This is Your Baby, Mr. Incubus! [BL]

Jangan Menginjak Kebaikan Hati Seseorang



Jangan Menginjak Kebaikan Hati Seseorang

"Baiklah. Apa yang harus kulakukan sekarang?"     

Toma duduk di tepi ranjang, merenung.     

Beberapa saat yang lalu, Vasile masuk ke dalam kamar sambil membawakan sarapan untuknya. Setelah berganti pakaian, ia berpesan bahwa akan pergi bersama Luca dan Mihai ke suatu tempat. Vasile sangat menekan ucapannya ketika menyuruhnya untuk diam di dalam kamar dan tidak berkeliaran sembarangan di dalam kediaman.     

["Aku akan membawamu keliling kediaman saat aku tidak sibuk."]     

Toma berdecak kesal.     

'Kapan ia tidak akan sibuk?' Melihat betapa banyaknya pekerjaan Vasile yang sudah dimulai dari pagi hari, Toma hampir yakin akan menjalani hidup di dalam kamar ini selamanya.     

'Tidak bisa begini!' Jika begini terus, ia tidak akan bisa berkontribusi apa pun kepada kaumnya.     

Toma melirik ke arah lemari-lemari tinggi yang ada di dalam kamar Vasile dengan penuh harap. Awalnya, ia berpikir untuk mencari beberapa kelemahan Luca dari dokumen-dokumen kerjanya untuk dikirimkan kepada kepala organisasi GOHABI, berharap bisa menurunkan posisi Luca dengan itu karena membunuh Luca adalah upaya yang sulit. Akan tetapi, melihat pintu yang tertutup rapat dan tidak bisa digerakkan seperti batu itu membuat Toma menghela napas.     

"Aku harus mencari cara. Aku harus membuat Paman itu membukanya untukku."     

Untuk itu, Toma harus membuat Vasile percaya padanya terlebih dahulu. Setidaknya, cukup percaya untuk membiarkan Toma makan di luar kamar ini. Dengan cara seperti apa, Toma sudah punya ide di pikirannya.     

Selain itu, Toma harus mempersiapkan rencana untuk membunuh Luca jika rencana pertamanya tidak berhasil. Untuk itu, ia harus memahami tata letak ruangan di kediaman ini agar ia lebih mudah bergerak di hari pembunuhan itu.     

Mumpung tuan rumahnya sedang pergi, Toma memutuskan untuk bergerak sekarang.     

Berjalan dari tempat tidurnya, ia memutar gagang pintu lalu menjulurkan kepalanya keluar dari sela pintu dengan penuh was-was. Setelah memastikan tidak ada hawa kehadiran di sekitarnya, ia keluar dari kamar dan pelan-pelan menutup pintunya.     

Letak kamar Vasile sekarang berada di lantai 2 kediaman dan juga lantai tertinggi kediaman luas itu. Lampu-lampu di tutup sehingga kediaman itu hanya mendapatkan pencahayan dari sinar matahari yang masuk dari jendela.     

Di seberang pintu kamar terdapat sederetan jendela yang terpisah setiap satu meter. Gorden merah polos menghiasi setiap jendelanya.     

Kamar Vasile berada paling ujung dari lorong itu dan disampingnya, terdapat pintu-pintu lain bercat putih krem dengan gaya yang sama dengan pintu kamar Vasile.     

Toma mencoba membuka pintu-pintu yang lain dan tentunya tidak bergerak sama sekali. Sesuai dengan yang Vasile katakan, semua pintu itu terkunci rapat oleh sihir.     

Pantang menyerah, Toma mencoba satu per satu pintu yang ada hingga ia mencapai pangkal dari lorong itu. Sebuah pintu coklat sederhana yang tertutup menjadi akhir dari lorong membuat semangat Toma jatuh. Apakah pintu ini akan menghentikannya? Bahkan belum sepuluh menit ia memantapkan hatinya. Ia juga tidak bisa berharap pada jendela karena terkunci dengan sihir juga.     

Dengan jantung berdebar-debar, Toma mengulurkan tangannya pada gagang pintu coklat. Menggenggamnya erat, Toma memutarnya dan langsung menarik pintu itu dengan kuat.     

