bermaksud berjalan menuju meja panjang berisi makanan untuk menikmati beberapa makanan ringan.     

Dari kejauhan, Mihai melambai padanya.     

"Luca! Makanan ini ena—"     

Matanya terbelalak lebar. Ia merasa matanya telah membuat sebuah ilusi.     

Akan tetapi, Luca yang seharusnya sedang berjalan ke arahnya juga terhenti. Kakinya limbung dan ia mulai jatuh ke tanah. Di saat yang sama, Mihai merasakan jantungnya berhenti berdetak. Ia tidak bisa merasakan kakinya.     

Bunga-bunga di sekeliling Luca yang seharusnya berwarna cerah tiba-tiba berubah menjadi merah hingga hitam. Bau amis menguar darinya.     

"Ohok! Ohok!" Luca terbatuk-batuk. Cairan keluar dari mulutnya, terpercik pada bunga-bunga di sekitarnya, menodai lebih banyak bunga dengan warna merah lagi.     

Cahaya bulan di atas langit terpantul pada sebuah bilah tajam yang menembus jantung Luca. Itu adalah pedang, terbuat dari besi murni.     

Di belakangnya, terdapat sebuah sosok bertelinga berbulu. Cahaya bulan yang terpantul membuat rambut abu-abunya mengkilap. Namun, kontras dengan hal tersebut, sepasang iris abu miliknya redup dan buram bagaikan mata orang yang telah mati.     

Salah satu tangannya kembali terangkat ….     

"AGH!"     

"LUCA!"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.