This is Your Baby, Mr. Incubus! [BL]

Potongan Memori yang Hilang



Potongan Memori yang Hilang

0Beberapa saat yang lalu, di dalam kamar Ioan dan Steve ….     
0

"Kau pikir ini sudah jam berapa? Cepat tidur!" Ioan menghempaskan genggaman tangan Steve dengan kasar lalu berusaha menendang pria itu menjauh.     

Steve menerima tendangan dengan senang hati lalu kembali merangkak mendekati Ioan. "Ayolah! Akhirnya kita bertemu lagi. Tentunya tidak lengkap jika kita tidak melakukan 'itu', bukan?" ujarnya sembari membentuk O dengan jari kirinya lalu menusukkan jari telunjuk kanannya ke dalam O itu berkali-kali. Kedua alisnya bergerak naik turun.     

Ioan mengernyit jijik. Capek berargumen dengan pria itu yang setelah 18 tahun menjadi sangat berisik, ia hanya memberikan jari tengahnya lalu menenggelamkan diri di dalam selimut tebal.     

Steve tentunya tidak menyerah. Ia buru-buru memeluk Ioan, berusaha mengeluarkannya dari selimut sementara Ioan menarik selimut dengan erat untuk mencegahnya. "Io sayang, ayolah! Masa tidak boleh? Kita kan suami istri. Siapa tahu setelah hari ini, kita bisa membuat yang keempat~"     

"ARGGHH! DIAMLAH!"     

Satu tendangan maut melemparkan Steve jatuh dari tempat tidur.     

Napas Ioan terengah-engah. Wajahnya merah padam. 'Sial! Aku benar-benar membayangkan anak keempatku!' Ia mengutuk otaknya.     

Takut dengan dirinya sendiri yang kemungkinan besar akan terlena oleh Steve, Ioan buru-buru berlari keluar dari kamar.     

"Ah! io! Tunggu mau ke mana?" Steve ikut mengejarnya.     

Ioan berlari menuju kamar di lantai dua lalu memasuki area kamar Luca dan kedua putranya. Ia segera mengetuk kamar kedua putranya dan buru-buru masuk ketika pintu dibuka.     

"Io—"     

BAM!     

Belum sempat Steve melangkah masuk ke dalam lorong kedua kamar itu, pintu kamar telah ditutup dengan kasar.     

Di saat yang bersamaan, tangisan anak kecil terdengar dari dalam kamar.     

Steve menghela napas pasrah.     

Sudah 18 tahun tidak bertemu dengan Ioan, tentunya setelah hubungan mereka kembali membaik, ia ingin berhubungan intim!     

Bukankah itu wajar?     

'Kalian juga berpikir begitu bukan?' *Tidak menerima jawaban tidak*     

Luca tiba-tiba muncul dari balik pintu kamarnya. Ia menoleh menuju kamar sebelah untuk beberapa saat lalu berjalan beberapa langkah menuju kamar itu sebelum tiba-tiba berhenti. Ia terlihat ingin berbalik kembali ke kamarnya tapi akhirnya melangkah menuju kamar sebelah lagi. Begitu terus hingga tangisan dari dalam kamar itu berhenti total.     

Mendapati putranya tidak lagi menangis, Luca mengelus dadanya. Kali ini ia benar-benar berbalik, hendak kembali ke kamarnya ketika ia tanpa sengaja bertemu pandang dengan Steve yang sedang menahan tawa habis-habisan.     

Luca mengernyit. "Ada apa denganmu?"     

"Tidak—pfft!" Steve tidak bisa berhenti.     

Ia tidak pernah melihat Luca yang begitu ragu hanya untuk melakukan suatu hal. Ini benar-benar menakjubkan!     

Luca sebenarnya menyadari apa yang sedang dipikirkan Steve tapi ia tidak bermaksud menjelaskan.     

Ia ingin pergi mengecek keadaan Liviu tapi jika ia melihat wajah Mihai dan putranya sekarang, kemungkinan besar ia tidak ingin keluar dari kamar itu setelahnya sangat besar.     

Pengontrolan dirinya seharusnya bagus dan ia yakin dirinya bisa menahan godaan apapun tapi … tetap saja, ia tidak terlalu percaya diri kali ini.     

"Apa yang sedang kau lakukan di sini?" Luca mengubah topik.     

"Hm? Ah …." Steve akhirnya bisa menghentikan tawanya. "Mari kita bicarakan di beranda kamarmu. Oh! Mungkin ditemani anggur akan lebih nikmat?"     

"Setuju."     

*****     

Dentingan gelas kaca menggema di bawah langit malam yang tak berawan. Bulan sabit tergantung ditemani taburan bintang kecil yang berkelap-kelip dengan indahnya.     

Steve dan Luca meneguk anggur sambil bersandar pada pagar beranda.     