Krieett….     

Daun pintu itu terbuka dengan ringan.     

Toma hampir meloncat girang yang langsung ditahannya, takut membuat keributan. Langkahnya tidak jadi terhentikan!     

Tanpa menurunkan pengawasannya, Toma keluar dari lorong itu dan sebuah ruang terbuka yang luas menyambutnya. Lantai keramiknya tertutup dengan karpet merah dan di ujung ruangan itu, terdapat beberapa jendela besar yang memanjang dari langit-langit hingga lantai. Beberapa bagiannya ditutupi oleh stained glass dengan gambar yang tidak dipahami Toma.     

Di kedua ruang terbuka itu, terdapat dua pintu yang berhadapan. Satu di sebelah kanan adalah ruang kerja Luca. Toma ingat itu karena ia melihat Vasile masuk ke dalamnya sambil memanggil Luca saat ia sedang diantar ke kamar Vasile. Untuk yang di sebelah kiri, Toma tidak tahu ruangan apa itu. Ia mencoba membuka kedua pintunya tapi lagi-lagi, terkunci. Selain pintu dan jendela besar, tidak ada apa-apa lagi sehingga ruang besar itu terlihat sangat sepi.     

Ia kemudian berpindah ke arah seberang pintu coklat tadi. Di sana, juga terdapat sebuah pintu yang lebih besar dengan cat hitam dan ukiran bunga mawar pada gagang pintunya. Mengira akan terbuka seperti pada pintu coklat, ia mendorongnya dengan santai tapi yang terjadi adalah, pintu itu tidak bergerak sama sekali.     

'Lagi-lagi dikunci!' kesalnya.     

Jika begini terus, tidak ada yang bisa ia dapatkan selain rumah ini begitu luas.     

Masih berusaha untuk mempertahankan harapannya, ia akhirnya menuruni tangga yang berada di seberang jendela besar, tepat berada di tengah terapit di antara kedua pintu coklat dan hitam. Tangga itu berbentuk melebar ke arah luar dan setiap anak tangganya juga dilapisi karpet merah.     

Ia celingak-celinguk dengan was-was, memastikan tidak ada yang berada di dekatnya sekarang. Ketika ia mencapai anak tangga terakhir, ia disambut dengan lorong yang sangat lebar dan luas. Di ujung kanannya, terdapat pintu besar yang akan membawanya ke luar kediaman. Setelah pintu itu, terdapat meja-meja kecil berisi hiasan berupa guci, bingkai-bingkai lukisan di dinding, serta beberapa pintu dan lorong-lorong lainnya yang entah menuju ke mana.     

Dengan langkah kaki cepat tapi setenang mungkin, ia kembali mencoba membuka pintu yang ada, dimulai dari pintu utama. Hasilnya, adalah nol besar!     

Semua pintu termasuk pintu utama yang menuju ke luar juga terkunci rapat. Ada yang memiliki lubang kunci dan ada yang tidak membuatnya tidak tahu lagi yang mana yang terkunci oleh sihir dan yang mana yang terkunci karena lubang kuncinya diputar. Ia juga menyelidiki pajangan-pajangan di sepanjang jalannya, berharap ada sesuatu – apa saja – yang bisa memberitahunya mengenai Luca lebih jauh atau kediaman ini lebih dalam lagi, tapi pada akhirnya, semuanya hanyalah pajangan tanpa arti apa pun.     

Ketika harapannya sudah melayang tinggi, ada pintu yang bisa terbuka, tapi isinya hanyalah alat bersih-bersih dan toilet.     

Ia berpindah ke lorong-lorong lain tapi yang ia temukan tetaplah pintu-pintu terkunci. Terus begitu hingga ia akhirnya menyerah.     

'Tidak ada yang bisa kudapatkan!' Ia bahkan sudah muak melihat pintu yang bergaya sama itu.     

'Sudahlah! Aku fokus dulu saja ke si paman!'     

Memutuskan untuk kembali ke kamar, itulah pertama kalinya ia menyadari suara percakapan yang samar-samar. Tidak hanya itu, aroma roti panggang yang sangat sedap juga memenuhi lorong itu. Begitu sedap hingga perutnya yang baru diisi belum lama ini kembali meraung meminta makan.     

