This is Your Baby, Mr. Incubus! [BL]

Sore yang Gelap (1)



Sore yang Gelap (1)

0"Manajer, terima kasih atas kerja kerasnya hari ini!"     
0

"Kami pamit dulu, ya!"     

Cezar mengangkat pandangannya dari laptop dan melirik jam dinding yang telah menunjukkan pukul 5 sore. "Terima kasih untuk kerja kerasnya juga. Hati-hati di jalan!" balasnya kepada karyawan-karyawannya yang sudah siap untuk keluar dari ruangan.     

"Manajer, kami berpikir untuk minum-minum di bar dekat sini, mau ikut?" tanya salah satu dari mereka.     

"Ah … maaf. Aku tidak ikut dulu. masih ada pekerjaan yang harus kuselesaikan."     

"Ok deh! Sampai jumpa besok, Manajer!" seru karyawan-karyawan itu satu per satu sebelum benar-benar menghilang di balik pintu ruangan.     

Cezar menutup laptopnya lalu memasukkanya ke dalam tas. Ia kembali melirik jam dinding untuk memastikan waktu lagi.     

"Tepat jam 5…."     

Sebenarnya, pekerjaannya telah selesai dari satu jam yang lalu. Ia hanya berpura-pura sibuk untuk menolak ajakan karyawannya. Semua ini karena ia harus memastikan apa yang sedang ingin Sophia lakukan.     

Setelah memastikan tidak ada lagi yang berada di dalam ruangan, ia berjalan keluar dan memasuki lift lalu memencet tombol lantai 3 di mana ruang arsip berada.     

Ting!     

Lift berbunyi menandakan ia telah sampai di lantai 3 dan pintu pun terbuka.     

Di hadapannya, terdapat lorong panjang yang sepi dan sedikit gelap. Tidak ada lampu yang menyala karena memang sudah merupakan jam di mana para karyawan pulang sehingga lorong itu hanya disinari cahaya jingga dari langit sore yang masuk melalui dinding kaca.     

Cezar menelan ludahnya dengan susah payah. Tiba-tiba ia merasa tegang.     

Ia berjalan menyusuri lorong itu dengan hati-hati, tidak membiarkan suara langkah kakinya terdengar sama sekali. Ketika ia mendapati pintu ruang arsip, ia segera melambatkan langkah kakinya.     

Pelan-pelan, ia memutar gagang pintu ruang arsip dan suara percakapan samar-samar terdengar….     

*****     

Adrian memasuki ruang arsip dan menutup kembali pintunya. Ruangan itu telah diterangi cahaya lampu yang sedikit redup menandakan bahwa sudah ada seseorang yang memasuki tempat itu lebih dulu darinya.     

"Sophia?"     

Tidak ada yang menjawab.     

Adrian mengira ia telah salah mengingat waktu atau tempat janjiannya dan hendak menghubungi Sophia dengan ponsel.     

"Adrian," panggil Sophia yang tiba-tiba muncul dari balik salah satu rak tinggi yang berada di tengah-tengah ruang itu.     

"Untunglah. Aku kira aku sudah salah waktu," ujar Adrian lega. Namun, ia merasakan sesuatu yang aneh dari gadis itu.     

Sophia berjalan mendekati Adrian dengan senyum manisnya yang biasa. Kedua tangannya terlipat ke belakang punggungnya dan ia masih mengenakan pakaian yang sama.     

Seharusnya tidak ada yang aneh.     

'Tapi … apa ini?'     

Adrian tidak bisa berhenti merasa waspada.     

"Ada apa Adrian?" tanya Sophia yang menyadari keanehan pria itu. langkahnya berhenti ketika mereka hanya berjarak beberapa sentimeter.     

"Eh? Tidak ada. Dari pada itu, apa yang ingin kau bicarakan?" Adrian segera mengubah topik.     

'Lupakanlah! Fokus pada pembicaraan Sophia!' Tegurnya pada dirinya sendiri.     

Sophia terlihat berpikir sejenak sebelum mengangguk kecil. Senyum manisnya tetap menghiasi wajahnya. "Adrian, kau sangat mencintai Sophia, kan?"     

Adrian mengerjap-ngerjapkan matanya. Tidak mengira akan mendengar pertanyaan seperti itu, Adrian memerlukan waktu lebih banyak dari biasanya untuk mencerna maksud perkataan tersebut.     

"Te—tentu saja! Apa? Kau mengkhawatirkan itu, Sophia?" Adrian tertawa kecil seraya mengacak rambut gadis itu. Ternyata gadis di hadapannya memang masih manis dan imut seperti biasa.     

Jika Sophia begitu takut ia tidak mencintainya lagi, Adrian akan dengan suka rela mengucapkan rasa cintanya pada Sophia setiap hari.     