"Jika dia tidak mau, jangan dipaksa," komentar Luca akhirnya setelah Steve selesai bercerita.     

"Tapi … aku kan—"     

"Tidak ada 'tapi'. Bukankah kau yang seperti itu yang membuatmu dibenci olehnya?"     

Steve tidak bisa membalas karena apa yang Luca katakan memang logis.     

"Hah …" Steve menopang dagunya, lesu. "Bagaimana caranya agar dia bisa lebih lembut denganku?"     

Luca mengisi gelasnya seraya melirik singkat Steve dengan malas. "Jangan tanyakan padaku. Masukan apa yang bisa kau dapatkan dari pria yang tidak memiliki perasaan?"     

"Hah … benar juga! Huaa! Kau benar-benar tidak membantu!"     

Luca hanya mendengus sembari meneguk anggurnya.     

"Io … Io …." Steve meneguk beberapa gelas lagi dan ia mulai menggumamkan nama Ioan berkali-kali seperti orang mabuk.     

Padahal anggur ini memiliki tingkat alkohol yang rendah.     

Angin sejuk menerpa wajah mereka ….     

"Luca …."     

"Hm?"     

"Kau ingat apa yang terjadi dengan bayi Emilia?"     

Luca mengernyit dalam. "Mengapa tiba-tiba menanyakan ini?"     

"Bukan tiba-tiba," ujar Steve seraya menggeleng tidak setuju. "Jawab saja!"     

Luca masih bingung tapi akhirnya mengikuti permintaan Steve. Namun, seberapa banyak Luca menggali ingatan masa lalunya, ia tidak bisa mengingat apa yang terjadi.     

"Kau tidak ingat bukan?" tebak Steve.     

"Ya."     

"Aku juga. Bukankah itu aneh?"     

Luca menggeleng. "Itu adalah ingatan seribu tahun yang lalu, tidak aneh jika ada yang hilang atau kurang jelas."     

"Padahal kau mengingat masa kecilmu dengan jelas?" Steve sendiri tidak begitu ingat masa kecilnya tapi hal itu berbeda dengan Luca.     

Entah itu adalah efek dari keabadiannya atau hanya karena Luca memang memiliki memori yang luar biasa, pria itu dapat mengingat semua yang terjadi dari sejak ia kecil hingga sekarang dengan jelas. Untuk orang yang seperti itu, tiba-tiba ada ingatan yang hilang, bukankah itu aneh?     

Luca tidak menjawab. Ia tidak pernah menganggap memorinya luar biasa. Ia mengaku memang dapat mengingat lebih dari rekan-rekannya tapi bukan berarti ia tidak bisa melupakan sesuatu bukan?     

"Kalau begitu, bagaimana dengan rumah besar yang kita bangun di area dalam Bukit Herme. Kau ingat untuk apa kita membangun rumah sebesar itu?"     

Luca ingin mengangguk tapi tersadar bahwa ia benar-benar tidak bisa ingat.     

"Kau tidak ingat bukan?"     

Steve sudah menanyakan hal yang sama kepada Ecatarina dan yang lainnya dan ia mendapatkan jawaban yang sama. Ia kira jika ia bertanya kepada Luca, pria itu akan ingat tapi ternyata hasilnya sama.     

Luca telah meninjau seluruh ingatannya, berniat untuk menyanggah ucapan Steve. Akan tetapi, ia menemukan semakin banyak lubang di dalam ingatannya. Seberapa banyak usaha yang ia kerahkan untuk mengingat kembali pun, ia tidak berhasil.     

Ingatan-ingatan ini benar-benar-benar hilang dengan cara yang aneh. Seperti satu halaman buku yang sengaja dikoyak, ingatan sebelum koyakan dan setelah koyakan itu sangat jelas, sejelas kaca bening yang mengkilap. Hanya bagian yang dikoyak itu yang hilang tanpa jejak.     

Pada akhirnya, Luca mengangguk setuju. "Ini memang aneh."     

"Sejak melihat sosok Gohabi itu aku jadi sering memikirkan masa lalu dan itulah saat aku menemukan keanehan ini. Aku jadi berpikir, apakah masa lalu yang selama ini kita yakini itu benar?"     

"Itu …." Luca tidak lagi bisa menjawab dengan penuh percaya diri.     

"Kau yakin Rina dan yang lainnya juga tidak ingat?"     

Steve mengangguk tegas. "Aku sudah memastikannya beberapa kali jadi aku bisa menjaminnya."     

Luca mengusap dagu pelan, merenungkan percakapan mereka.     

Sejak kapan ingatan mereka menjadi seperti ini? Siapa yang menghilangkannya?     

Pertanyaan demi pertanyaan muncul di benaknya tapi tidak ada jawaban yang bisa ia berikan bahkan setelah berpikir hingga fajar tiba ….     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.