'Apa itu koki di kediaman ini?'     

Jika dipikir-pikir, sarapannya tadi juga sangat sedap hingga ia yang awalnya was was – takut ada sesuatu yang berbahaya di dalamnya – langsung melahap semuanya tanpa menyisakan setetes noda pun pada piring. Bagi dirinya yang hanya pernah memakan makanan hambar yang terbuat dari bahan makanan yang sudah hampir membusuk, sarapan tadi bagaikan surga.     

Tanpa pikir panjang, ia mengikuti aroma itu dan sampai pada ruangan yang berisi meja makan panjang. Di sudut ruang makan itu, terdapat kusen pintu yang terbuka lebar. Aroma roti itu semakin kuat, begitu juga percakapannya.     

"Heh … aku kaget El!"     

"Aku juga, Ela!"     

"Mihai bisa membuka pintu-pintu kediaman ini?!"     

Dua sosok mungil yang Toma kenal sebagai dua anak kembar yang membawanya ke kamar kemarin terlihat membelakangi kusen. Keduanya saling berpegangan tangan. Ekor mereka bergerak-gerak cepat, terlihat sangat senang.     

"Iya. Itu yang kudengar dari Rina, hahahahahaha...." Sebuah suara gagah yang riang menjawab keduanya. Suara itu begitu keras hingga menggema ke segala arah.     

"Baiklah, berhenti tertawa," ujar sebuah suara yang malas dan suara tawa itu berhenti seketika.     

Ketika Toma mendekati kusen pintu, ia bisa melihat seorang pria besar berpakaian seragam koki yang mulutnya tersumpal oleh roti.     

"Tapi, mengapa bisa?" Seorang pria berambut biru muda yang menjulurkan kepalanya ke dalam melalui kusen jendela bertanya dengan bingung. Tangannya dengan cepat mengambil sepotong roti dan memasukkannya ke dalam mulut.     

Pria bersuara malas di samping pria besar memicingkan mata berkantung hitamnya pada pria biru muda. Tangannya dengan cepat mengambil keranjang anyam yang berisi roti panggang itu menjauh dari jendela.     

"Lonel, pelit!" gerutu pria berambut biru.     

Tatapan Lonel semakin tajam. "Tunggulah sampai semua roti selesai dipanggang."     

"HAHAHA! BERSABARLA—ugh…." Pria besar yang baru saja menghabiskan roti di mulutnya kembali berseru dengan suara lantang.     

Lonel langsung menyumpal mulutnya lagi dengan roti.     

"Agh! Curang! Mentang-mentang Albert pacarmu, kau memberinya roti!" protes pria berambut biru.     

Kedua anak kembar tertawa 'xixixixi' melihat tingkah pria berambut biru. "Victor kekanakan!" seru mereka bersamaan sambil menunjuk pria berambut biru yang adalah Victor si tukang kebun penggila chainsaw.     

Victor melotot pada keduanya. "Diam kalian, bocah!"     

Dipanggil bocah, kedua anak itu berhenti tertawa dan menggembungkan mulut mereka. "Kami bukan bocah!" seru Daniel.     

"Bukan bocah!" timpal Daniela.     

Victor memonyongkan bibirnya lalu memeletkan lidahnya pada kedua anak itu.     

Daniel dan Daniela langsung bersiap menyerang Victor tapi Albert yang telah menyelesaikan roti keduanya langsung menghentikan mereka. "Berhentilah! Jangan mengacaukan dapur! Aku tidak akan memberi kalian makan," ancamnya dan ketiga makhluk itu langsung kembali menjadi anak baik.     

Di saat yang sama, bunyi ting pada oven terdengar dan Lonel segera mengeluarkan roti hangat dari dalamnya. Aromanya begitu sedap hingga Toma yang dari tadi diam-diam menonton hampir mengucurkan ludah.     

Kruyukkk~~     

'Terkutuklah perutku!'     

Perut Toma langsung berbunyi keras, sangat keras hingga kelima makhluk di dalam menatapnya sekarang dalam diam.     

"Ah … ha—halo…." Tidak tahu harus berbuat apa, Toma akhirnya melambai pada mereka dengan canggung.     