Sophia juga ikut tertawa kecil. "Kau juga … mencintai Kaum half-beast, kan?" tanyanya lagi.     

"Hm? Tentu saja," jawab Adrian ringan.     

Ia tidak berdusta. Ia memang menyayangi kaum di mana ibunya berasal itu.     

Senyum Sophia semakin melebar hingga sepasang matanya membentuk bulan sabit. "Kalau begitu…." Sophia menggerakkan tangan kanannya dari balik punggung.     

Suasana di sekitar tiba-tiba terasa menyesakkan.     

'Apa ini? Rasanya ada sesuatu yang buruk yang akan terjadi?' Adrian merasakan ketidaktenangan di dalam hatinya.     

Tiba-tiba, sesuatu yang berkilau tertangkap mata Adrian. Wajahnya memucat.     

Sophia mengangkat sebuah pisau parang di tangan kanannya. "Adrian, matilah untuk kaumku!!"     

'Eh? So … phia?' Otak Adrian seperti tersumbat oleh sesuatu. Melihat pisau itu, ia tahu ia dalam bahaya dan ia harus segera lari. Namun, tubuhnya tidak bisa bergerak.     

Sophia mengayunkan tangannya dengan kekuatan penuh ke arah Adrian.     

'Gawat!' Adrian menutup matanya dan refleks menaikkan tangannya untuk menangkis ketika tiba-tiba ia merasakan sebuah tarikan yang kuat pada pakaiannya.     

"UAHH!"     

Semuanya terjadi begitu cepat.     

Pintu ruang arsip tiba-tiba terbuka dan tubuh Adrian tertarik ke belakang dan jatuh terduduk di atas lantai lorong yang gelap. Pisau parang yang tidak berhasil mengenai mangsanya akhirnya tertancap pada pintu ruang arsip.     

Seperti telah dirasuki oleh sesuatu, Sophia yang lemah lembut itu, menarik bilah parang yang tertancap dengan sekuat tenaga, dan dalam sekejap, bilah itu lepas dari pintu.     

'So—Sophia … apa yang….'     

"Lari!" Sebuah seruan menyadarkan Adrian.     

Di saat yang sama, Sophia sudah kembali mengayunkan pisau parangnya pada Adrian.     

Tangan Adrian ditarik kuat oleh seseorang, mendorongnya untuk bangun dan berlari bersama orang tersebut. Isi kepalanya kacau tapi situasi sekarang tidak mengijinkannya untuk mengatur pikirannya terlebih dahulu.     

Pisau parang yang kembali kehilangan mangsanya jatuh mengetuk lantai keramik lorong itu. Sophia menatap tajam pada Adrian dan sosok yang menariknya berlari semakin menjauh.     

"Jangan menggangguku, Cezar!"     

'Cezar?'     

Adrian mengangkat kepalanya dan itulah pertama kalinya ia benar-benar melihat wajah pria yang sedang berlari sambil menarik lengannya. Yang benar saja. Pria itu adalah Asaka Cezar yang sangat ia benci.     

"Kau … kenapa kau ada—"     

"Diam dulu! Pakai tenagamu untuk lari!" sela Cezar seraya celingak-celinguk, berusaha mencari tempat persembunyian.     

Adrian memahami maksud Cezar. "Turun ke lantai 1! Seharusnya masih ada security yang berjaga di lantai bawah!"     

Cezar mengangguk paham dan langsung berlari menuju tangga darurat. Namun, ketika ia hendak membuka pintunya, sebuah cahaya kuning mengenai tangan Cezar, menyengat begitu kuat hingga mati rasa.     

"Tidak akan kubiarkan kalian lari!" Sophia telah berada di belakang mereka berdua. Tangan kanannya masih memegang pisau parang sementara tangan kirinya mengeluarkan percikan-percikan kuning yang sama dengan yang menyerang tangan Cezar tadi.     

Cezar menekan punggung tangannya yang berdenyut sakit. Darah segar mengalir keluar dan menetes mengotori lantai keramik.     

'Cahaya itu!' Adrian teringat cerita dari Silver. Dengan sekali pandang saja, Adrian langsung menyadari bahwa sumber sihir di tangan Sophia adalah pil sihir yang telah ia produksi.     

Dengan gerakan tangan yang cepat, cahaya menyelimuti Adrian dan Cezar. Ketika cahaya itu menghilang, kedua sosok itu pun menghilang tanpa jejak.     

Sophia berdecak kesal. "Sihir teleportasi, ya." Ia menghentakkan kakinya untuk melampiaskan kemarahannya itu.     

Jika saja Cezar tidak mengganggunya, ia sudah akan berhasil membunuh Adrian sesuai dengan perintah dari Kakek Buyutnya. Ia harus menyukseskan pembunuhan ini, demi masa depan Kaum half-beast yang lebih cemerlang.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.