*****     

"HAHAHAHAHA! AKU SANGAT KAGET! TERNYATA KA—ugh!"     

"Kecilkan suaramu," tegur Lonel yang kembali menyumpalkan roti. Entah roti keberapa yang sudah ia sumpalkan dan Albert masih saja tidak memperbaiki volume suaranya.     

Toma mengunyah rotinya dalam diam. Entah apa yang sedang terjadi tapi ketika ia sadar, ia sudah duduk bersama kelima incubus itu di dapur dan menikmati roti panggang. Roti-roti itu diisi dengan berbagai selai dari srikaya, coklat, stroberi, madu, dan segala perpaduannya itu meleleh di dalam mulutnya, memberikan kelezatan yang tidak tergambarkan.     

Satu hal yang membuatnya sedikit sulit menelan rotinya adalah tatapan tajam dari Victor dan Lonel.     

"Untuk apa kau datang ke sini dan menguping percakapan kami?" tanya Victor dengan ekspresi wajah yang tidak menyambut hangat. Sejak awal, Victor tidak setuju dengan keputusan Vasile membawa pulang half-beast ini karena mereka tidak tahu bahaya apa yang akan dibawanya untuk tuan mereka.     

Sementara Lonel hanya menatap tajam dalam diam. Ia sedang menilai Toma dan mempertimbangkan apakah ia harus menyiapkan beberapa racun mematikan untuk persiapan menghabisi serigala itu.     

Sayangnya Toma tidak tahu pemikiran mereka. Jika ia tahu, ia sudah lari terbirit-birit, tidak ada lagi nafsu makan yang tersisa.     

"A—aku…." Toma tidak tahu harus berkata apa. Ia hanya terpancing oleh aroma sedap, tapi ia tidak bisa menyangkal bahwa ia tertarik dengan apa yang dikatakan kedua anak kembar itu mengenai Mihai. Ia merasa ia bisa menggunakannya.     

Tiba-tiba, Albert menepuk tangannya sekali membuat ketegangan yang mulai tumbuh itu hilang oleh senyum lebar di wajahnya. "Jangan berwajah seperti itu saat makan masakanku! Ayo kita bahas sesuatu yang ceria saja!" serunya lalu mulai tertawa terbahak-bahak lagi.     

Disuguhi oleh ekspresi polos itu, Victor yang keras kepala pun tidak bisa membantah. Akhirnya ia tidak melanjutkan lagi.     

Namun, Toma sudah tidak bisa merasa nyaman. "A—anu … bolehkah aku membawa beberapa roti ini ke kamar?"     

"Hm? Oh! Silakan! Silakan!" Albert langsung mengambil sebuah keranjang anyaman berukuran kecil yang dilapisi dengan kertas lalu memasukkan sekitar 10 potong roti ke dalamnya.     

"Ini!"     

"Te—terima kasih." Toma tidak menyangka ada incubus seramah ini di dalam kediaman Luca. Ia bisa merasakan ketulusan Albert membuat ia tidak bisa membencinya.     

Setelah membungkuk kecil, ia mengambil keranjang itu dan berjalan keluar dari dapur.     

"Ah! tunggu sebentar!" Albert yang sepertinya melupakan sesuatu segera menghentikan Toma dan berlari keluar dari dapur.     

"Ada apa?"     

Albert berjalan mendekatinya dan membungkuk sedikit. Mata merahnya menatap lurus pada Toma. Ekspresi wajahnya menjadi sedikit lebih serius membuat Toma sedikit menegang.     

"Kau tahu mengapa dia membawamu ke sini?" tanya Albert dengan suara yang rendah dan pelan, sangat kontras dengan kebiasaannya.     

"Eh?"     

"Jangan pernah menginjak kebaikan hatinya. Pikirkan baik-baik sebelum kau membuat masalah untuknya."     

"??"     

"HAHAHAHAHA!" Tiba-tiba Albert tertawa keras dengan wajah riangnya. Tangannya menepuk pundak Toma dengan kuat. Tanpa berkata apa-apa lagi, Albert berbalik kembali ke dalam dapur meninggalkan Toma yang merenungkan kata-katanya….     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.